Mohon tunggu...
Nok Asna
Nok Asna Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Senja dan Sastra.

Penikmat Senja dan Sastra.

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Menikmati Keindahan Alam dan Peninggalan Prasejarah di Maros

23 Oktober 2018   18:50 Diperbarui: 25 Oktober 2018   07:51 767
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi itu kami berangkat menuju Rammang-Rammang dari Kota Makassar. Kabarnya waktu tempuh yang kami perlukan adalah sekitar 1 jam 30 menit. Cuaca mendung berakhir menjadi gerimis saat kami sudah tiba di dermaga. 

Gerimis turun diantara celah-celah doa yang kami panjatkan. Akhirnya, setelah beberapa saat menunggu reda, kami memutuskan untuk sewa kapal dan berangkat dari dermaga 1 dengan memakai jas hujan.

Sampan mulai membawa kami menelusuri keindahan alam perbukitan karst yang kabarnya terbesar nomor 2 di dunia setelah China. Sepanjang aliran sungai Pute di kanan-kirinya kami bisa menikmati perbukitan karst dan mangrove yang indah. 

Sesekali sampan kami berpapasan dengan sampan wisatawan lain. Nampak juga beberapa rumah penduduk, cafe, juga tempat penginapan di tepian sungai Pute. Ada saat sampan melewati lorong perbukitan karst yang eksotis. Nyanyian burung berkicau merdu menambah keriangan hari itu.

Perbukitan karst (dok.pri)
Perbukitan karst (dok.pri)
Menyusuri sungai Pute (dok.pri)
Menyusuri sungai Pute (dok.pri)
Sampan menepi, tibalah kami di kampung Berua. Konon katanya kampung ini dahulunya adalah sebuah danau besar yang berada di tengah perbukitan karst yang indah. Kampung Berua adalah kampung termuda di wilayah administrasi Dusun Rammang-Rammang, Desa Salenrang.

Kampung Berua (dok.pri)
Kampung Berua (dok.pri)
Kaki menapaki jalanan persawahan yang dikelilingi perbukitan karst yang menjulang tinggi. Nampak di depan mata rumah-rumah penduduk, masjid, dan juga pohon kelapa dengan nyiurnya. 

Kami menelusuri persawahan menuju situs Pasaung atau yang lebih dikenal dengan batu Kingkong bersama seorang ibu yang bersedia memandu jalan. Mata harus tajam menatap kepada jalanan agar kaki tidak menginjak kotoran sapi dan kerbau. 

Situs Pasaung adalah peninggalan jaman prasejarah. Beberapa lukisan yang dibuat manusia prasejarah bisa kita temui di dinding gua. Ibu pemandu memperlihatkan batu Kingkong yang bisa dilihat dengan berimajinasi, juga lukisan telapak tangan di dinding gua. 

Batu Kingkong (dok.pri)
Batu Kingkong (dok.pri)
Lukisan tangan warna merah yang masih bisa dilihat dengan jelas. Mulut gua yang sempit membuat kami malas masuk. Apalagi ibu yang memandu kami juga belum pernah masuk. Kami hanya menikmati gua dari luar. Menurut cerita, tempat ini dahulu adalah tempat sabung ayam. Jaman dahulu, sabung ayam disimbolkan sebagai bentuk kejantanan.

Lukisan telapak tangan manusia prasejarah (dok.pri)
Lukisan telapak tangan manusia prasejarah (dok.pri)
Setelah dari batu Kingkong, kami melangkahkan kaki ingin melihat mata air. Namun, langkah kaki terhenti di sebuah rumah penduduk. Kami istirahat sebentar, menikmati air kelapa dan semilir angin Desa Salenrang. Ibu pemilik rumah sekaligus berjualan aneka camilan dan minuman, sehingga kami bisa singgah sekaligus mengobrol.

Suami ibu pemilik warung adalah orang asli Kampung Berua. Sudah sejak lama si ibu tinggal di kampung ini. Menurut ibu pemilik warung, kurang lebih ada 17 rumah yang berdiri di kampung Berua. Obrolan kami diiringi oleh suara Rhoma Irama yang mengalun merdu lewat sound system yang berdentum kencang.

Pemandangan alam Kampung Berua (dok.pri)
Pemandangan alam Kampung Berua (dok.pri)
Awan mulai cerah, terik mulai menyengat badan. Kaki saya melangkah menuju mata air. Rasa penasaran melihat mata air menuntun langkah kaki. Sesampainya di mata air, saya beranjak menuju puncak dengan mendaki bebatuan. 

Mata bisa memandang Kampung Berua dari atas yang nampak hijau royo-royo. Ada sebuah rumah penduduk berdiri tegak yang dihuni oleh sepasang suami-istri. Mereka sangat ramah. Penduduk sekitar memang ramah dan baik.

Mata air Kampung Berua (dok.pri)
Mata air Kampung Berua (dok.pri)
Puas berkeliling Kampung Berua, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Sampan bergerak menuju dermaga. Semakin siang, sampan kami semakin sering berpapasan dengan sampan wisatawan lain. Sebelum menuju dermaga, kami singgah di taman batu yang ada di Kampung Laku. 

Taman batu Kampung Laku (dok.pri)
Taman batu Kampung Laku (dok.pri)
Seorang pemilik warung di dermaga yang memberitahu kami tentang taman batu sebelum berangkat menuju Kampung Berua. Kepada pemilik sampan kami meminta untuk diantar ke taman batu tersebut. 

Ternyata bapak pemilik warung sedang berada di lokasi sebagai tour guide bersama 2 turis asing. Bapak itu menawari kami ikut bersama menelusuri gua di taman batu agar tidak tersesat karena banyaknya labirin di dalam gua.

Gua di taman batu (dok.pri)
Gua di taman batu (dok.pri)
Kami tertinggal beberapa langkah dari rombongan turing asing dan bapak pemandu karena tertarik foto terlebih dahulu. Sempat  kami mengambil jalur yang salah dan menemui jalanan buntu di semak belukar. Akhirnya, dengan dipandu suara bapak pemandu kami berhasil menemukan rombongan tersebut. Kami memasuki gua yang masih alami dan indah. 

Taman batu (dok.pri)
Taman batu (dok.pri)
Tanah yang kami pijak tidak luput dari kaki seribu berwarna hitam yang sedang tiduran santai di dalam gua. Beberapa kaki seribu bergerombol seperti kelompok arisan membuat bulu kuduk merinding, sehingga saya memilih untuk tidak melihat ke bawah. 

Gua ini mempunyai banyak labirin yang berpotensi membuat orang tersesat jika tanpa pemandu. Syukurlah, bapak yang baik hati mau menunjukkan kepada kami indahnya gua di taman batu yang masih jarang dijamah oleh pengunjung Rammang-Rammang.

Gua di taman batu (dok.pri)
Gua di taman batu (dok.pri)
"Wisata bukan hanya tentang keindahan alam, melainkan juga tentang nilai historinya," ungkap bapak pemandu.

Taman batu Kampung Laku (dok.pri)
Taman batu Kampung Laku (dok.pri)
Sesampainya di dermaga, kami singgah sebentar di warung bapak pemandu untuk mengobrol sembari menikmati pisang goreng dan singkong goreng. Pak Ridwan adalah nama bapak pemandu tersebut. Beliau bercerita tentang Rammang-Rammang yang pertama kali diperkenalkan oleh seseorang berbangsa Kanada. Wisata alam Rammang-Rammang adalah hasil dari perjuangan masyarakat sekitar yang berhasil menyelamatkan Rammang-Rammang dari eksploitasi alam.

Singgah sejenak di Leang-Leang

Perjalanan berlanjut menuju Leang-Leang untuk memenuhi rasa penasaran kami tentang peninggalan jaman prasejarah di sana. Setelah membayar karcis masuk, kami menelusuri kawasan Leang-Leang. 

Taman di area wisata Leang-Leang (dok.pri)
Taman di area wisata Leang-Leang (dok.pri)
Kami langsung menuju gua yang pernah dijadikan tempat tinggal oleh manusia jaman dahulu. Satu per satu anak tangga kami naiki. Penjaga gua sedang akan beristirahat sehingga pagar di depan gua dikunci. 

Namun, dia dengan senang hati membuka kembali kunci pagar dan menunda istirahat siangnya. Pagar di depan gua harus dikunci jika penjaga sedang tidak di tempat untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya gua dijadikan sebagai tempat ritual, juga untuk mencegah vandalisme yang membabi buta. Dinding gua sudah banyak yang dirusak oleh ukiran nama pengunjung.  

Gua di Leang-Leang (dok.pri)
Gua di Leang-Leang (dok.pri)
Beberapa lukisan yang konon katanya salah satu lukisan tertua di dunia berbentuk telapak tangan, rusa, dan babi nampak menghiasi dinding gua. Menurut pemandu, lukisan tangan merupakan suatu simbol ritual keagaamaan. 

