"We travel, some of us forever, to seek other places, other lives, other souls."--Anas Nin
Perbedaan suku, bahasa, dan budaya, membuat Indonesia kaya akan keragaman, disertai keindahan alam dan kelezatan makanan tradisional adalah daya tarik tersendiri bagi para traveler.
Sebulan lalu saya berjumpa dengan beberapa backpacker dari Prancis di Bali, mereka bilang bahwa ketika mengunjungi satu pulau kemudian ke pulau lain di Indonesia, rasanya seperti berada bukan di Indonesia. Padahal pulau tersebut masih dalam wilayah Indonesia. Saya pikir itu merupakan sebuah pujian bagi Indonesia saya yang kaya akan keragaman dan keindahan. I am proud to be Indonesian!
Sayangnya, terkadang akses transportasi di beberapa tempat masih sulit dijangkau sehingga para traveler mengurungkan niatnya untuk mengunjungi tempat tersebut. Tapi, saya percaya bahwa tidak ada harta karun yang tergeletak begitu saja di permukaan tanah, melainkan kudu digali. You know what i mean? Kebanyakan daerah pedalaman, akses transportasi sulit, belum terlalu populer, terpencil, dan sulit sinyal justru surganya keindahan.
Berdasarkan insting dan rasa penasaran, akhirnya saya memutuskan untuk memilih travelingke Pulau Sumba. Sumba? Samakah dengan Sumbawa? Honestly, saya pun sempat menyangka kalau Sumba itu Sumbawa. Pulau Sumba berada di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur, sedangkan Pulau Sumbawa berada dalam wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Bagaimana saya bisa sampai Sumba? Berawal dari chat lewat FB dengan seorang perempuan Sumba yang kenal dari sebuah projek menulis tentang Jelajah Nusantara (bukunya bisa didownload. Jika minat nanti saya kasih link). Beberapa hari saya ganggu dia dengan menanyakan segala sesuatu tentang Sumba sembari browsinglewat internet. Hingga saya bilang, "Kak, Minggu depan sa ke Sumba..."
Kak Diana menjemput saya di Bandara ditengah kesibukannya menjadi pemateri dalam acara seni yang digelar di GKS Waingapu kala itu. Saya diajak ke sana dan dikenalkan kepada beberapa temannya setelah sebelumnya check in di hotel yang sudah saya booking lewat aplikasi yang berlogo burung.
Kami mengobrol tentang feminisme, emansipasi, budaya Sumba, dan tentu a big plan untuk keliling Sumba Timur. Sebagai ucapan selamat datang, malam pertama di Sumba, saya berkesempatan menyaksikan pentas seni karya para seniman dari Nusa Tenggara Timur. Ada pembacaan puisi, monolog, drama, hingga menikmati alunan suara emas anak-anak Humba.
Keesokan harinya, saya, kak Diana dan 2 teman perempuan lain (kak Yetty dan kak Citra) dari Sumba Tengah, berangkat mencari harta karun dengan ditemani teriknya matahari Sumba. Saya dapat pinjaman motor dari teman kak Diana. Akses transportasi memang masih sulit, naik motor adalah pilihan terbaik. (Rasanya saya baru menemui kendaraan semacam angkot saat di Sumba Barat). So, kalau traveling ke Sumba, kalian bisa sewa motor atau mobil.Â
Hotel tempat saya menginap menyewakan motor dengan harga sewa per hari sebesar 50 ribu, namun hanya boleh untuk keliling Waingapu saja. Saya tanya kenapa? Katanya pernah ada seorang tamu laki-laki dari Jakarta mengalami kecelakaan karena mungkin kurang tahu medan di Sumba Timur katanya, sehingga pihak hotel merasa kurang enak jika harus mengulang berurusan dengan tamu masalah perbaikan motor. Untung saja saya dengar penuturan resepsionis hotel ini usai seharian naik motor keliling Sumba Timur. Syukur alhamdulillah, saya dan yang saya bonceng selamat dalam lindungan Tuhan.
Teriknya matahari tentu tidak bisa menghalangi saya untuk berpose di tengah rumput yang mengering ini. Kemarau menjadikannya eksotis. Saya pun narsis.
Setelah merasa cukup terbakar dan puas berfoto dengan bunga cantik ini, kami melanjutkan perjalanan menuju Pantai Londa Lima. Makna dari Londa Lima adalah bergandengan tangan.
Di pantai ini saya tidak banyak mengambil foto karena asyik mengobrol sambil makan kacang, dan menikmati semilir angin yang cukup meredakan serangan matahari.
Apalah daya, hanya ada satu hal untuk mengobati perut lapar, ialah makan. Kami pun segera memacu motor menuju Maramba Beach, menuju resto dengan pemandangan langsung menghadap pantai.
Selain pemandangan pantai yang asyik, rasa makanan di sini lumayan, sekitar 7 dari 10 lah. Harga makanan juga lumayan terjangkau. Resto ini menyuguhkan makanan fresh, jadi waktu menunggu makanan agak lama, namun pemandangan pantai dan ornamen-ornamen ala Sumba menjadikan betah untuk berlama-lama nongkrong di sini.
Sumber mata air yang mengalir indah di tengah perbukitan. Menurut yang saya baca, bendungan ini didirikan pada tanggal 8 September 1992 untuk mengairi lahan persawahan di Mauliru, Kawangu dan Kambaniru. Bendungan ini adalah yang terbesar di Sumba Timur.
Setelah seharian berpanas-panasan, kami kembali ke Waingapu untuk mengikuti acara pemutaran film "Cinta dari Wamena" di GKS Waingapu bersama para penggiat seni dan muda-mudi Sumba. Muka merah dan panas akibat terbakar matahari turut mengiringi Sabtu malam yang spesial kala itu.Â
Setelah pemutaran film, kami berempat, perempuan muda yang masih single (hahahahah), memilih nongkrong di sebuah Cafe, PC Corner di Waingapu. Cafe yang full of music, ada buku bacaan yang ciamik, wifi, dan makanan yang lumayan rasa dan harganya. Cozyabiss! Dan kami berempat larut dalam obrolan mengenai buku dan novelis, pemberdayaan masyarakat, dan sedikit bergosip termasuk membicarakan Hamis Daud dan ayahnya yang pernah tinggal lama di Sumba. Hahahaha....
Minggu, 17 September, dua teman kami telah kembali menuju Sumba Tengah dengan mobil travel. Sedangkan saya dan kak Diana juga akan menyusul ke Sumba Tengah dengan naik motor.
Namun, sebelum itu kami melanjutkan keliling beberapa tempat di Sumba Timur. Sekitar pukul 10.00 WITA kami mulai dengan mampir di Watumbaka, menikmati eksotisme musim kemarau.
Pantai yang cantik dengan pohon bakau yang menarik. Sungguh!
Danau ini biasanya digunakan masyarakat sebagai sumber air. Namun, kemarau panjang hanya menyisakan beberapa bekas genangan air.
Meskipun sebagian besar masyarakat Sumba non muslim, namun banyak penjual makanan halal yang mudah ditemui. Kami makan soto ayam Lamongan beserta 2 gelas es teh dan tambahan krupuk cukup dengan membayar 36 ribu. Satu lagi, saya dengan mudah menjumpai masjid saat di Sumba Timur.
Dalam perjalanan menuju Sumba Tengah, kami mampir ke bukit Wairinding yang famous itu. Sebelumnya kami sempat berhenti di pinggir jalan buat ngopidan menikmati jagung pulut khas Sumba yang manis dan meltingdi mulut. Kak Diana menunjukkan saya sebuah bukit unik, seperti raksasa yang tidur. Silakan gunakan imajinasi anda!
Apalagi setiap laki-laki nampak membawa parang yang nangkring di pinggang mereka. Menurut kak Diana, tidak aman jika melanjutkan perjalanan kalau di tengah jalan ada palang berupa pohon besar yang ditumbangkan. Waktu itu ada pohon bambu yang tumbang di tengah jalan dan terbakar. Duh, jantung sudah berdetak-detak rasanya. Sungguh perjalanan panjang.
Sore sekitar pukul 17.00 WITA atau kurang lebih 3 jam perjalanan, akhirnya kami sampai di Sumba Tengah. Kita menginap di rumah kak Ersy, teman kak Diana yang merupakan aktivis di Taman Baca Peka Oli, Wailolung. (Silakan ya kalau mau berdonasi buku!) Kami dibuatkan segelas kopi Sumba yang ciamik. Sesaat kemudian kak Citra yang lebih dulu sampai di Wailolung datang bawa 2 teman lainnya. Yah, kami para perempuan bergegas menuju kubur batu yang tidak terlalu jauh dari tempat kami menginap.
Kubur batu ini adalah kubur dari Bupati pertama Sumba, Umbu Tipuk Marissi dan ayahnya. Tradisi bagi bangsawan Sumba yang telah meninggal adalah dikuburkan dengan cara kubur batu. Menurut informasi yang saya terima, Umbu Tipuk Marisi sudah meninggal sejak tahun 70-an, dan ayahnya meninggal sekitar tahun 1982.
Awalnya kuburan mereka masih kuburan semen biasa hingga akhirnya tahun 2006 dimulailah pengerjaan tarik batu dan sampai rumah baru tahun 2007. Hari sudah gelap ketika kami sampai di kubur batu ini, sehingga kami memutuskan untuk balik lagi keesokan harinya untuk mengambil foto.
Bayangkan! Berapa lama yang dibutuhkan untuk mengambil batu dari gunung hingga sampai rumah jika dilakukan dengan cara tradisional? Wow! Selain kubur batu, masyarakat Sumba Tengah masih melestarikan rumah panggung yang menurut mereka ada 3 tingkatan. Bagian paling bawah rumah panggung adalah untuk hewan peliharaan, bagian tengah untuk manusia, dan paling atas biasanya digunakan untuk menyimpan padi dan tidak boleh sembarang orang bisa ke bagian ini karena merupakan tempat yang disucikan.
Masyarakat Sumba sangat menghormati perbedaan, sekalipun agama. Sebelumnya, ketika saya ingin menginap di rumah salah satu teman di Wailolung, mereka malah yang bingung bagaimana nanti ada anjing dan babi, haramnya, najisnya. Saya pikir selama ada pasir it's ok! Di Wailolung juga ada masjid dan adzan terdengar jelas, don't need to worry!.
Dan kami pun makan dengan lahap. Masakan khas Sumba yang bikin lidah bergoyang. Hmmm... nyummyy!
Senin itu kami banyak mengobrol tentang tenun, kubur batu, dan marapu. Yah, Marapu adalah suatu kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Sumba. Masyarakat Sumba sangat menjaga hubungan dengan sesama manusia, alam, dan juga arwah-arwah. Meskipun kebanyakan masyarakat sudah beragama Nasrani, namun masih ada yang menjalankan ritual Marapu.
Benda-benda kultus peninggalan nenek moyang masih tersimpan apik di rumah pilihan. Bagi penganut kepercayaan Marapu, mereka merasa tidak pantas atau pantang untuk menyebut Tuhan secara langsung. Mereka biasanya mengistilahkan Tuhan dengan mata yang besar, telinga yang lebar, atau lainnya untuk menggambarkan kekuasaan Tuhan. Penganut kepercayaan Marapu terdiri dari beberapa kabihu. Saya cuma tahu kabihu Huangga dan Kaburu. Jika ada ritual tertentu, para penganut Marapu harus datang ke tempat sembahyang, dimanapun mereka berada.
Biar saya nampak seperti Rambu(panggilan kepada wanita Sumba) katanya. Saya ambil foto di atas kubur batu megalitik. Sebelumnya saya ragu mau naik, tapi setelah saya tanya kepada mereka , katanya diperbolehkan naik. Akhirnya saya berfoto bersama Riko dan Raisa (anak-anak kak Ersy).
Saya juga foto di rumah panggung bersama kak Yetty, ownerTaman Baca Peka Oli. Sebagai pengantar kata "have a safe flight" kalau saya balik ke Jawa katanya. Hahaha...
Kami berpamitan dengan keluarga kakak Ersy. Senang bisa belajar banyak dari mereka tapi sedih kudu berpisah. Mereka minta saya untuk datang lagi dan bakal diajak keliling Sumba Tengah. Inilah alasan kenapa saya tidak khawatir jika berpergian sendiri ke tempat asing, karena saya bakal dapat teman dan keluarga baru.
Gelap, sepi, mewarnai sepanjang perjalanan menuju SBD. Kita meredam itu dengan bercerita apa saja. Sampai di wilayah perkotaan, aktivitas mulai nampak. Salah satunya antrean kendaraan menunggu bahan bakar di SPBU yang mengular panjang sampai keluar area SPBU. BBM belum datang, antrean sudah mengular, sangat berbeda dengan Sumba Timur. Sepanjang jalan nampak pedagang BBM eceran berjajar rapi. Mereka menempatkan BBM di botol bekas air mineral. Kalau penuh 1,5 liter biasanya dihargai 15 ribu dan kalau setengah botol dihargai 10 ribu.
Saya menginap di kost kak Diana di Waitabula. Sayang sekali di SBD sedang tidak kondusif. Waktu saya ke sana sedang ada perang antar kampung di Kodi. Kurang aman jika pergi hanya berdua.
Padahal banyak tempat wisata cantik di Kodi. Selasa sore saya diajak ke Rumah Budaya Sumba, lalu lanjut huntingkopi Sumba dan menikmati senja di pantai Waikelo. Waikelo adalah pantai yang dihiasi karang super besar, juga merupakan lokasi Pelabuhan kapal Fery dan Pelabuhan bongkar muat barang. Di sini juga ada cafedan villayang dibangun di atas karang.
Bandara Tambolaka menurut saya lebih besar dari bandara Waingapu. Sumba adalah sebuah pulau yang eksotis dengan potensi wisata yang sangat memikat. 5 hari sangat kurang untuk menjelajahi Sumba. Sayangnya sarana transportasi belum bagus, anda harus sewa motor atau mobil untuk bisa menjelajahi Sumba. Penginapan juga belum banyak. Selain itu, ada beberapa pantai yang dipagar oleh oknum tertentu sehingga tidak bisa dinikmati khalayak umum tanpa membayar cukup mahal.
Di Sumba Barat ada hotel Nihiwatu, hotel yang memperoleh predikat terbaik di dunia selama 2 kali berturut-turut (tahun 2016 dan 2017). Namun, anda harus merogoh kocek agak dalam untuk bisa menginap di sini karena tarif semalamnya berkisar 8,5 juta - 157 juta. Pengelolaan hotel ini melibatkan penduduk lokal, sehingga membantu perekonomian masyarakat.
Pulau Sumba sangat recommended bagi anda yang sejenak ingin meninggalkan kenyataan hidup. Ehh. Maksud saya sejenak meninggalkan hiruk-pikuk kota atau kerjaan yang bikin stress. Jangan lupa siapkan sunblock, vitamin C atau suplemen lain, makanlah yang cukup selama travelingagar daya tahan tubuh tetap bagus, dan satu lagi, jangan lupa siapkan kartu telkomsel. Karena hanya provider telkomsel yang bisa digunakan di Pulau Sumba. Tapi sudah 4G loh di beberapa tempat... Salam!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H