Masih hangat di ingatan, malam itu bulan menjelma menjadi merah jambu, cahayanya sampai membuat bumi tersipu. Aku duduk di para-para menikmati dinginnya udara malam khas pegunungan tengah Papua. Suhu di Lanny Jaya bisa mencapai 9 derajat celcius sehingga aku sering melewatkan mandi pagi. Hampir setiap malam aku dan teman-teman duduk bercanda ria berselimut langit malam yang penuh bintang, sembari bakar ayam atau bakso daging rusa atau hanya duduk-duduk bercanda ngobrol ngalor-ngidul.
Aku menghitung jumlah malam yang telah kulalui di tempat ini. Ah sial, aku lupa. Tapi, aku ingat malam itu puasa ke-15 Ramadan. Ya, tahun 2016 aku menghabiskan sebagian lebih Ramadan di pedalaman Papua, Kabupaten Lanny Jaya. Selama 50 hari aku tinggal untuk meneliti etnografi bersama seorang temanku. Itulah pertama kali aku melaksanakan puasa Ramadan di luar Jawa.
Tiom ibu kota Lanny Jaya. Kabupaten ini dihuni suku Lanny. Mayoritas penduduk nasrani, hanya pendatang dari Jawa dan Bugis yang memeluk agama Islam. Perbedaan terasa sekali. Selama di sini aku tak pernah sekali pun mendengar suara azan berkumandang. Aku hanya mengandalkan jadwal salat yang kusimpan di galeri HP. Ada surau kecil di dekat pasar Tiom yang dibangun para pendatang. Surau yang sangat sederhana berupa bangunan kayu dan beratap seng. Lantainya bekarpet merah lusuh. Setiap sore beberapa anak datang untuk belajar mengaji bersama seorang ustaz yang pada bulan Ramadan khusus didatangkan dari Wamena.
Aku pernah salat Tarawih sekali di surau itu. Setelah selesai salat aku dijemput kakak yang tinggal berseberangan dengan rumah tinggalku menggunakan motor gedenya. Sebab ia tahu, di sana, sehabis senja dikulum malam, tempat itu sudah tak aman lagi. Oh iya, Tiom termasuk distrik merah, tempat anggota separatisme bermarkas.
Malam itu, saat rembulan menjelma menjadi merah jambu, aku mencari suara lantunan ayat suci yang biasanya di kampungku terdengar saban hari dari pagi hingga malam menjelang jam tidur. Aku besar di lingkungan yang semua penduduknya muslim. Tapi, yang aku dengar hanya suara obrolan kami tentang banyak hal, tentang Papua, tentang makanan buat sahur serta buka puasa esok hari, suara anjing menderu di udara, dan gemerisik dedaunan yang menari diterpa angin malam pegunungan.
Aku masih ingat, suatu dini hari temanku yang nonmuslim menawariku akan memasakkan makanan untuk sahur. Hampir setiap hari pula makanan untuk buka puasaku dimasakkan teman-temanku yang nonmuslim. Bahkan terkadang mereka ikut puasa bersamaku. Takjil dan makanan selalu tersedia buatku. Ya, mereka selalu berhasil membuatku terharu.
Hidup selama 50 hari sebagai kaum minoritas mengajariku banyak hal. Toleransi dan berusaha saling menghormati adalah salah satu kunci hidup damai dalam keberagaman. Aku merasa miris dan sedih ketika mendengar ada kelompok yang melarang kelompok lain mendirikan tempat ibadah. Kita hidup dalam perbedaan, itu tak bisa dimungkiri. Aku percaya setiap agama mengajarkan kasih sayang dan hidup bersama dalam damai. Bagimu agamamu dan bagiku agamaku.
Setiap diri kita meyakini kepercayaan yang dianut adalah paling benar. Jika merasa takut iman kita akan goyah maka kita harus meng-upgrade yang ada di dalam diri kita, bukan menyalahkan orang lain yang berbeda keyakinan dengan kita. Misalnya, melarang penganut agama lain menjalankan aktivitas keagamaan mereka, melarang mereka mendirikan tempat ibadah, atau menghina keyakinan mereka.
Aku masih ingat saat diundang datang menghadiri acara ulang tahun tetanggaku di Tiom. Kami makan bakso. Setelah habis setengah mangkuk aku bertanya, "Kak, ini daging apakah?" Jawabnya sambil tertawa, "Babi." Lanjutnya, "Ko tak lihat tadi kakak-kakak berjilbab itu makan?" Ah, kukira aku makan daging babi tanpa sengaja. Hehehe...
Bagiku, keberagaman ada untuk dirayakan, bukan untuk diperdebatkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H