Wam atau babi merupakan hewan yang sangat berharga di mata suku Lanny di Kabupaten Lanny Jaya. Hampir semua masyarakat yang tinggal di Kabupaten Lanny Jaya memelihara wam. Sejak jaman dahulu suku Lanny telah menjadikan wam sebagai harta yang paling berharga. Mereka beranggapan bahwa wam layaknya emas yang bagi orang Jawa sangat berharga. Kenapa wam? Menurut mereka hidup di Pegunungan sangat terbatas akan sumber daya. Hanya wam yang mereka miliki sehingga mereka menjadikan wam sebagai harta yang paling berharga. Tidak heran jika harga seekor wam di Lanny Jaya bisa mencapai Rp 60 juta.
Suku Lanny memberi perlakuan yang istimewa kepada wam peliharaannya. Tinggal satu Honai (rumah adat Papua) dengan wam merupakan cara melindungi wam mereka dari maling atau supaya terlindung dari hawa dingin, mengingat suhu udara di Lanny Jaya berkisar 11-9 °C. Beberapa masyarakat yang tinggal di Ibu Kota Kabupaten sudah jarang yang tidur dalam satu Honai bersama wam. Namun, masih banyak ditemui kandang wam dan dapur berada dalam satu Honai yang sama.
Apabila induk wam meninggal, wanita pemilik wam akan menyusui anak-anak wam yang ditinggal induknya tersebut. Salah satu informan kami menceritakan bahwasanya dulu ibunya memperlakukan anak wam layaknya anak sendiri. Selain disusui, anak wam yang kehilangan induk tersebut juga digendong saat bepergian ke mana pun. Informan yang saat itu masih anak-anak ingat betul jika ibunya membiarkan dia jalan kaki sendiri dan memilih menggendong anak wam daripada dirinya.
Kedekatan hubungan wam dan masyarakat suku Lanny bukan tanpa sebab. Masyarakat suku Lanny percaya bahwa wam merupakan jelmaan manusia yang rela berkorban demi saudaranya. Terdapat legenda asal-usul wam yang dipercaya sejak zaman dahulu. Legenda asal-usul wam ini kami dapatkan dari salah satu pengajar sekolah agama Kristen di Lanny Jaya.
Musan, seorang wanita yang dipercaya telah menjelma menjadi wam demi ketiga saudara laki-lakinya yang hidup sangat miskin. Suatu hari Musan berpikir ingin melakukan sesuatu untuk menolong keluarga mereka dari jeratan kemiskinan. Keesokan harinya Musan mengumpulkan ketiga saudara laki-lakinya dan berjanji akan memberikan sesuatu kepada mereka yang berharga. Musan berharap ketiga saudara laki-lakinya bisa memanfaatkan sesuatu tersebut untuk makan jika lapar, sebagai maskawin jika hendak menikah, dan jika ada keperluan lainnya bisa dijual untuk mendapatkan uang.
Demi menepati janjinya, Musan pergi ke suatu tempat dan berpesan kepada ketiga saudara laki-lakinya untuk bertemu 3 hari kemudian di tempat yang telah disebutkan. Menurut cerita keluarga ini tinggal di Kurima (salah satu desa yang dekat dengan Yahukimo). Waktu yang dijanjikan telah tiba, ketiga saudara laki-laki tersebut sangat terkejut karena menjumpai seekor wam betina dengan 4 ekor anak wam jantan dan betina di tempat yang telah dijanjikan oleh Musan. Ketiga saudara laki-laki tersebut teringat janji kepada saudari perempuannya agar menjaga dan memelihara harta yang telah dipersembahkan saudarinya untuk menyelamatkan mereka dari kemiskinan.
Rupanya ketiga saudara laki-laki tersebut menepati janji mereka sehingga seiring waktu wam berkembang biak dan bahkan jumlahnya diperkirakan melebihi populasi manusia pada saat itu. Sehingga timbul sebuah gagasan untuk memasak wam dalam jumlah yang besar agar bisa dinikmati semua orang. Gagasan inilah yang dipercaya menjadi asal mula diadakannya upacara Barapen atau Bakar Batu.
Sampai saat ini masyarakat yang memelihara wam memberinya makan dengan ubi yang diberi nama Musan sebagai salah satu cara untuk mengingat pengorbanan Musan demi saudara-saudaranya. Legenda asal-usul wam ini muncul dan menjadi salah satu penyebab eratnya hubungan yang terjalin antara wam dan masyarakat suku Lanny.
Sebagai harta bagi masyarakat suku Lanny, wam merupakan salah satu unsur penting untuk upacara adat atau keperluan sebagai berikut:
1. Upacara Perdamaian
Ketika pemimpin perang berniat menghentikan peperangan dengan suku lain, jalan damai akan ditempuh. Pemimpin perang meminta warganya untuk menghitung jumlah wam yang ada di desa tempat tinggalnya. Perhitungan tersebut untuk melihat kecukupan jumah wam untuk membayar sejumlah nyawa yang hilang dari pihak musuh selama terjadi perang. Biasanya setiap kepala harus dibayar dengan sekitar 80-100 ekor wam. Setelah penyerahan wam kepada pihak lawan, pemimpin perang akan mematahkan atau mengikat busur panah sebagai tanda berakhirnya perang. Selanjutnya kedua belah pihak menggunakan wam yang terkumpul sebagai pengganti nyawa tersebut untuk makan bersama.