Dialah seorang anak laki-laki yang berusia sekitar 7 tahun harus putus sekolah. Muhammad Riski Ramadan adalah anak dari seorang buruh tani bernama Mayunis dan ibunya hanya seorang ibu rumah tangga. Sudah sering kali mendengar berita anak-anak putus sekolah lantaran ketidakmampuan orang tuanya membiayayi sekolah anaknya. Apalagi di daerah-daerah yang mayoritas pendapatan hanya sebagai buruh tani.
Ada yang lain dari kebanyakan kasus putus sekolah yag dialami oleh Riski. Berita yang diterbitkan oleh Oke Zone ini (lengkapnya klik di sini), menggelitik hati saya untuk menyampaikan sesuatu dalam tulisan ini. Dengan hasil yang pas-pasan sebenarnya pak Mayunis masih mampu menyekolahkan anaknya, setidaknya sampai selesai Sekolah SD. Namun yang menjadi persoalan adalah Riski putus sekolah lantaran karena tingkat kecerdasannya yang melebihi teman-teman seusianya. Bahkan bisa dikatakan mengalahkan usia 20 tahun kebanyakan anak Indonesia. Riski sudah menguasai beberapa bahasa asing (Inggris, India, Mandarin dan Malaysia) diusia belianya. Maaf, saya saja tidak secerdas Riski.
Kelebihan yang dimiliki Riski justru menjauhkan dirinya dari dunia kanak-kanaknya. Sebagaimana kita ketahui usia Sekolah Dasar adalah masa dimana anak-anak memupuk kecerdasan sosialnya melalui interaksi dan bersosialisasi dengan teman-teman sebaya dan menjalin komunikasi yang sehat kepada usia yang lebih tua darinya yaitu guru-guru di lingkungan sekolah. Namun Riski hanya 6 bulan sekolah di SD Negeri Cangkiang. Karena karakter Riski yang tidak mau belajar dengan sistem yang mengulang-ngulang, sehingga membuat dia tidak nyaman dikelas. Keadaan ini dinilai mengganggu proses belajar mengajar siswa-siswi yang lain oleh gurunya. Sehingga Riski dikeluarkan dari sekolahnya dan disarankan untuk sekolah khusus oleh gurunya.
Tidak ada yang salah dengan tindakan pihak sekolah tersebut, karena itu merupakan tindakan jangka pendek dan bersifat makro demi siswa-siswi yang lain. Menurut saya, seandainya anak-anak di tanah air ini seperti Riski justru akan sangat membantu kerja-kerja para guru SD. Tidak lagi kita temui guru berteriak-teriak memanggil muridnya yang malas belajar dan justru hanya ingin bermain saja. Tidak ada lagi guru yang kesal karena muridnya belum memahami apa yang disampaikan, padahal sudah berulang kali. Dan tidak akan ada lagi kasus guru dilaporkan ke kepolisian oleh orangtua muridnya dikarenakan mencubit muridnya yang nakal (kasus di Kabupaten Waykanan-Lampung, lihat disini). Di tingkat yang lebih makro, para perencana pendidikan Indonesia ini tidak perlu lagi mengganti kurikulum disetiap musimnya.
Riski adalah salah satu mutiara yang ada di Indonesia, namun kenapa karena kelangkaannya justru dianggap sebagai kendala bagi mayoritas?. Ada baiknya sebagai pihak sekolah guru dan kepala sekolah yang lebih dekat dengan Riski (bersama orang tua tentunya) mengkomunikasikan keadaan ini kepada Dinas Pendidikan setempat untuk memberikan alternatif belajar di sekolah bagi seorang Riski. Bersamaan dengan itu pula, komunikasi dapat ditingkatkan kepada stakeholder pendidikan yang lebih luas (provinsi atau bahkan negara) agar kasus serupa yang terulang di waktu dan tempat yang berbeda menjadi perhatian yang bijak.
Jangan katakan bahwa ini sulit karena sistem pendidikan kita memang tidak mengatur kelangkaan kecerdasan seperti yang dialami Riski !. Dan jangan katakan pula tidak ada alokasi dana untuk membuat seorang generasi bangsa seperti Riski untuk dapat terus belajar!.
Sudah selayaknya Riski dan mutiara bangsa lainnya mendapat haknya dengan kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya. Jika memang dibutuhkan seorang ahli pendidikan khusus untuk perkembangan akademik Riski, mengapa tidak? Negara bisa membayar ahli pendidikan tersebut. Namun menjadi catatan adalah kecerdasan sosial Riski pun adalah suatu hal penting, yaitu lingkungan pertemanannya. Agar Riski dapat menjadi pemimpin yang tidak hanya cerdas dalam ilmu pengetahuan namun bijak terhadap lingkungan disekitarnya. (Asnani)
Dramaga, Bogor 08-11-2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H