Mohon tunggu...
Nok Asna
Nok Asna Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Senja dan Sastra.

Penikmat Senja dan Sastra.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Barapen, Antara Budaya dan Faktor Risiko Kecacingan

1 Februari 2017   07:17 Diperbarui: 2 Februari 2017   07:01 1360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sekelompok laki-laki berlarian membawa kayu dan perlengkapan lainnya (Dokumentasi Pribadi)

Dia pernah dirawat di RSUD Tiom dan sempat tidak sadarkan diri. Waktu itu kedua orang tuanya sudah pasrah dengan kondisi anaknya. Sebelumnya pernah dibawa ke Puskesmas dengan keluhan sakit perut, muntah dan sakit kepala. Kemudian tenaga medis yang memeriksanya memberikan obat maag dan paracetamol, serta CTM karena pasien juga mengeluh tidak bisa tidur. Pasien juga sempat di tes darahnya dan hasilnya menunjukkan tidak ada kelainan.

Sudah berganti-ganti dokter dan obat, pasien tak kunjung membaik, malah keadaanya semakin memburuk yakni kejang-kejang. Hingga muncul kecurigaan petugas Puskesmas jika dia menderita kecacingan. Saya berpikir   jika dia positif menderita kecacingan, maka kemungkinan masyarakat ada juga yang menderita penyakit serupa mengingat faktor risiko yang tinggi. Sehingga diharapkan pemerintah mampu membuat program untuk menyelesaikan masalah kecacingan di Kabupaten Lanny Jaya.

Akhirnya, saya dan seorang petugas analis medis Puskesmas membujuk kedua orang tua pasien agar membawa tinja pasien untuk diperiksa di lab Puskesmas. Saat itu listrik di Tiom sudah hampir 4 minggu tidak menyala, sehingga kami mengandalkan senter HP sebagai penerangan mikroskop. Setelah diperiksa, tinja pasien positif mengandung telur cacing ascaris yang sudah menetas. Rupanya dugaan pasien terinfeksi cacing pita babi belum terbukti.

Kami langsung meminta pasien untuk minum obat cacing berupa pirantel pamoat dan berpesan untuk memanggil kami ketika pasien berak. Keesokan harinya ayah pasien memberitahu kami bahwa pasien berak mengeluarkan cacing. Setelah kita amati tinja pasien nampak ada segmen cacing yang putus. Kami bertanya-tanya cacing apakah yang menginfeksi pasien? Jika ascaris, morfologinya tidak seperti ascaris.

Setelah berdiskusi, saya diminta petugas analis medis untuk mengantarkan albendazol ke rumah pasien. Keesokan harinya pasien berak cacing sepanjang kurang lebih 2 meter dan dilihat secara morfologi itu adalah cacing Taenia solium. Ibu pasien harus menarik cacing itu melalui anus karena cacing tidak kunjung keluar sangking panjangnya. Cacing tersebut dalam keadaan mati dan ditaruh di atas daun pisang oleh ibu pasien untuk ditunjukkan kepada kami. Seumur hidup saya baru pertama kali melihat cacing sepanjang itu keluar dari tubuh manusia. Maklumlah jika saya mengambil gambar cacing tersebut dengan gemetaran.

Sejak saat itu kondisi pasien mulai membaik. Saya mendapat kabar teman yang tinggal di Tiom bahwa dia sudah bisa berjalan, bermain bersama teman-temannya dan kembali bersekolah. Saya jadi ingat, sejak saya diminta membawa obat albendazol untuk pasien, kedua orang tua pasien memanggil saya dengan sebutan dokter. Saya ingin menjelaskan kalau saya bukan dokter, tapi, ya sudahlah! “Terimakasih, bu dokter! Tuhan memberkati,” kata mereka. Hingga saat ini, raut wajah bahagia kedua orang tua pasien masih teringat di benak saya.

Barangkali kasus tersebut merupakan salah satu yang berhasil saya temui diantara beberapa kasus yang belum ditemukan. Harapannya jika ada pasien serupa, maka segera ditemukan dan mendapat pengobatan. Terlebih jika pasien terinfeksi taeniasis dari kesertaannya dalam upacara barapen.

Apabila daging babi yang dimasak saat upacara Barapen matang secara sempurna, maka daging tersebut aman untuk dikonsumsi. Suhu sangat mempengaruhi tingkat kematangan daging selain tebal atau tipisnya irisan daging babi ketika dimasak. Mungkin perlu adanya penelitian tentang suhu dan jumlah batu pada saat upacara barapen sehingga daging babi bisa matang sempurna. Juga perlu adanya regulasi dan sosialisasi bagi masyarakat mengenai tata cara pemeliharaan babi yang baik dan benar. Pemberian obat cacing secara rutin kepada masyarakat merupakan jalan akhir untuk membasmi penyakit akibat cacing pita babi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun