Bagi sebagian besar masyarakat di Indonesia, bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) masih merupakan primadona. Pekerjaan PNS merupakan harapan bagi kebanyakan orang tua, kalau bukan anaknya, ya minimal menantunya yang jadi PNS. Gambaran tentang PNS dengan gaji tetap setiap bulannya (meskipun pas pasan) serta kepastian jaminan hari tua (pensiun) merupakan salah satu magnet penarik yang telah membentuk pemikiran mainstream sebaqian besar masyarakat kita.
Belum lagi image yang terlanjur terbangun selama puluhan tahun bahwa "bekerja sebagai PNS" itu sangat santai, bisa nyambi sebagai "pengusaha" atau pekerjaan lainnya, kerja atau tidak kerja tetap dapat gaji bulanan plus gaji ke 13 (tahun ini akan ada tambahan gaji ke 14). Maka tidak mengherankan, jika banyak orang tua yang rela membayar mahal (menyogok) agar anaknya dapat menyandang status sebagai PNS.
Pun demikian halnya dengan fase menjadi pegawai/tenaga honorer, banyak orang yang berbondong-bondong masuk sebagai tenaga honorer dengan harapan suatu saat dapat diangkat menjadi PNS. Di setiap instansi pemerintah (pusat maupun daerah), keberadaan pegawai honorer ini menjadi pemandangan yang lazim ditemui, bahkan jumlahnya kadang hampir sebanding dengan PNS di instansi tersebut. Semakin bertambahnya jumlah tenaga honorer ini merupakan efek domino dari kebijakan pemerintah era SBY yang membolehkan pengangkatan CPNS melalui jalur honorer.
Data Kementerian PAN RB, sejak tahun 2004 sekitar 1 juta lebih CPNS yang diangkat melalui jalur "tenaga honorer", porsinya sekitar 20% dari total PNS yang sudah mencapai angka sekitar 5 jutaan lebih (link : Ada 1 Juta Pegawai Honorer telah diangkat menjadi CPNS dan Yuddy: Jumlah PNS di Indonesia 5 juta lebih).
Rezim berganti, komando pemerintahan beralih dari SBY ke Jokowi, kebijakan pengadaan CPNS pun mengalami perubahan. Sebagai bentuk penataan dan reformasi di bidang Aparatur Sipil Negara (ASN), pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk melakukan moratorium penerimaan CPNS (kecuali guru dan tenaga kesehatan). Demikian halnya dengan pengangkatan CPNS melalui jalur "honorer", pemerintah juga melakukan pembatalan. Ini sebagai akibat dari berakhirnya masa berlaku PP No. 56 tahun 2012 pada akhir Desember 2014 sebagai dasar hukum pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS, sedangkan UU No. 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak memberikan peluang pengangkatan CPNS secara otomatis.
Padahal, pada tanggal 15 September 2015, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Kementerian PAN dan RB dengan DPR Komisi II, angin segar sempat berhembus sangat kuat. Dari 439 ribu tenaga honoer yang masih tersisa, pemerintah akan melakukan pengangkatan secara bertahap, Kemenpan RB berjanji akan mengangkat 110 ribu di 2016. Dilanjutkan di 2017 dan berakhir di 2019 (sumber : DPR Minta Menpan RB Penuhi Janjin Angkat Tenaga Honorer)
Dengan alasan ketiadaan payung hukum, maka dengan terpaksa pemerintah mengeluarkan kebijakan penghentian pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS. Kebijakan ini lah yang memantik keresahan dan emosional para tenaga honorer yang masuk kategori K-2. Impiannya selama ini untuk menyandang status PNS sirna seketika, pengabdiannya selama ini seolah menjadi sia-sia. Gambaran masa depan yang terlanjur terukir musna tak berbekas. Maka pada awal bulan Pebruari 2016, ribuan tenaga honorer yang tergabung dalam Forum Honorer K-2) Indonesia (FHKI) dari berbagain daerah dan latar belakang instansi berunjuk rasa di depan Kantor Kemenpan RB serta Instana Presiden untuk menyuarakan dan mempertanyakan nasib mereka.
Persoalan ini pernash dikeluhkan oleh Eko Prasojo (Wamenpan RB di era SBY) beberapa tahun yang lalu. "Ratio PNS kita masih di bawah rata-rata rasio PNS negara-negara Asia. Namun jumlah yang sedikit itu terlihat banyak, lantaran banyaknya kualifikasi PNS kurang memadai" “Pegawai bekerja di bidang apa saja, karena tidak mempunyai keahlian khusus,”
Sekarang pemerintah terjebak pada kebijakan-kebijakan yang berbau politis dan populis. Ratusan ribu tenaga honorer yang terlanjur di janji dan telah memenuhi berbagai persyaratan yang diatur oleh UU (sebelum UU No. 5 tahun 2014) kini meradang. Ratusan ribu tenaga honorer ini telah mengeluarkan banyak tenaga dan uang untuk merubah nasib mereka dan keluarganya.
Akan bagaimana ujung dari takdir mereka? Berbagai opsi telah dirumuskan, termasuk dengan mengikutkan tenaga honorer yang masih memenuhi persyaratan dalam seleksi penerimaan CPNS. Jika solusi ini yang diambil, maka kebijakan ini tidak akan dapat menjangkau keseluruhan tenaga honorer, karena pemerintah masih memberlakukan "moratorium" penerimaan CPNS kecuali pada formasi guru dan tenaga kesehatan.
Yang jelas, solusi apapun yang diambil pemerintah (Kementerian PAN dan RB), jika harus mengakomodir mereka menjadi CPNS, maka asas-asas rekruitmen pegawai yang benar harus diperhatikan. Karena sekali salah dalam pengangkatan pegawai, maka akan banyak sumberdaya yang digunakan untuk memperbaiki kesalahan tersebut. Kebijakan tidak boleh hanya berdasar pada pertimbangan politis dan populis semata.
Salam .........
Illustrasi : Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Yuddy Chrisnandi. (SINDOphoto)
Illustrasi : Demontrasi Tenaga Honorer (sumber : riaunewes.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H