Mohon tunggu...
Nok Asna
Nok Asna Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Senja dan Sastra.

Penikmat Senja dan Sastra.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Eksotisme Negeri Embun Beku

30 April 2016   13:44 Diperbarui: 21 Oktober 2019   10:05 572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Certainly, travel is more than seeing of sights; it is a change that goes on, deep and permanent, in the ideas of living...”

(Mary Ritter Beard)

Tiom, Lanny Jaya, 7 April 2016

Sebuah perjalanan panjang dari Surabaya menuju Kota Jayapura telah kami lalui. Pagi yang cerah kala itu, kami bersiap melanjutkan perjalanan menuju Kabupaten Lanny Jaya melalui Wamena. Pesawat pagi dari Jayapura ke Wamena bisa ditempuh sekitar 30 menit. Sesampainya di Wamena kami bergegas naik mobil 4WD menuju Kabupaten Lannya Jaya. Jarak yang harus ditempuh dari Wamena ke ibu kota Kabupaten Lanny Jaya, Tiom, adalah sekitar 3 jam perjalanan dengan jarak tempuh kurang lebih 86 KM. Pemandangan pegunungan yang eksotis ditambah medan perjalanan yang memacu adrenalin. Jalan bebatuan terjal, sedangkan aspal hanya di beberapa titik. Jika hujan turun, tebing longsor dan jalanan berlumpur dan bahkan tidak bisa dilewati. Saat longsor biasanya penduduk setempat akan membersihkan gundukan tanah yang menutupi jalan agar bisa dilalui. Namun, kita harus membayar kepada mereka sekitar 200-250 ribu untuk bisa melewati jalanan selanjutnya.

Sepanjang perjalanan kita disuguhi udara yang sejuk dan senyum ramah penduduk setempat. Nampak dari jendela mobil beberapa ibu sedang berjalan dengan noken yang tergantung di kepalanya. Noken merupakan tas yang terbuat dari benang atau akar pohon yang berfungsi untuk membawa barang dan menggendong bayi mereka. Anak-anak kecil nampak riang berjalan bersama dengan seragam merah-putih tanpa alas. Kaum laki-laki nampak gagah dengan golok di tangan mereka yang akan mereka gunakan untuk berkebun atau mengumpulkan umbi-umbian sebagai bahan makanan pokok masyarakat.

Profil Kabupaten Lanny Jaya

Lanny Jaya adalah sebuah Kabupaten hasil pemekaran dari wilayah Kabupaten Jayawijaya pada tahun 2008 lalu. Luas total Kabupaten Lanny Jaya sebesar 6.448 KM² atau setara dengan 2,03% dari luas wilayah Provinsi Papua. Pada tahun 2016, Kabupaten Lanny Jaya tercatat memiliki 10 Distrik yang meliputi : 1. Balingga, 2. Dimba, 3. Gamelia, 4. Kuyawage, 5. Maki, 6. Melagineri, 7. Pirime, 8. Poga, 9. Tiom, 10. Tiomneri. Lanny Jaya merupakan daerah khas pegunungan dengan suhu udara berkisar sekitar 15,6 0C sampai 19,7 0C, bahkan di waktu tertentu menurut informasi penduduk setempat suhu udara bisa mencapai 9 0C.

Data proyeksi BPS Kabupaten Lanny Jaya pada tahun 2014 (laporan tahun 2015) menyebutkan bahwa jumlah penduduk Kabupaten Lanny Jaya sekitar 170.589 jiwa. Sebagian besar penduduk Lanny Jaya didominasi oleh suku Lani. Distrik Gamelia merupakan distrik yang terpadat penduduknya dengan jumlah 219,95 penduduk per km2,sedangkan Tiom yang merupakan Ibu Kota Kabupaten mempunyai wilayah yang paling luas, yakni sebesar 1.507,81 km2.     

Setelah menempuh waktu sekitar 3 jam perjalanan akhirnya kami sampai di Ibu Kota Kabupaten Lanny Jaya, Tiom. Tempat yang kami tuju pertama kali adalah kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Lanny Jaya. Kami disambut oleh Kabid PMK dan beberapa pegawai yang sedang sibuk merapihkan barang inventaris Dinas Kesehatan Lanny Jaya karena pada saat itu mereka baru pindahan. Maklum, kantor Dinas Kesehatan Lanny Jaya belum mempunyai tempat dan bangunan yang tetap, sehingga mereka terpaksa beberapa kali pindah tempat. Kondisi kantor Dinas terlihat kurang nyaman bagi para pegawai. Sangat berbeda dengan kantor-kantor Dinas yang biasa saya kunjungi. Bukankah lingkungan kerja yang nyaman merupakan salah satu faktor yang turut mempengaruhi kinerja pegawai? Terbesit sebuah harapan semoga Dinas Kesehatan Lanny Jaya mempunyai kantor yang nyaman dan tetap.

KepalaBidang PMK Dinas Kesehatan mengungkapkan bahwa masih terdapat beberapa masalah kesehatan terkait Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), tingginya angka penyakit menular seperti HIV,TBC, diare, malaria, dan Pneumonia, serta rendahnya kunjungan ibu hamil terhadap tempat pelayanan kesehatan. Ibu hamil juga masih banyak yang mengandalkan dukun sebagai penolong persalinan mereka, sehingga angka kematian ibu bersalin masih tinggi. Selain itu, cakupan imunisasi dasar di KabupatenLanny Jaya juga masih rendah, belum mencapai 50%.

Angka kasus baru  untuk HIV pada tahun 2015 di Lanny Jaya tercatat sebanyak 83 kasus. Menurut penuturan Kepala bidang PMK, bahwasanya pemerintah pernah mengadakan pemeriksaan HIV kepada seluruh pegawai negeri di Kabupaten Lanny Jaya. Hasilnya dari sekitar 700 orang yang diperiksa, sebanyak 7 orang positif mengidap HIV. Sedangkan kasus Pneumonia pada balita pada tahun2015 sebesar 45,8% yang menjadi penyebab tertinggi kematian balita. 

Angka kasus Pneumonia yangmasih tinggi kemungkinan disebabkan oleh kualitas udara dan sanitasi dipemukiman Balita yang kurang baik. Masyarakat Kabupaten Lanny Jaya masih banyak yang tinggal di rumah adat Honai tanpa jendela dan cerobong asap. Honai laki-laki dan perempuan terpisah. Suami-istri pun kalau tinggal juga terpisah di honai masing-masing, termasuk anak mereka juga terpisah.

Keterkaitan antara Pneumonia dan rumah tinggal Honai saat ini sedang diteliti lebih lanjut oleh Kepala Bidang PMK. Selain tinggal di Honai, masyarakat Lanny Jaya juga ada yang tinggal di rumah semi permanen yang terbuat dari kayu. Namun, ada juga sebagian kecil yang sudah menempati rumah permanen dari tembok. Harga bahan bangunan yang menjulang tinggi disinyalir menjadi salah satu penyebab masyarakat masih memilih tinggal di rumah adat Honai. Sebagai langkah kecil menuju hidup yang lebih sehat, Pemerintah setempat menyosialisasikan adanya modifikasi untuk rumah adat Honai yang dilengkapi dengan jendela dan cerobong asap. 

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat masyarakat Lanny Jaya memang masih perlu ditingkatkan. Kebetulan saat itu Kami menginap semalam di Tiom. Saya tinggal di rumah dinas seorang dokter gigi yang berasal dari Bandung. Dia tinggal bersama adik ipar dan anaknya yang masih berusia 8 bulan. Kami mengobrol sampai larut malam. Obrolan Kami terhenti  ketika listrik padam. Listrik di Tiom memang hanya menyala di jam tertentu. Begitu juga dengan sinyal telepon seluler, di Tiom hanya Telkomsel yang bisa digunakan, itu pun kadang seminggu mati total atau bahkan pernah sebulan mati total.

Sebagai daerah pegunungan, di Tiom masih sulit air. Kebutuhan air bersih didapat dari menadah hujan. Kalau hujan tak kunjung turun, terpaksa warga memanfaatkan air sungai yang berwarna coklat karena bercampur lumpur atau beli air dari sumbernya langsung dengan harga selangit ( tandon air kapasitas 500 liter seharga 500 ribu rupiah). Mayoritas masyarakat Tiom mengandalkan air sungai untuk kebutuhan sehari-hari. Oleh sebab itu, menurut tenaga kesehatan setempat, membuang sampah dan buang air di sungai merupakan sebuah larangan. 

Saat keliling Tiom untuk melihat aktivitas masyarakat setempat, Kami bertemu dengan warga pendatang dari Toraja, Madura, Probolinggo, Surabaya, dan juga Batak. Para pendatang ada yang menjadi pegawai pemerintah, pedagang warung kelontong, tenaga kesehatan, tukang ojek, dan membuka warung makan. Kala itu Kami makan siang di warung orang Probolinggo. Mereka menjual penyetan ayam. Seporsi penyetan ayam dijual dengan harga 60 ribu rupiah. Sedangkan mujair goreng dijual dengan harga 80 ribu rupiah. Maklum, ayam yang dijual di Lanny Jaya harus diimpor dari Pulau Jawa. Dari Jawa ke Jayapura dengan kapal, kemudian Jayapura ke Wamena dengan pesawat, dari Wamena baru siap terhidang di Lanny Jaya. 

                                                 

Pasar Tradisional Tiom

 

Pasar tradisional Tiom masih jauh dari kata nyaman, apalagi bersih. Pedagang di pasar membangun sendiri tempat berjualan mereka seadanya. Ada jugayang hanya menggelar tikar tanpa atap pelindung. Lumpur becek dan tumpukan sampah menambah ironis pemandangan di pasar tradisional Tiom. Babi-babi berkeliaran mengais-ngais makanan di tumpukan sampah. Namun, senyum mama-mama pedagang membuat kami betah berlama-lama ngobrol di Pasar. Sampai pada harapan para pedagang tentang janji Presiden untuk membangun pasar tradisional mereka. Harapan besar semoga pemerintah segera membangun pasar tradisional mereka sehingga lebih layak dan nyaman bagi para pedagang maupun pembeli.

Pasar tradisional di Tiom ini buka dari pagi sampai sore hari sekitar pukul 17.00 WIT. Sayur-mayur, bumbu masak seperti bawang merah dan bawang putih, lauk-pauk, celana dan pakaian, noken dan beberapa kebutuhan sehari-hari dijual di pasar tradisional ini. Para pedagang mengambil barang dari Wamena atau berasal dari hasil panen masyarakat yang dijual di pasar.  Di sekeliling pasar ramai dengan kios-kios yang menjual perlengkapan kebutuhan sehari-hari. Pemilik kios hampir semuanya adalah pendatang. Terkadang ada beberapa pemilik kios yang nakaldengan tetap menjual dagangan mereka yang sudah kadaluarsa. Sehingga pemerintahsetempat sering mengadakan razia bahan makanan kadaluarsa demi melindungikonsumen.

Tidak ada timbangan di pasar tradisional ini.Sayur seikat, bumbu seperti cabe, bawang, jahe, sudah ditata sebagaimana digambar dan dihargai serba 10 ribu, kecuali beberapa barang tertentu dihargai lebih. Harga bahan makanan maupun barang keperluan sehari-hari menurut saya sungguh fantastis. Pertama kali datang saya sempat melongo sepersekian detik. Misalnya, harga telur 3 buah sebesar 10 ribu rupiah, bawang satu bungkul dijual 10 ribu rupiah, seikat sayuran (kangkung, sawi, bayam) dihargai sekitar 20-30 ribu rupiah, bahkan mie instan yang erat dengan selera anak kost karena harganya yang murah, di sana dijual dengan harga 5 ribu rupiah per bungkus. Lalu, bagaimana dengan harga tahu dan tempe? Sepotong tahu dan tempe kurang lebih seukuran telapak tangan dihargai 5 ribu rupiah. Tahu yang dijual di pasar Tiom dan berasal dari Jayapura, saya sebut tahu tahan banting, karena teksturnya yang keras dan tidak mudah hancur. 

Di sekitar pasar juga ada warung makan yang menjual hidangan seperti mie ayam, bakso, rica wam (babi), penyet ayam atau mujair. Makan nasi lauk telur perporsi dihargai 30 ribu rupiah, seporsi bakso dihargai 35 ribu rupiah, seporsi mie ayam bakso dihargai 40 ribu rupiah, sedangkan ayam penyet atau ayam yang lengkap dengan sambal dan lalapan dihargai 60 ribu rupiah, dan mujair penyet dihargai 80 ribu rupiah per porsinya. 

 

Fenomena Embun Beku

            Sekitar awal bulan Juli 2015, telah terjadi fenomena embun beku di Distrik Kuyawage. Distrik ini berjarak kurang lebih 30 kilometer dari Distrik Tiom, ibu kota Lanny Jaya. Fenomena embun beku ini seperti halnya yang sering terjadi di kawasan pegunungan Dieng, Jawa Tengah. Suhu yang sangat rendah menyebabkan embun berubah menjadi es, sehingga disebut dengan embun beku.

Suhu mencapai nol sampai minus dua derajat celcius merupakan efek dari adanya  badai El Nino. Suhu yang ekstrem menyebabkan masyarakat kedinginan dan mengalami hipotermia yang berujung pada frostbite serta gangren. Siang hari embun beku berubah menjadi minyak yang mencemari tanah dan air, sehingga menimbulkan wabah diare di masyarakat.

Embun beku juga merusak tanaman pertanian yang siap panen. Akibatnya, tanaman pertanian membusuk menyebabkan masyarakat kekurangan bahan makanan. Rusaknya lahan pertanian ditaksir akan menimbulkan kurangnya stok makanan di distrik Kuyawage selama setahun setelah terjadinya fenomena embun beku. Bencana embun beku yang terjadi di bulan Juli ini mengakibatkan 11 orang meninggal. Bantuan dari pemerintah setempat dan pemerintah pusat berupa bahan makanan dan tenaga medis dikerahkan untuk mengurangi penderitaan masyarakat akibat fenomena embun beku.

Fenomena embun beku kembali terjadi pada bulan Oktober 2015. Hari Minggu pagi pada tanggal 25 Oktober 2015 yang paling parah. Pagi hari masyarakat keluar dari Honai untuk beraktivitas, namun  kulit mereka terasa terbakar dan menimbulkan luka setelah  terkena embun beku. Demi menghindari adanya korban jiwa seperti bencana embu beku di bulan Juli lalu, masyarakat distrik Kuyawage terpaksa harus mengungsi ke distrik Tiom. Beberapa dari mereka harus mengungsi dengan berjalan kaki selama kurang lebih 1-2 jam melewati pegunungan menuju kota Tiom. Selain menuju Tiom, beberapa dari mereka mengungsi ke kabupaten Puncak, Puncak Jaya, dan Nduga. Orang tua dan orang sakit yang belum mengungsi dijemput dengan helikopter oleh pemerintah setempat. Embun beku merupakan siklus lima tahunan. Namun, bencana yang terjadi hingga menelan 11 korban jiwa ini merupakan siklus 9 tahunan. Beberapa orang menyebutkan jika siklus embun beku ini merupakan siklus teraneh di dunia.

                                                       

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun