Sampai pada akhir tahun awal 80 an, tanaman Jagung masih sangat akrab dengan kami sebagai penduduk kampung, setiap memasuki musim penghujan, kebun-kebun petani akan dipenuhi oleh tanaman Jagung, tentunya sebagian di antaranya di tumpang sari kan dengan tanaman jangka pendek lainnya. Memasuki fase perkembangan tongkol, rumah-rumah kebun menjadi tempat tinggal sementara, setiap petani dengan setia menunggui kebun Jagungnya, menjaganya dari serangan hama, entah itu tikus atau pun anjing.
Pada saat panen, para petani akan bahu membahu, saling tolong menolong memanen Jagung. Pesta panen Jagung ini selalu disertai dengan acara bakar jagung dan membuat dodol jagung. Di setiap rumah petani akan, entah itu di teras rumah ataupun di balai-balai (tempat khusus penyimpanan komoditas pertanian) akan tersimpan Jagung yang sudah kering. Ini dapat dimaklumi karena Jagung pada masa itu menjadi bahan makanan pokok pengganti beras. Jadi setiap dari mereka (petani) selalu menyimpan Jagung sebagai persediaan (sebagian menjadi bahan makanan ternak).
Memasuki era pertengahan 90 an, petani yang mengusahakan komoditas jagung sebagai usaha tani nya sudah mulai jarang, bahkan saat ini, di Desa kami yang dulunya terkenal dengan hasil pertaniannya sudah menjadi pasar  konsumsi, termasuk tentunya "komoditas Jagung". Tak ada lagi lahan-lahan Jagung yang tersisa, masyarakat yang dulunya gemar mengkonsumsi Jagung sekarang telah bermigrasi ke "beras" sebagai makanan pokok satu-satunya.
Hampir 20 tahun, komoditas Jagung telah menjadi barang yang langka di desa kami. Jagung telah "minggat" menjauh dari generasi-generasi muda saat ini. Kalau dulu di kebun-kebun kami sangat akrab dengan Jagung, generasi sekarang mengenal Jagung sudah dalam bentuk cemilan "popcorn" atau bahan olahan jagung lainnya. Generasi sekarang sudah tak ada lagi yang tertarik untuk menanam jagung. Jangan kan bertani Jagung, menjadi petani pun ogah. Di desa kami, anak-anak muda lebih suka nongkrong di pinggir jalan, menjadi buruh bangunan, atau tukang ojek daripada bertani.
Fenomena semakin menciutnya petani dan kurang tertariknya generasi muda untuk menjadi petani, bukan hanya terjadi di desa kami, tapi fakta ini adalah fenomena nasional yang tentunya sangat mengkhawatirkan di tengah upaya pemerintah membangun ketahanan dan kemandrian pangan nasional. Semakin menurunnya jumlah SDM yang bekerja di sektor pertanian (termasuk petani Jagung) telah sempat diurai oleh Faisal Basri. Jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian terus menurun, dari 39,22 juta pada tahun 2013 menjadi 38,97 juta pada tahun 2014 dan turun lagi menjadi 37,75 juta pada tahun 2015. Usia rerata petani semakin tua. Generasi muda merosot minatnya menjadi petani. Lembaga pendidikan tinggi pertanian memperluas bidang studi ke nonpertanian. Sarjana sekolah pertanian semakin banyak yang bekerja di sektor nonpertanian (baca: Jumlah Petani dan Buruh Tani Menciut, Pindah Kemana?)
Semakin berkurangnya SDM dan lahan pertanian secara nyata berakibat pada semakin rendahnya produktivitas komoditas pangan secara nasional. Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, pemerintah mengandalkan import. Pada sisi lain, melalui Kementerian Pertanian, pemerintah seolah memproteksi petani. Kebijakan pembatasan kuota import diberlakukan, tapi kebijakan ini tidak menyelesaikan masalah, sudah terlalu banyak dan akutnya persoalan di bidang pertanian (komoditas pangan) membuat penyelesaian masalahnya seolah menjadi benang kusut yang tidak ada ujung pangkalnya.
Komoditas Jagung misalnya, beberapa minggu yang lalu, kita dihebohkan dengan pemberitaan mengenai "Jangung Import" ratusan ribu ton yang tertahan (tidak diberi ijin untuk mengbongkar) di berbagai pelabuhan, komoditas Jagung pun menjadi langka. Akibat lanjutan dari kelangkaan ini adalah kurangnya pasokan bahan baku ke sektor industri pakan, yang oleh sebagian pengamat kemudian menyimpulkan faktor ini lah yang menjadi penyebab naiknya harga daging ayam dan telur di pasaran.
Fenomena kelangkaan Jagung dan komoditas pangan lainnya (beras, kacang tanah, bawang, cabe, kedele, dll) merupakan puncak gunung es kebijakan pembangunan sektor pertanian. Di sektor pertanian tanaman pangan, mengambil kasus yang ada di desa kami dan desa-desa sekitarnya, para petani sudah lama berjuang sendiri. Sangat jarang ada sentuhan yang bernuansa pemberdayaan (empowering). Lambat laun, profesi petani pun dengan terpaksa ditinggalkan.
Dulu waktu kami kecil, orang tua selalu bersenandung nyanyian harapan agar anaknya menjadi petani yang kuat, sukses dengan hasil yang melimpah. Indikator kekayaan dan status sosial adalah saat kita memiliki tanah yang banyak dan luas. Tapi sekarang, tak ada lagi orang tua yang berharap anaknya jadi petani. Tanah-tanah pertanian kini hanya ditumbuhi pohon kelapa, tanaman pisang yang tak terurus, dan lebih banyak semak belukar.
Lalu, salahkan mereka ketika sebagian besar generasi muda kita tidak tertarik lagi bergelut di sektor pertanian? Ketika profesi petani tak lagi menjanjikan, tidak memberikan keuntungan secara ekonomi, adalah pilihan logis untuk melakukan migrasi profesi, merupakan hal wajar jika para sarjana pertanian kita tidak tertarik pada dunia pertanian.
Fakta semakin menyusut dan menuanya SDM di bidang pertanian (khususnya sektor tanaman pangan) seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah, karena kunci utama untuk membangun ketahanan dan kedaulatan pangan ada pada SDM nya. Oleh karena itu, adalah merupakan hal yang mendesak untuk melakukan penataan dan merumuskan grand desain pembangunan pertanian ke depan. Pembenahan bukan hanya pada sektor hulunya (aspek tata niaga), tapi juga pada aspek yang menyangkut produksi/usaha tani (hilir).Â