Setiap pulang kampung, saya selalu menemukan sosoknya, perawakannya semakin ringkih dimakan umur, mungkin sekitar 70 an tahun lebih usianya kini. Perkiraan ini saya tebak dari penggalan-penggalan kisah masa lalu yang dia tuturkan, dia masih ingat samar-samar tentang pendudukan tentara Belanda dan Jepang, zaman gurilla pun (merujuk pada gerombolan DI/TII) masih bisa dia kisahkan pelan-pelan. Â Dengan ciri khas sarung yang digulung sampai lutut, atau terkadang diikatkan pada pinggang saat lewat di depan rumah yang merupakan satu-satunya akses terdekat menuju aktiftas hari-harinya sebagai petani penggarap.
"Kalla'bi" begitu kami mengenalnya, sebenarnya itu mungkin bukan nama sebenarnya, tapi karena dia memiliki jumlah jari lebih dari 5 (kalau tidak salah di jari kaki), orang pun memanggilnya "La'bi" yang dalam bahasa Mandar diartikan "lebih". Entah kapan dan dengan alasan apa, kemudian orang memanggilnya "Kalla'bi". Begitulah kebiasaan orang-orang dulu menamai dan memanggil seseorang berdasarkan ciri khas yang melekat pada orang tersebut.
Sama seperti orang kampung pada umumnya, dengan latar belakang pendidikan (formal dan nonformal) yang sangat tidak memadai, Kalla'bi tidak bisa membaca dan menulis alias buta huruf. Abjad latin baginya adalah sesuatu yang asing, menulis huruf apalagi kalimat adalah pekerjaan yang mustahil dapat dilakukan, tapi uniknya dia dapat berbahasa Indonesia meskipun dengan kosa kata yang relatif terbatas.
Sehari-harinya "Kalla'bi" menjalani rutinitasnya sebagai petani penggarap dilahan yang secara turun temurun dikelola oleh keluarganya, sebelumnya lahan itu dikelola oleh bapak/ibu nya, sebelumnya lagi oleh kakek/neneknya, mungkin sebelumnya lagi oleh buyutnya. Saat ini dia berbagi lahan garapan dengan anak laki-lakinya yang hanya dipisahkan oleh jalan setapak yang sengaja disediakan sebagai jalan umum untuk mengakses kebun-kebun lain disekitarnya.
Sama seperi saat aku bertemu kembali dengan dia, perjumpaan kali ini berlangsung dilahan garapannya, dalam bahasa Mandar, beliau menceritakan mengenai aktifitas kesehariannya, tentang tanaman jagung yang baru beberapa hari dia tanam, tentang 3 pohon pepayanya yang telah berbuah, serta beberapa pohon pisang yang dibiarkan tumbuh di pinggiran kebun yang sekaligus sebagai penanda batas dengan kebun disebelahnya. Tak ada harapan yang berlebih  pada aktifitas usaha taninya, tanaman jagung yang dia tanam akan ditungguinya, berapapun hasilnya.
Pada tanaman pisang yang dia biarkan tumbuh, tergambar kepasraan di dalamnya, jika berbuah, dia akan berbagi dengan yang punya tanah, meskipun hasilnya setandan dua tandan. Bagi "Kalla'bi" bertani adalah satu-satunya pilihan yang tersedia, meski hanya sekedar untuk makan. Ini adalah realitas kehidupan yang harus dijalani ditengah kesibukan masing-masing, "kepedulian" menjadi sesuatu yang langkah
Dalam keterbatasannya, Kalla'bi tidak pernah melakukan protes ke pemerintah,  apakah namanya masuk sebagai peserta BPJS Kesehatan tak pernah ditanyakan,  yang dia keluhkan hanya harga beras yang semakin mahal, gula yang kadang tidak terbeli, rokok yang semakin melambung. Informasi dan pengetahuan tentang nilai tukar rupiah yang semakin lemah diluar jangkauannya. Perebutan kekuasaan ditingkat elit dan isu-isu politik  lainnya  yang tersaji melalui channel TV tak pernah mengusik perhatiannya. Dia akan memasang kuping baik-baik jika musik dangdut sudah mulai menghentak, pertanda Kalla'bi akan segera menarik sarungnya, menggulungnya sampai dilutut, bergegas ke rumah tetangga untuk menikmati musik dangdut kesukaannya.
Setiap pagi, aktifitas utamanya adalah berkebun, mencabut gulma yang berlomba tumbuh dengan tanaman jagungnya, tak mengenal pupuk dan pestisida, jagung yang ditanamnya akan ditunggui selama 3 bulan ke depan. Pada jagung ini lah Kalla'bi menyemai asa, harapan seorang petani penggarap yang tak pernah mendapat bantuan benih jagung berkualitas dari pemerintah, jangankan benih, pupuk atau sarana produksi lainnya, sekedar untuk bertanya dan mendapat penyuluhan pertanian pun, Kalla'bi tak mengetahui caranya dan harus bertanya ke siapa.
Sementara  uang dengan jumlah yang hampir milyaran digelontorkan untuk menata kampung, jalan-jalan desa di beton, saluran air di semen apik, tapi Kalla'bi dan mungkin yang lainnya tidak terlalu menikmati manfaatnya. Kalla'bi tak punya kendaraan, jalan-jalan yang menjelma menjadi beton, membelah kampung menjadi arena anak-anak muda memacu kendaraannya dengan kencang, Kalla'bi tetap jalan kaki.Â
Sosok "Kalla'bi" yang sangat sederhana, Â petani penggarap pada lahan yang tidak produktif, memiliki pendidikan yang sangat jauh dari kata memadai, terpinggirkan di lingkaran paling luar dari strata sosial masyarakat, mencoba survive di tengah kondisi ekonomi dan kebutuhan sehari-hari yang semakin mahal, mungkin mewakili gambaran ribuan atau bahkan jutaan masyarakat kita yang tersebar di seantero negeri. Tak hanya sebagai petani penggarap, ada yang bekerja disektor informal sebagai buruh di perusahaan, pelabuhan, pasar, atau sebagai penjual di trotoal jalan, terminal, lampu merah, bahkan sebagai pembantu rumah tangga di kota-kota besar.
Dalam keluguan dan kepolosannya memaknai hidup dan masa depan, saya jadi teringat akan sosok "Marhaen". Petani yang ditemui Soekarno di era tahun 1920 an, yang kemudian mendorong dan melatar belakangi Soekarno untuk mencetuskan ideologi "Marhaenisme" sebagai ideologi pembelajaan terhadap golongan rakyak kecil seperti petani dan kaum buruh. Kepolosan, keluguan dan keteralienasian "Marhaen" menjelma dalam diri "Kalla'bi" yang sama-sama berprofesi sebagai petani penggarap, senasib sebagai rakyat marginal, yang tak memiliki sarana/alat produksi memadai sebagai syarat mutlak untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Sama seperti Marhaen, Kalla'bi tak mengenal istilah "nilai lebih" atau "surplus" dari usaha taninya. Hasil jagung, ubi kayu, dan pisang yang tumbuh di kebunnya harus dibagi dengan sang pemilik lahan.
Sosok warga masyarakat seperti "Kalla'bi" yang masih banyak bertebaran disekitar kita  adalah bukti kegagalan pemerintah untuk mendorong tercapaianya kesejahteraan rakyat, yang juga sekaligus sebagai konfirmasi nyata akan kegagalan  sistem kemasyarakatn yang terbangun saat ini, dan ini sudah menjalar sampai ke pelosok-pelosok kampung yang selama ini dianggap sebagai benteng terakhir tumbuh dan berkembangnya nilai-nilai sosial dan kearifan lokal masyarakat.
"Seandainya sosok yang ditemui oleh Soerkarno  sekitar tahun 1920 an itu adalah Kalla'bi, maka ideologi yang menjadi inti ajarannya pasti akan di namai  KALLA'BIISME"Â
Kendari, Â Desember 2016
Pemilik Lapak AKSARA.Com di www.asmuddin.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H