Mohon tunggu...
Asmuddin
Asmuddin Mohon Tunggu... lainnya -

www.asmuddin.blogspot.com Belajar Menulis "Jika tidak bisa turun ke jalan, melawanlah dengan TULISAN"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bonus Demografi: Dilema Sektor Pertanian

21 September 2016   17:27 Diperbarui: 23 September 2016   08:34 827
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menggambarkan bahwa pada periode tahun 2020 s.d 2030, jumlah usia angkatan kerja (15-64 tahun)  akan mencapai 70 persen, sedangkan sisanya 30 persen adalah penduduk yang tidak produktif  dengan rentang usia di bawah 15 tahun dan di atas 65 tahun (sumber Bonus Demografi dan Petani ). Bahkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memproyeksikan bahwa pada tahun 2035, dengan laju pertumbuhan pendududk sekitar 0.62, jumlah penduduk Indonesia diproyeksikan akan mencapai angka 305.6 juta (sumber Bappenas : Proyeksi Jumlah Penduduk Indonesia).

Struktur penduduk dengan dominasi kelompok usia produktif inilah yang sering disebut sebagai "bonus demografi" atau "demographic deviden" yang dipahami sebagai suatu fenomena struktur penduduk yang dapat memberikan keuntungan dalam pembangunan bangsa karena jumlah penduduk usia produktifnya sangat besar dibandingkan dengan usia muda (<15 tahun) dan usia lanjut (65+). 

Berbagai teori dan paparan disampaikan oleh para ahli dan pengambil kebijakan, bahwa periode bonus demografi ini akan sangat menentukan perjalan bangsa ke depan. Di tahun 2045, menjelang perayaan 100 tahun Indonesia Merdeka, generasi yang sekarang berusia antara 0 - 19 tahun, akan berada pada rentang usia yang produktif, merekalah yang akan menjadi pelaku pembangunan, baik itu di sektor swasta, BUMN, politisi, birokrat dan bidang lainnya. Karena itu, periode bonus demografi dipandang sebagai periode yang dapat memberikan keuntungan, dimana pada periode ini akan tersedia banyak angkatan kerja produktif.

Lantas akan seperti apa dampak periode "bonus demografi" tersebut terhadap sektor pertanian?

Dilema Import Komoditas Pertanian

Dari aspek pertambahan Jumlah penduduk, kecenderungannya selalu menunjukan grafik peningkatan, proyeksi BAPPENAS pada tahun 2035, jumlah penduduk Indonesia akan mencapai angka 305.6 juta. Ini artinya bahwa jumlah orang yang membutuhkan pangan akan semakin banyak atau dengan kata lain, kebutuhan pangan nasional akan semakin meningkat. Pemenuhan kebutuhan pangan ini mutlak ditopang oleh sektor pertanian. Namun dalam perkembangannya, kebijakan pemenuhan pangan nasional lebih banyak dilakukan melalui import komoditas hasil pertanian yang dihasilkan oleh petani luar negeri.

Pada tahun 2015 (Januari - Agustus), pemerintah melalukan import 8 komoditas pertanian  dengan nilai  sebesar US$ 3,5 miliar, atau  sekitar Rp 51 triliun. Komoditas dimaksud  antara lain : 1) Beras 225.029 ton dengan nilai US$ 97,8 juta, 2) Jagung 2,3 juta ton dengan nilai US$ 522,9 juta, 3) Kedelai 1,52 juta ton dengan nilai US$ 719,8 juta, 4) Biji gandum dan meslin 4,5 juta ton dengan nilai US$ 1,3 miliar, 5) Tepung terigu 61.178 ton dengan nilai US$ 22,3 juta, 6) Gula Pasir 46.298 ton dengan nilai US$ 19,5 juta, 7) Gula tebu (Raw Sugar) 1,98 juta ton dengan nilai US$ 789 juta dan 8) Garam 1,04 juta ton dengan nilai US$ 46,6 juta (sumber : Data Impor Pangan Indonesia). 

Untuk tahun 2016 periode Januari - Juni,  Kementerian Pertanian sebagaimana yang dirilis oleh Metro TV dalam acara Economic Challengers, telah menyusun rencana import komoditas pertanian dalam jumlah yang besar meliputi :

  1. Komoditas pangan dengan total nilai 3.6 Milyar USD mencakup antara lain : beras, gandum, jagung, kacang tanah, kedelai, ubi jalar, ubi kayu, dan kacang tanah.
  2. Komoditas Hortikulturas dengan total nilai 770.88 Juta USD dengan komoditas antara lain : kentang, tomat, bawang merah, bawang putih, kubis, jahe, wortel, cabe, bayam, polong-polongan, dan buah-buahan
  3. Komoditas Peternakan dengan total nilai 1.486 Milayar USD yang mencakup komoditas seperti : sapi hidup, daging lembu, susu, daging dan jeroan, ayam hidup, dan daging bebek.

Kebijakan import ini tentunya sangat memprihatikan ditengah peride "bonus demografi" yang diharapkan menarik tenaga kerja produktif dan terdidik untuk bergelut di sektor pertanian dalam rangka membangun ketahanan dan kedaulatan pangan nasional.

Profesi Petani yang Semakin Langka

Dalam pandangan Dr. Fasli Djalal (mantan Kepala BKKBN), bonus demografi ini bisa memberikan dampak positif pada satu sisi, serta dampak negatif disisi yang lainnya. Bonus demografi hanya akan bisa dinikmati jika angkatan kerja yang berlimpah tersebut berkualitas, yakni berkualitas dari segi kesehatan, kecukupan gizi, dan pendidikan (sumber : BKKBN.go.id).

Di tinjauan dari sisi SDM,  periode bonus demografi di sektor pertanian ibarat pisau bermata dua, karena faktor terpenuhinya kualitas SDM seperti yang telah disebutkan sebelumnya, tidak menjamin angkatan kerja ini untuk mau dan tertarik terjun ke dunia pertanian. Melihat trend penurunan angka tenaga kerja di bidang pertanian, termasuk struktur umur dan tingkat pendidikan, periode bonus demografi berpotensi untuk tidak memberikan dampak positif ke sektor pertanian. Saat ini, usia tenaga kerja di bidang pertanian semakin tua, sedangkan ketertarikan generasi muda untuk bergelut di sektor ini sangat kurang.

Pada periode bonus demografi, tingkat pendidikan angkatan kerja rata-rata akan semakin tinggi (minimal S.1 bahkan mungkin S.2). Dilihat dari aspek tingkat pendidikan pada periode tersebut, potensi sektor pertanian untuk tidak menikmati dampak positif bonus demografi semakin tinggi. Ini dapat disimpulkan dari kenderungan  saat ini, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka peluang untuk memilih profesi di bidang pertanian semakin kecil. Kecenderungan diperkuat oleh fakta bahwa pekerjaan petani semakin tidak menguntungkan, tidak menarik, dan cenderung tidak menempati posisi sosial yang bagus dalam masyarakat.

Data sensus pertanian pada tahun 2013 menunjukan bahwa rumah tangga yang bergerak di bidang pertanian dengan profesi sebagai "petani" menunjukan angka yang cenderung semakin menurun. Di tahun 2003, jumlah rumah tangga petani masih sekitar 31.17 Juta rumah tangga, 10 tahun kemudian (tahun 2013) menyusut menjadi hanya 26.13 juta rumah tangga (sumber : Dilema Petani), pun demikian halnya dengan jumlah tenaga kerja petani, di tahun 2015 jumlahnya tinggal 37.75 juta jiwa (Sumber: Jumlah petani dan buruh tani semakin menciut ). Dengan fakta seperti yang diuraikan di atas, maka dapat dipastikan bahwa profesi petani akan semakin ditinggalkan dan akan semakin langka. Boleh jadi, di era bonus demografi, profesi petani hanya akan menjadi artefak-artefak sejarah.

Dari sudut analisis seperti diuraikan di atas, maka ini merupakan ancaman besar terhadap ketahanan dan kedaulatan pangan nasional, yang bisa berdampak secara signifikan terhadap ketahanan dan kedaulatan negara. Sejarah telah membuktikan bahwa berbagai jenis pemberontakan yang muncul di era sebelum kemerdekaan dimulai dari persoalan pertanian/pangan, pemberontakan petani di Banten pada tahun 1888 merupakan salah satu contohnya.

Intervensi yang harus dilakukan

Bidang pertanian adalah sektor yang strategis, di era Orde Baru bidang ini menjadi penopang stabilnya pembangunan ekonomi dan politik, karena itu pembangunannya sangat diperhatikan. Dengan kerja keras, pemerintah orde baru dapat merubah bangsa ini dari pengimport beras di tahun 70 an menjadi negara yang berswasembada beras di tahun 80 an.

Agar bangsa ini kembali memiliki ketahanan dan kedaulatan pangan yang kuat, maka tak ada pilihan lain, pembangunan pertanian dalam negeri harus ditangani dengan serius. Kebijakan untuk tidak memunggungi laut, samudra, dan selat tidak lantas harus memunggungi persawahan, ladang, dan perbukitan. Pembangunan pertanian tidak hanya harus dilihat dari berapa luas penambahan sawah dan perkebunan atau seberapa banyak irigasi dan bendungan yang dibangun. Lebih luas dari itu, pemerintah harus membuat masyarakat, khususnya generasi muda mencintai pertanian dan bangga menjadi petani.

Saat ini, komposisi penduduk dari struktur usia lebih banyak pada rentang usia 0 - 19 tahun, mereka tersebar pada jenjang pendidikan pra sekolah (PAUD), pendidikan dasar (SD dan SMP), pendidikan menengah (SMA/SMK), dan beberapa telah masuk ke jenjang pendidikan tinggi. Olehnya itu, intervensi harus dilakukan melalui jenjang pendidikan. Pertanian dan profesi petani harus diperkenalkan sejak dini, adil, dan terhormat, sama seperti profesi lainnya seperti Dokter, Pengacara, tentara, polisi, jaksa, guru, dan lain-lain. 

Peran Perguruan Tinggi

Jika dilakukan survey, setiap tahun ratusan bahkan ribuan sarjana yang diproduksi oleh Perguruan Tinggi  yang membina Program Studi di bidang Pertanian (termasuk peternakan, perikanan, kehutanan, pangan), akan di dapatkan kesimpulan bahwa dari ribuan sarjana tersebut, mungkin hanya 5 -10% yang menggunakan ilmunya secara praktis bergelut di bidang pertanian, itu pun mungkin hanya pekerja pada industri di bidang pertanian, dosen, dan PNS di instansi pemerintah. Bila ditemukan ada sarjana pertanian yang berpofesi sebagai petani (dalam arti yang luas), itu bisa dianggap sebagai keanehan. 

Asumsi ini menunjukan bahwa Perguruan Tinggi tidak dapat menjalankan tanggung jawab institusinya untuk  mengambil peran strategis membangun dan pengembangan sektor pertanian melalui penyiapan generasi yang unggul dan berkualitas yang siap untuk terjun ke sektor pertanian.  Pada periode bonus demografi ini, saatnya perguruan tinggi berfikir untuk tidak sekedar mencetak  sarjana pertanian pada setiap tahunnya, tapi mulai memikirkan untuk secara serius mendidik para generasi muda usia produktif menjadi petani profesional.

Oleh karena itu, pola pendidikan di Perguruan Tinggi harus lebih banyak melakukan pembelajaran di kebun-kebun percontohan, bukan di ruang-ruang kelas yang hanya mengajarkan hafalan rumus-rumus dan nama-nama latin berbagai hewan dan tumbuhan. 

Akun Facebook : www.facebook.com/bannappute

Tweeter : @Asmuddin1

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun