Lembayung senja temaram menampakan diri, mengintip di sela sela awan yang berarak, duduk di tepian dermaga, menghela nafas panjang seakan tak lagi dapat di pandang.
Ketenangan aliran sungaimu menghantam biru jiwa, terlena akan riak riak rindu bergelora. Bagai tak sadar bersandar di dermaga. Duduk menepi berringsut pergi tinggalkan kepedihan jiwa
Riak gelombang mu sayup terdengar menyanyikan lagu kerinduan. Perlahan menghantam perahu mungilku yang telah usang termakan kebimbangan hati, arah pun menghilang tertelan temaram senja
Bersama mengarungi riak riak kecil mutiara. Tangan mungil dijadikan  kayuh. Sebiduk di sungai Musi indah mempesona jadikan panorama kaca hati. Meronahkan sang rembulan yang bersembunyi di balik awan
Duduk di pinggir dermagamu. Melepaskan pandangan  yang jauh di sana, menerawang kan kepedihan di masa lalu. Menjadi tumpuan hamparan harapan yang hampir pupus akankah menjadi kenangan dan ketenangan semata
Di riak riak kristalmu terpatri sejuta pengharapan, mengayuh sejuta impian, menjaring sejumput kasih sayang dan setumpuk cinta yang hampir pupus
Se biduk di sungai Musi penghantar tidur lelap dua sejoli. Nostalgia dua insan yang hanyut dalam kenangan silam, menjadikan sejarah abadi karena mereka berhenti bernafas, hanya karena cinta tak terpatri
Pelataran cinta, 17122019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H