Pura Pakualaman, salah satu warisan budaya Yogyakarta yang memiliki nilai historis yang tinggi dan memiliki kisah kemunculan yang unik. Kemunculan yang bukan disebabkan oleh ambisi politik “devide et impera” (politik pecah belah), melainkan sebagai penguatan landasan dua pilar dari “keistimewaan” yang disandang oleh Daerah Istimewa Yogyakarta, selain Kraton Ngayogyakarta. Menurut catatan sejarah, Pura Pakualaman dibangun sekitar abad ke-18 dibawah kepemimpinan K.G.P.A. PAKU ALAM I.
Di manakah Pura Pakualaman?
Terletak di kawasan Kota Yogyakarta, lebih tepatnya di Kelurahan Purwokinanti dan sebagian masuk wilayah Kalurahan Gunungketur, Kecamatan Pakualaman, membuat lokasi Pura Pakualaman tidak berjarak terlalu jauh dengan Kraton Ngayogyakarta (sekitar 2 km). Selain itu, cakupan area Pakualama cukup luas, yaitu 54.238 m2.
Apa yang membuatnya unik?
Pertama, berbeda dengan Kraton Ngayogyakarta yang menghadap ke arah utara atau ke Gunung Merapi, Pura Pakualaman menghadap arah sebaliknya, yaitu selatan.
Kedua, memiliki ritual adat Labuhan tiga gunungan sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan YME. Ritual ini dilakukan setiap 10 Sura di Pantai Glagah.
Ketiga, memiliki corak batik khas Pura Pakualaman yang tentunya berbeda dengan batik Kraton maupun daerah lainnya. Corak batik khas ini terinspirasi dari naskah manuskrip karya raja-raja Pakualaman.
Keempat, memiliki total 251 manuskrip, buku cetak yang dibuat kisaran tahun 1900-1950, dan baru-baru ini ditemukan manuskrip Alquran kuno di Masjid Besar Pakualaman dengan terjemahan aksara Jawa (pegon) yang diperkirakan telah berusia ratusan tahun.
Apa yang akan kamu lihat?
Bagian dalam: Arsitektur pura meliputi seni bangunan dengan desain ukiran khas Yogyakarta yang didominasi warna putih hijau. Nilai seni dan sejarah tinggi yang tertuang pada keseluruhan bangunan membuatnya dimasukkan dalam cagar budaya Yogyakarta. Koleksi kereta kuda dan mobil raja-raja Pakualaman serta benda-benda bersejarah yang tersimpan dalam museum di dalam pura juga tidak kalah menarik.