Bicara tentang kenangan saat masa kecil. Jawabnya, jelas penuh kenangan. Saya dilahirkan dan dibesarkan dari keluarga yang sarat dengan nilai-nilai kekeluargaan yang hangat dan bersahaja. Itupun baru makin saya sadari sekarang-sekarang ini. Belum lagi lingkungan yang nyaman dengan tetangga dan kawan semasa kecil.
Saya pagi hari sekolah sampai jam 12 siang, kemudian pada sore harinya sekitar jam 14 siang berangkat ke masjid untuk mengikuti Madrasah Ibtidaiyyah di Mesjid Thoyyibah . Di mesjid ini lah banyak kenangan tercipta tak terlukis saat ini. Yang saya heran tanpa di paksa dan diminta oleh orangtua kami berangkat ke masjid untuk mengikuti pengajian dan berjumpa dengan kawan-kawan sebaya maupun tidak sebaya bahkan lebih tua dari kami.
Pada malam harinya suara riuh rendah memang kental dirasakan. Maklum anak-anak seusia kami. Dulu selepas dari buka puasa kami langsung shalat maghrib dulu. Setelah itu kami lanjutkan lagi makan sambil bersiap-siap akan berangkat ke masjid untuk shalat tarawih. Memang pada saat itu, malam harinya kami beramai-ramai untuk berangkat ke masjid dan berjalan kaki bersama teman-teman di sekitar rumah terdekat, bahkan di tengah jalan bertemu dengan kawan lainnya.
Kadang kalau terlambat sedikit ke mesjid jalanan lengang dan sudah pasti ketakutan mulai menerpa, apalagi kalau ingat cerita horror di televisi yang bikin jantung berdegup. Sayapun pernah mbolos dari shalat tarawih karena ingin nonton ACI (Aku Cinta Indonesia). Â Saya pulang di tengah-tengah shalat tarawih dan melawan rasa takut itu dengan segenap kekuatan saya demi ACI. Hehehe
Belum lagi ketika di dalam masjid. Sudah menjadi pemandangan antara saf laki-laki dan perempuan yang semestinya ada pembatas, di situ selalu ada ustaz kami yang setia menjaga kami . Jika ada anak yang sudah melampaui batas ke saf perempuan dalam arti iseng pak ustaz langsung menegor dilengkapi dengan kain sarung nya yang khusus dibuat untuk memberi peringatan bagi anak yang melanggar tadi, dikibaskan ke lantai. Anak-anak pun takut dan berhenti sebentar, tapi tak beberapa lama keriuhan mulai lagi.
Shalat tawarih yang biasa dilakukan didahului dengan ceramah agama yang menurut kami begitu lama. Biasanya kami isi dengan jajan di sekitar masjid. Jajanan yang biasa ada seperti sate, permen, dan gorengan. Kalau sate nya kami tidak mau beli dengan lontongnya tapi dengan kuah dan daging sate saja atau sering kami sebut 'cerocok", dengan alasan kalau lontong perut masih terasa kenyang dan daging sate masih di rasa sensasi ditengah kebosanan mendengarkan ceramah yang menurut kami untuk orangtua-tua saja.
Kami hanya mencatat ceramah itu yang perlu-perlu saja. Itupun karena diwajibkan mendengarkan ceramah oleh pihak sekolah dan akan dikumpulkan kembali ketika puasa usai. Saya lihat kebiasaan itu masih ada di sekolah-sekolah Islam khususnya saat ini. Kalau dipikir-pikir kala itu saya dan kawan-kawan seperti seorang "tenaga ahli" professional  saja, karena kami hanya mendengarkan ceramah awal dan akhir  bahkan kami mengarang indah isi ceramah itu, asalkan dapat tanda tangan dari penceramah sehabis shalat tarawih. Agar terlihat banyak kadang kami saling melihat isi rangkuman ceramah tadi ke pada kawan-kawan saling tukar materi dan mulailah kami berimprovisasi tentang tulisan ini dan menuangkannya di buku catatan kami. Hahaha.
Walau bagaimanapun itu tetap "Saya RINDU".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H