Lukisan 5 jari dipercaya sebagai penolak bala, sedangkan lukisan 4 jari disimbolkan sebagai bentuk duka yang mendalam. Lukisan babi dan rusa adalah simbol perburuan pada saat itu. 

Kami masuk ke dalam gua lebih dalam. Senter hp kami nyalakan untuk membantu menerangi dalam gua. Terlintas dalam pikiran caranya manusia jaman dahulu masuk ke dalam gua yang kita harus meniti beberapa buah anak tangga. Apakah dahulu mereka pasang tangga juga? Barangkali dahulu bentangan alam di sini berbeda kondisinya dengan sekarang.

Mengunjungi Danau Pasir Putih dan Mencoba Helena Sky Bridge di Kawasan Taman Nasional Bantimurung

dok.pri
dok.pri
Gerimis yang turun pagi tadi sempat membuat kami khawatir. Ternyata sampai kami di Bantimurung matahari masih bersinar dengan terik. Sejenak kami menikmati gemericik air terjun yang membuat pengunjung betah berlama-lama berendam dan bermain air. Nampak juga di beberapa sudut sudah dipenuhi oleh pengunjung yang memanfaatkan waktu libur dengan piknik bersama di Kawasan Taman Nasional Bantimurung.

Air terjun di Taman Nasional Bantimurung (dok.pri)
Air terjun di Taman Nasional Bantimurung (dok.pri)
Derap langkah kaki menaiki anak tangga lagi demi melihat danau Kassi Kebo atau Danau Pasir Putih. Sepanjang jalan, gemericik air menciptakan suara yang merdu berpadu bersama nyanyian kera yang bergelantungan di pepohonan. 

Burung-burung tak ingin ketinggalan dengan mengeluarkan suara yang tidak kalah merdu. Sesekali mata akan dimanjakan dengan kupu-kupu yang hilir mudik memperlihatkan sayap indahnya. Birunya air sungai membuat kami berhenti sejenak untuk menikmati indahnya.

Birunya aliran air sungai dari Danau Kassi Kebo (dok.pri)
Birunya aliran air sungai dari Danau Kassi Kebo (dok.pri)

"Ketika matahari bersinar terik sekitar siang hari, bantaran sungai yang lembab di atas air terjun menghadirkan pemandangan indah, kilauan sekumpulan kupu-kupu orange, kuning, putih, dan hijau yang ketika diganggu beterbangan kupu-kupu di udara membentuk awan yang berwarna-warni."    (Alfred Russel Wallace, Juli -- November 1857)

Setelah berjalan naik-turun tangga sejauh kurang lebih 800 meter, sampailah kami di Danau Pasir Putih. Danau yang tenang dengan air berwarna hijau. Danau ini juga merupakan sumber air bagi penduduk sekitar. Beberapa pengunjung nampak sangat menikmati duduk di pinggir danau yang tenang. Beberapa pengunjung lain sibuk dengan ekpresi dan kameranya.

Danau Kassi Kebo (dok.pri)
Danau Kassi Kebo (dok.pri)
Sebelum sore, kami menuju Helena Sky Bridge yang tutup jam 17.00 WITA. Kami bergegas membeli tiket dan kemudian naik tangga lagi untuk mencapai Sky Bridge. Tidak perlu antre lama untuk mencoba jembatan yang sedang ramai dibicarakan ini. Jembatan ini bisa menampung sekitar 15 orang sekali jalan. 

Namun, saya menunggu sepi agar mendapatkan hasil foto yang lebih bagus. Ketika melintasi jembatan rasanya cukup memacu adrenalin. Apalagi jembatan ikut bergoyang-goyang seiring kaki melangkah.

Helena Sky Bridge (photo by Ricky Z)
Helena Sky Bridge (photo by Ricky Z)
Perjalanan pun berakhir, kami kembali ke Kota Makassar. 

Selama di Bantimurung, kami kesulitan menemukan toilet yang bersih. Bangunan toilet tidak terawat. Sehingga, kami terpaksa menumpang di hotel yang ada di dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung. Beberapa pengunjung juga kurang peduli terhadap kebersihan lingkungan. Sampah makanan dan botol minuman masih ada yang berserakan, sedangkan tempat sampah sudah disediakan. Sayang sekali...

"Like all great travellers, I have seen more than I remember, and remember more than I have seen.'' (Benjamin Disraeli)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun