Manakala mata tak mampu terpejam saat imajinasi bermain pada logika kehidupan. Saat tubuh mulai merasakan lelah yang teramat sangat. Menghempasnya pada latar yang terus menjadi pelampiasan saat lelah mendera.
Jingga ...
Ini bukan sebuah lomba jika harus ada yang menang maupun yang kalah. Tapi ini pilihan dan mesti dipilih.
Entah mengapa menjelang azan berkumandang. Aku ingin bercengkrama pada jingga. Lama sekali melewati jingga begitu saja.
Jingga bagaimanapun beratnya angin bertiup, hujan  yang terkadang tak dapat dikira, matahari yang memancarkan rasa nya. Engkau tetap mampu tampil dengan cantik dan menyebarkan bahagia setiap penjuru
Jingga perjalanan yang kulalui taklah seindah yang dibayangkan kelopak mata. Pada sepertiga malampun airmata tiada henti. Semua kehendakNya. Di balik lara ada bahagia yang kan menjelang dan itu kuyakini . Seyakinku menantimu kala senja.
Tiap tiap lara yang menyapa saat itu pula kumenemukan talenta dalam diri. Perlahan lahan kutelusuri sebagaimana Allah memberi pembuka jalan dan setapak demi setapak menapakinnya. Ya Allah dari sederetan fitnah yg menebar aku tahu pertanda sayangMu padaku.Â
Kuat untuk cinta dan buah hatiku. Bagiku itu sudah cukup. Aku tak mengukur bahagia pada materi tapi berada bersama cinta dan anak anakku itu bahagia yg tak terhingga yang Allah beri.  sudah melewati kegetiran  kehidupan menjelang dua puluh empat tahun , mengarungi samudera kehidupan cinta. Aku yakin Allah memberi kehidupan pada cinta ntuk menata hati dan jiwa kami kembali.
Ruang hampa, 21012020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H