Mohon tunggu...
Asnawin Aminuddin
Asnawin Aminuddin Mohon Tunggu... -

Sifat dasar manusia antara lain selalu ingin berkomunikasi dengan orang lain dan ingin mengetahui keadaan di sekitarnya. Saya bergabung disini untuk bertemu dan saling bertukar pengalaman / informasi dengan teman2 dari berbagai penjuru.... (asnawin@ymail.com)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Parpol, Politisi, dan Budaya

31 Oktober 2014   04:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:06 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14146771791885191012

[caption id="attachment_332184" align="alignright" width="150" caption="Anggota DPR RI dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) membanting meja sambil menunjuk-nunjuk pimpinan dewan. (foto: detik.com)"][/caption]

Politikus PPP Hasrul Azwar melakukan tindakan yang memalukan dengan membanting meja saat sidang paripurna DPR RI, Selasa, 28 Oktober 2014. Ulahnya tersebut baru bisa diproses dan dibahas sanksinya setelah Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) di DPR terbentuk. (Foto: detik.com)

Parpol, Politisi, dan Budaya

Saya-dan mungkin banyak orang-sangat sedih melihat ulah anggota DPR RI dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Hasrul Azwar, yang melakukan tindakan memalukan dengan membanting meja saat sidang paripurna DPR RI, Selasa, 28 Oktober 2014. Itu dilakukan ketika anggota Fraksi PPP yang dipimpin Romahurmuziy melakukan protes terkait agenda penetapan nama-nama anggota fraksi pada alat kelengkapan dewan.

Ulah Hasrul Azwar tersebut selain mencoreng wajah DPR RI-lembaga yang katanya terhormat itu-, juga mengganggu pikiran dan perasaan kita, rakyat dan bangsa Indonesia, yang bermartabat dan menjunjung tinggi.

Saya kemudian teringat hasil wawancara saya dengan antropolog dari Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Prof Dr H Abu Hamid (alm), pada tahun 2008.

Ketika saya, apa sesungguhnya yang ingin dicari, ingin diterapkan, dan ingin dibangun oleh parpol dan politisi, Abu Hamid yangpenulis buku “Syekh Yusuf Seorang Ulama, Sufi, dan Pejuang” mengatakan, jawaban paling simpel adalah mereka semata-mata mencari kekuasaan dan jabatan.

Abu Hamid yang ketika saya wawancarai sedang menjabat Rektor Universitas 45 Makassar, mengatakan, parpol dan para politisi seharusnya membina budaya, mempertahankan nilai-nilai kebudayaan, dan mengembangkan kebudayaan, tetapi yang terjadi justru sebaliknya, parpol dan politisi tidak membina budaya. Budaya yang tumbuh di tengah masyarakat adalah budaya ingin menggapai kekuasaan dan ingin mencari jabatan.

Beliau mengatakan, kebudayaan merasakan diri dikendarai saja oleh kekuasaan, padahal seharusnya kekuasaan harus mengambil alih nilai-nilai budaya dalam menjalankan kekuasaan dan parpol.

Dengan tidak dibina dan tidak dikembangkannya kebudayaan, lanjutnya, generasi muda pun ikut terpancing memburu kekuasaan semata-mata. Generasi muda tidak lagi merasakan tebalnya nasionalisme dalam diri mereka, karena kekuasaan tidak lagi berupaya memantapkan nasionalisme dalam diri generasi muda.

“Pada akhirnya, masyarakat yang semakin cerdas merasa jenuh melihat kekuasaan yang berjalan sekarang, bahkan mungkin pada suatu waktu nanti rakyat tidak lagi mempercayai kekuasaan, apalagi parpol dan politisi yang jumlahnya sangat banyak,” paparnya.

Dia mengatakan, masyarakat kini semakin cerdas, karena jumlah sarjana, magister, dan doktor terus bertambah. Sebaliknya, kata pria kelahiran Sinjai 3 Maret 1934, para calon penguasa dan para calon legislator (caleg) yang muncul dewasa ini tidak jelas dari mana asalnya dan apa prestasinya.

“Tiba-tiba mereka muncul. Tiba-tiba mereka tampil dengan baliho besar-besar. Tetapi tidak jelas apa prestasinya, sehingga masyarakat yang semakin cerdas akhirnya tidak lagi mempercayai para calon penguasa dan calon legislator,” sebut penulis 19 judul buku itu.

Seharusnya, kata Abu Hamid, calon penguasa dan calon legislator adalah orang-orang yang berprestasi dan sudah melalui proses berjenjang. Dia kemudian mencontohkan calon presiden Amerika Serikat. Mereka, katanya, haruslah seorang senator atau pernah menjadi gubernur. Mereka juga umumnya sudah doktor (S3).

Dengan demikian, katanya, calon presiden AS adalah orang yang benar-benar sudah teruji kerja dan kemampuannya, begitu pula prestasinya.

Sementara calon penguasa dan calon legislator di Indonesia umumnya tidak jelas latar belakang pendidikan dan prestasinya. Dengan format Pilkada dan Pemilu sekarang ini, bisa saja hanya orang beruang atau preman yang punya uang yang jadi calon penguasa atau calon legislator. Setelah menjadi penguasa atau duduk sebagai anggota dewan baru mereka mempopulerkan diri.

Pada zaman dulu, ungkapnya, memang tidak ada partai politik, tetapi ada pengelompokan-pengelompokan semacam kelompok kerja (yang dalam bahasa Belanda disebut zaken grupen atau kelompok kerja) yang dibentuk oleh raja.

Orang-orang yang direkrut masuk dalam kelompok kerja itulah yang berfungsi sebagai wakil rakyat dan menjalanlan fungsi kerajaan. Kelompok kerja itu dibentuk untuk mempertahankan eksistensi kerajaan (negara).

“Orang-orang yang direkrut masuk dalam zaken grupen itu adalah tokoh-tokoh masyarakat yang berpengaruh, jadi mereka memang benar-benar refresentasi perwakilan rakyat,” ungkap Abu Hamid. (asnawin)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun