Pantai yang cantik dengan pohon bakau yang menarik. Sungguh!
Danau ini biasanya digunakan masyarakat sebagai sumber air. Namun, kemarau panjang hanya menyisakan beberapa bekas genangan air.
Meskipun sebagian besar masyarakat Sumba non muslim, namun banyak penjual makanan halal yang mudah ditemui. Kami makan soto ayam Lamongan beserta 2 gelas es teh dan tambahan krupuk cukup dengan membayar 36 ribu. Satu lagi, saya dengan mudah menjumpai masjid saat di Sumba Timur.
Dalam perjalanan menuju Sumba Tengah, kami mampir ke bukit Wairinding yang famous itu. Sebelumnya kami sempat berhenti di pinggir jalan buat ngopidan menikmati jagung pulut khas Sumba yang manis dan meltingdi mulut. Kak Diana menunjukkan saya sebuah bukit unik, seperti raksasa yang tidur. Silakan gunakan imajinasi anda!
Apalagi setiap laki-laki nampak membawa parang yang nangkring di pinggang mereka. Menurut kak Diana, tidak aman jika melanjutkan perjalanan kalau di tengah jalan ada palang berupa pohon besar yang ditumbangkan. Waktu itu ada pohon bambu yang tumbang di tengah jalan dan terbakar. Duh, jantung sudah berdetak-detak rasanya. Sungguh perjalanan panjang.
Sore sekitar pukul 17.00 WITA atau kurang lebih 3 jam perjalanan, akhirnya kami sampai di Sumba Tengah. Kita menginap di rumah kak Ersy, teman kak Diana yang merupakan aktivis di Taman Baca Peka Oli, Wailolung. (Silakan ya kalau mau berdonasi buku!) Kami dibuatkan segelas kopi Sumba yang ciamik. Sesaat kemudian kak Citra yang lebih dulu sampai di Wailolung datang bawa 2 teman lainnya. Yah, kami para perempuan bergegas menuju kubur batu yang tidak terlalu jauh dari tempat kami menginap.
Kubur batu ini adalah kubur dari Bupati pertama Sumba, Umbu Tipuk Marissi dan ayahnya. Tradisi bagi bangsawan Sumba yang telah meninggal adalah dikuburkan dengan cara kubur batu. Menurut informasi yang saya terima, Umbu Tipuk Marisi sudah meninggal sejak tahun 70-an, dan ayahnya meninggal sekitar tahun 1982.
Awalnya kuburan mereka masih kuburan semen biasa hingga akhirnya tahun 2006 dimulailah pengerjaan tarik batu dan sampai rumah baru tahun 2007. Hari sudah gelap ketika kami sampai di kubur batu ini, sehingga kami memutuskan untuk balik lagi keesokan harinya untuk mengambil foto.
Bayangkan! Berapa lama yang dibutuhkan untuk mengambil batu dari gunung hingga sampai rumah jika dilakukan dengan cara tradisional? Wow! Selain kubur batu, masyarakat Sumba Tengah masih melestarikan rumah panggung yang menurut mereka ada 3 tingkatan. Bagian paling bawah rumah panggung adalah untuk hewan peliharaan, bagian tengah untuk manusia, dan paling atas biasanya digunakan untuk menyimpan padi dan tidak boleh sembarang orang bisa ke bagian ini karena merupakan tempat yang disucikan.
Masyarakat Sumba sangat menghormati perbedaan, sekalipun agama. Sebelumnya, ketika saya ingin menginap di rumah salah satu teman di Wailolung, mereka malah yang bingung bagaimana nanti ada anjing dan babi, haramnya, najisnya. Saya pikir selama ada pasir it's ok! Di Wailolung juga ada masjid dan adzan terdengar jelas, don't need to worry!.
Dan kami pun makan dengan lahap. Masakan khas Sumba yang bikin lidah bergoyang. Hmmm... nyummyy!