"Kalla'bi  duduk termenung di balai kolong rumahnya, ada rasa gelisah yang menelusuk. Rokok di tangannya di biarkan terbakar hingga sepertiganya, kopi yang biasanya tandas tak tersisa, diminum hanya setengahnya, dia biarkan dingin, satu dua lalat hinggap dibiarkan begitu saja. Tak seperti biasanya, rokok dan segelas kopi pahit yang dia bikin sendiri selalu menyertai senandung kecilnya sebelum bekerja. Tapi pagi ini, tak ada senandung, peralatan kerja nya masih tergelak rapi, tak tersentuh olehnya"Â
"Jika kau masih tidak merubah pilihan mu"
"Jika saya masih melihat poster itu tertempel di berandah rumah mu"
"Jika Kalender 2019 itu masih tergantung di tiang rumah mu"
Maka, jangan harap bulan depan kebun ini masih akan menjadi lahan garapan mu, saya akan mengalihkannya ke orang lain.
Kata-kata bernada ancaman itu bagai sebuah lagu, selalu terngiang, berulang, dan nyaring.
Hanya  karena perbedaan pilihan, profesinya sebagai petani penggarap terancam, keberlangsungan hidupnya terusik.
                                                                    **************** Â
Penggalan cerita di atas, meski tak persis sama menyertai perjalanan demokrasi bangsa kita. Tak dapat dipungkiri bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini, proses berdemokrasi kita dihantui oleh ancaman retaknya kohesi sosial, terjadi pembelahan di tengah-tengah masyarakat, yang tentunya ini merupakan ekses negatif dari sebuah demokrasi yang tumbuh pada masyarakat yang mungkin belum siap dengan suatu keniscayaan demkorasi.
Tentunya masih sangat segar dalam ingatan kita, bagaimana warga Jakarta terbelah dengan sangat tajam pada moment Pilgub 2017 kemarin, dan dampaknya masih sangat terasa sampai saat ini.Â
Pilkada serentak di tahun 2018 pun tak luput dari kisah-kisah pilu tentang kita yang terbelah akibat perbedaan pilihan politik, padahal itu adalah keniscayaan dalam demokrasi.Â
Sistem demokrasi dipilih untuk mengelolah dan membuat perbedaan itu menjadi indah, bukan sebagai sumber konflik. Kisah guru yang dipecat di Bekasi (Baca : Beda Pilihan, Guru Dipecat).Â
Di Bali seorang pecalang di pecat sebagai buntut perbedaan pilihan dalam pemilihan gubernur (baca : Tak Pilih Koster Ace, Pecalang Dipecat). Di Jeneponto (Sulsel), seorang oknum lurah tidak mau menanda tangani berkas adminitrasi seorang warganya. Kasus ini juga diduga sebagai akibat perbedaan pilihan politik dan pilkada (baca : Oknum luran versus warga).Â
Pilkada serentak telah usai, tidak lama lagi, kita akan melaksanakan pemilihan umum sebagai agenda demokrasi untuk memilih  Presiden dan Waprenya, Anggota DPR/D (provinsi dan  kab./kota), serta DPD.  Sebagai konsekuensinya, masyarakat akan terfragmentasi dalam pilihan politik yang berbeda-beda. Sayangnya, demokrasi yang seharusnya dinikmati sebagai sebuah pesta dan perbedaan pilihan politik yang harusnya diterima sebagai sebuah rahmat, akan kembali membelah rakyat pada posisi yang saling berhadap-hadapan.  Â
Di media sosial, saling tuduh dengan penggunaan istilah "kecebong" dan "kampret" serta istilah-istilah lainnya yang seharusnya tidak muncul dari masyarakat yang beradab adalah wujud nyata pembelahan itu.  Dan kata-kata yang demikian itu makin sering diucapkan, sangat ringan diketik  untuk menyerang pihak lain yang berbeda alifiliasi politiknya.Â
Kasus terakhir yang ramai diperdebatkan terkait prosesi pembukaan "Asian Games". Â Peristiwa yang seharusnya mempersatukan, justru menjebak sebagian warga untuk saling serang dengan kata-kata yang tidak jauh dari "kampret, kecebong, dungu, bani onta, dll. Meski bukan peristiwa politik, tapi diseret pada ranah politik untuk saling menjatuhkan.Â
Dalam sebuah kolom komentar di media sosial, pendukung dan pemuja pemerintah akan dengan mudah dilabeli "kecebong" oleh yang lainnya. Pun demikian dengan yang kelompok yang nyinyir dan mengkritisi pemerintah akan sangat gambang mendapat gelar "kampret". Jika dua kelompok ini yang terlibat dalam perang komentar, maka dipastikan bahwa yang ada adalah saling umpat dan nihil gagasan.
Pemilu, seharusanya dimaknai sebagai sebuah proses biasa sebagai instrumen demokrasi untuk mengevaluasi dan memilih pemimpin. Sebagai instrumen demokrasi, maka perbedaan pilihan dan afiliasi politik adalah sebuah keniscayaan. Dalam masyarakat yang beradab, perbedaan itu adalah hal yang biasa. Masyarakat diberikan kekebasan untuk memilih sesuai dengan pereferensinya.Â
Adabnya adalah "meninggikan pilihan  tanpa harus merendahkan pilihan orang lain dan orang yang berbeda pilihan"            Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H