Mohon tunggu...
Asmuddin
Asmuddin Mohon Tunggu... lainnya -

www.asmuddin.blogspot.com Belajar Menulis "Jika tidak bisa turun ke jalan, melawanlah dengan TULISAN"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Demokrasi bagi Penjual Sayur

21 Agustus 2018   20:19 Diperbarui: 21 Agustus 2018   21:00 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Demokrasi" bukanlah kata yang familiar bagi Dg. Nuntung dan teman-temannya, bagi mereka kosa kata ini bahkan merupakan sesuatu yang asing, meskipun  ditengah kesibukannya sebagai penjual sayur, mereka secara rutin, patuh dan taat berpartisipasi pada setiap moment pemilu yang diklaim sebagai salah satu implementasi demokrasi. 

Dalam menjalani profesinya sebagai penjual sayur, Dg. Nuntung kadang menggunakan kaos dengan identitas parpol tertentu, tapi jangan salah sangka, bukan berarti dia merupakan salah satu kader parpol tersebut, kata kader baginya se asing dengan istilah demokrasi, karena itu di rumahnya ada belasan baju dengan identitas parpol yang berbeda-beda. 

Baginya, kaos itu sama saja, fungsinya tidak memiliki perbedaan, pemilihan baju yang akan digunakannya tidak memiliki alasan politik tertentu, satu-satunya penentu pilihan adalah istrinya, mana baju yang bersih dan disiapkan istrinya, itulah yang akan disambar, tak perduli kaos parpol itu adalah penyumbang  kader korupsi paling banyak, atau partai yang selalu menjadikan agama sebagai jualannya. 

Sekali lagi Dg. Nuntung tak paham soal itu, satu-satunya kepentingannya adalah dapat menjalankan profesinya sebagai penjual sayur dengan tenang.

Jangan tanya padanya tentang afiliasi politiknya, atau tujuannya ikut berpartisipasi dalam setiap moment pemilu, karena pasti tak ada respon kecuali senyum sambil membenahi jualannya.

"siapa pun presidennya"

"partai apapun yang jadi pemenang"

"calon dari parpol manapun yang menjadi anggota dewan"

"Apa itu ada pengaruhnya ke kami ini sebagai penjual sayur"

Kata-katanya meluncur dengan bahasa yang campur baur menjawab pertanyaanku.

Pernah juga  suatu ketika Dg. Nuntung malah bertanya kepadaku, "apa profesi penjual sayur sepertiku pernah jadi bahan diskusi para anggota dewan?

"menjadi rujukan penyusunan kebijakan permerintah?" begitu kira-kira maksud pertanyaannya.

"memang ada anggota dewan yang kamu kenal?" saya balik bertanya

Dg. Nuntung tertawa sambil menyebut seseorang yang belakangan ini rajin berkunjung ke lingkugannya, bahkan katanya ingin mewadahi profesi penjual sayur se kota dalam satu organisasi, tapi dia tetap tak paham.

Bagi Dg. Nuntung dan kawan-kawan seprofesinya, mereka tak butuh basa basi demokrasi, pemilu dengan segala macam hiruk pikuknya bukan sesuatu yang menarik perhatiannya, toh presiden, gubernur, walikota, bupati ... datang dan pergi, pun demikian dengan anggota dewan telah silih berganti, tapi mereka tetaplah penjual sayur, loyal dalam profesinya, tak sedikitpun bermimpi untuk menjadi yang lain, semisal anggota dewan, walikota, gubernur, atau presiden sekalipun, sekali lagi "mereka tak paham"

"Ketika ada pemimpin yang berjanji untuk menggratiskan biasa sekolah, maka tak perlu lagi ada biaya macam-macam untuk pembiayaan sekolah anak-anak mereka, bukan sekedar basa basi lima tahunan yang terus berulang"

"Jika ada pemimpin yang dulunya berjanji untuk tidak menaikan harga BBM, lalu mengapa pula BBM naik secara diam-diam" itulah yang mereka maksud hanya basa basi demokrasi. 

Berjumpaan saya dengan Dg. Nuntung yang berprofesi sebagai pedagang sayur keliling (pa'gandeng) mengajarkan banyak hal bahwa demokrasi bagi mereka adalah :

"biaya sekolah yang murah agar anak-anak mereka bisa bersekolah di sekolah negri"

"harga kebutuhan pokok sehari-hari terjangkau oleh mereka, agar keluarganya terhindar dari gizi buruk"

"BBM yang terjangkau bagi skala ekonomi sejenis mereka agar tidak terlalu banyak ongkos produksi yang dapat menggerus keuntungannya yang memang tidak seberapa"

"sayur sebagai dagangan utama mereka tidak kemahalan dan mudah di dapat"

"pembeli tidak terlalu cerewet menawar sayur jualannya, karena keuntungannya pun sudah sangat sedikit, kadang hanya dijual dengan prinsip yang penting balik modal untuk jualan berikutnya"

Dg. Nuntung berlalu pagi ini dengan pertanyaan yang unik, tapi cukup mewakili kegelisahan para penjual sayur keliling, 

"Apa ada pemimpin yang mengkampayekan : Stop menawar pada penjual sayur?" 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun