Mohon tunggu...
Asneri Ami
Asneri Ami Mohon Tunggu... Administrasi - Perempuan Tulen

Belajar seumur hidup adalah suatu kewajiban, bukan sebuah pilihan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

12 Mei 1986, Ayah Berpulang

19 Mei 2021   20:00 Diperbarui: 19 Mei 2021   20:06 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tanpa buang waktu lagi oleh omak dan abangku yang nomor dua , ayahpun di bawa ke rumah sakit. Yang tinggal di rumah hanya lah aku , nenek dan kakak perempuan di atasku pas. Hingga malam kami hanya bertiga di rumah.

Sahur pun kami lalui dengan sepi hingga tidak sabar menunggu hari esok.

Benar juga keesokan harinya kami sekitar pukul sebelas siang aku dan kakaku berangkat ke rumah sakit. Setibanya di rumah sakit tampak ayah seperti tidak terjadi apapun. Meski memasang infus dan menggunakan selang oksigen , ayah masih sehat dan dari raut wajahnya seperti tidak menahan sakit. Ruangan kamar perawatan ayah sudah ramai sejak tadi.

Setelah beberapa saat di rumah sakit kamipun pulang dengan membawa baju kotor yang siap akan di cuci bekas pakai omak dan ayah maupun abang. Tidak ada laundry seperti sekarang. Semua dilakukan dengan mencuci secara konvensional . Kami sekeluarga ada tukang cuci yang biasa kami panggil Mak Uwo. Beliau selain mencuci juga membersihkan rumah dan halaman rumah kami.

Malam ini agak lambat aku tidur. Selain dikarenakan bulan Ramadhan juga aku masih kepikiran ayahku yang ada di rumah sakit. Aku lalui dengan membaca Al quran terus menerus sambil membayangkan ayah yang tertidur di rumah sakit dengan keadaan selang dan infus terpasang. Hingga akhirnya akupun tertidur dengan tetap menggenggam Al quran. 

Tepat sekitar pukul satu tengah malam pintu rumah kami di ketuk orang. Aku yang tidak tidur secara full langsung membukakan pintu. Ternyata dua orang adik ayahku menjemput kami. Beliau mengatakan kalau ayah meninginkan kami ke rumah sakit sekarang. Ada apa entahlah. Di tengah malam buta seperti ini pikirku.

Sesampai di rumah sakit aku bersama kakakku tergopoh-gopoh setengah berlari ke ruangan dimana ayah di rawat.

Belum sampai ke kamar aku heran kenapa orang-orang di sekitar lorong kamar terlihat wajah sendu. Aku makin kencang memasuki kamar. Ternyata ku dapati ayah sudah tiada. Hanya selang beberapa detik sebelum aku tiba saat itu, kata abangku.

Tuhan, ga dapat aku bayangkan. Tuhan ini bukan film. Ini kenyatan. Aku menangisi kepergian ayah. Betul yang abangku sampaikan, tubuh ayah aku masih ingat masih hangat dan belum kaku layaknya seperti jenazah pada umumnya. Tapi dengan secepat itu pula kami mendapati omakku dengan kesadaran penuh, menyuruh salah satu keluarga untuk menghubungi abangku yang sulung yang masih di Jambi, untuk segera pulang.

Dalam kegalaun saat itu aku hanya bisa menatap ayah sambil membayangkan apa yang akan terjadi dalam hidup kami. Aku membayangkan apakah aku akan hidup di bawah jembatan . Ataukah aku akan hidup di lorong-lorong seperti gembel. Ah ratusan bahkan jutaan bayangan itu menari-nari dalam pikiranku, di tengah kegalauan saat itu. Jangan Tuhan pekikku.

Diceritakan oleh abangku sebagai satu-satunya anak diantara empat orang kami yang menunggui ayah di saat - saat terakhirnya bersama omak. Saat sakaratul maut menjemput ternyata ayah memang meminta sodaranya untuk memanggil kami berdua yang memang saat itu masih di rumah. Pantas saja tidurku gelisah dan kondisi itu sama dengan kakakku juga. Ternyata saat itu adalah detik-detik ayah akan menghadap Ilahi Robbi. Kontak batin yang kuat ternyata. Ayah berpesan kepada kami kepada abangku yakni :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun