Di tinjauan dari sisi SDM, Â periode bonus demografi di sektor pertanian ibarat pisau bermata dua, karena faktor terpenuhinya kualitas SDM seperti yang telah disebutkan sebelumnya, tidak menjamin angkatan kerja ini untuk mau dan tertarik terjun ke dunia pertanian. Melihat trend penurunan angka tenaga kerja di bidang pertanian, termasuk struktur umur dan tingkat pendidikan, periode bonus demografi berpotensi untuk tidak memberikan dampak positif ke sektor pertanian. Saat ini, usia tenaga kerja di bidang pertanian semakin tua, sedangkan ketertarikan generasi muda untuk bergelut di sektor ini sangat kurang.
Pada periode bonus demografi, tingkat pendidikan angkatan kerja rata-rata akan semakin tinggi (minimal S.1 bahkan mungkin S.2). Dilihat dari aspek tingkat pendidikan pada periode tersebut, potensi sektor pertanian untuk tidak menikmati dampak positif bonus demografi semakin tinggi. Ini dapat disimpulkan dari kenderungan  saat ini, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka peluang untuk memilih profesi di bidang pertanian semakin kecil. Kecenderungan diperkuat oleh fakta bahwa pekerjaan petani semakin tidak menguntungkan, tidak menarik, dan cenderung tidak menempati posisi sosial yang bagus dalam masyarakat.
Data sensus pertanian pada tahun 2013 menunjukan bahwa rumah tangga yang bergerak di bidang pertanian dengan profesi sebagai "petani" menunjukan angka yang cenderung semakin menurun. Di tahun 2003, jumlah rumah tangga petani masih sekitar 31.17 Juta rumah tangga, 10 tahun kemudian (tahun 2013) menyusut menjadi hanya 26.13 juta rumah tangga (sumber : Dilema Petani), pun demikian halnya dengan jumlah tenaga kerja petani, di tahun 2015 jumlahnya tinggal 37.75 juta jiwa (Sumber: Jumlah petani dan buruh tani semakin menciut ). Dengan fakta seperti yang diuraikan di atas, maka dapat dipastikan bahwa profesi petani akan semakin ditinggalkan dan akan semakin langka. Boleh jadi, di era bonus demografi, profesi petani hanya akan menjadi artefak-artefak sejarah.
Dari sudut analisis seperti diuraikan di atas, maka ini merupakan ancaman besar terhadap ketahanan dan kedaulatan pangan nasional, yang bisa berdampak secara signifikan terhadap ketahanan dan kedaulatan negara. Sejarah telah membuktikan bahwa berbagai jenis pemberontakan yang muncul di era sebelum kemerdekaan dimulai dari persoalan pertanian/pangan, pemberontakan petani di Banten pada tahun 1888 merupakan salah satu contohnya.
Intervensi yang harus dilakukan
Bidang pertanian adalah sektor yang strategis, di era Orde Baru bidang ini menjadi penopang stabilnya pembangunan ekonomi dan politik, karena itu pembangunannya sangat diperhatikan. Dengan kerja keras, pemerintah orde baru dapat merubah bangsa ini dari pengimport beras di tahun 70 an menjadi negara yang berswasembada beras di tahun 80 an.
Agar bangsa ini kembali memiliki ketahanan dan kedaulatan pangan yang kuat, maka tak ada pilihan lain, pembangunan pertanian dalam negeri harus ditangani dengan serius. Kebijakan untuk tidak memunggungi laut, samudra, dan selat tidak lantas harus memunggungi persawahan, ladang, dan perbukitan. Pembangunan pertanian tidak hanya harus dilihat dari berapa luas penambahan sawah dan perkebunan atau seberapa banyak irigasi dan bendungan yang dibangun. Lebih luas dari itu, pemerintah harus membuat masyarakat, khususnya generasi muda mencintai pertanian dan bangga menjadi petani.
Saat ini, komposisi penduduk dari struktur usia lebih banyak pada rentang usia 0 - 19 tahun, mereka tersebar pada jenjang pendidikan pra sekolah (PAUD), pendidikan dasar (SD dan SMP), pendidikan menengah (SMA/SMK), dan beberapa telah masuk ke jenjang pendidikan tinggi. Olehnya itu, intervensi harus dilakukan melalui jenjang pendidikan. Pertanian dan profesi petani harus diperkenalkan sejak dini, adil, dan terhormat, sama seperti profesi lainnya seperti Dokter, Pengacara, tentara, polisi, jaksa, guru, dan lain-lain.Â
Peran Perguruan Tinggi
Jika dilakukan survey, setiap tahun ratusan bahkan ribuan sarjana yang diproduksi oleh Perguruan Tinggi  yang membina Program Studi di bidang Pertanian (termasuk peternakan, perikanan, kehutanan, pangan), akan di dapatkan kesimpulan bahwa dari ribuan sarjana tersebut, mungkin hanya 5 -10% yang menggunakan ilmunya secara praktis bergelut di bidang pertanian, itu pun mungkin hanya pekerja pada industri di bidang pertanian, dosen, dan PNS di instansi pemerintah. Bila ditemukan ada sarjana pertanian yang berpofesi sebagai petani (dalam arti yang luas), itu bisa dianggap sebagai keanehan.Â
Asumsi ini menunjukan bahwa Perguruan Tinggi tidak dapat menjalankan tanggung jawab institusinya untuk  mengambil peran strategis membangun dan pengembangan sektor pertanian melalui penyiapan generasi yang unggul dan berkualitas yang siap untuk terjun ke sektor pertanian.  Pada periode bonus demografi ini, saatnya perguruan tinggi berfikir untuk tidak sekedar mencetak  sarjana pertanian pada setiap tahunnya, tapi mulai memikirkan untuk secara serius mendidik para generasi muda usia produktif menjadi petani profesional.