Ilustrasi - minyak goreng (KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO)
Pada tahun 2014, Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan mengeluarkan aturan tentang kewajiban produsen minyak goreng untuk melakukan pengemasan pada setiap produknya. Permendag Nomor 80 Tahun 2014 yang kemudian diubah melalui Permendag No. 21 Tahun 2015. Sesuai dengan penjelasan dari pihak-pihak yang terkait dengan aturan tersebut, ini dalam rangka menyediakan minyak goreng yang sehat dan memenuhi standar keamanan pangan. Sepintas, implementasi aturan ini adalah dalam rangka melindungi konsumen (masyarakat) minyak goreng dari mengonsumsi minyak goreng yang tidak sehat.
Dalam aturan ini dijelaskan banyak hal, termasuk menjelaskan apa itu minyak goreng, produsen, pelaku usaha, kemasan, serta kapan aturan ini harus ditegakkan maupun konsekuensi hukum dari pelanggaran terhadap peraturan ini. Pada bagian penjelasan diuraikan bahwa yang dimaksud dengan minyak goreng adalah minyak goreng yang menggunakan bahan baku berasal dari Kelapa Sawit dan/atau menggunakan bahan baku nabati lainnya. Membaca ketentuan ini, pengertiannya mencakup minyak goreng yang berasal dari kacang-kacangan dan kepala (coconout) yang banyak diusahakan oleh masyarakat secara tradisional.
Dalam implementasinya, sebagaimana yang dijelaskan dalam Permendag No. 21 Tahun 2015 dijelaskan bahwa:
- Minyak goreng yang berasal dari bahan baku Kelapa Sawit, sudah harus memenuhi ketentuan Permendag mulai tanggal 27 Maret 2016
- Minyak Goreng yang berbahan baku lainnya sudah harus memenuhi ketentuan Permendag mulai tanggal 1 Januari 2017.
- Khusus untuk produsen skala kecil menengah/rumah tangga yang memperdagangkan minyak goreng berbahan baku nabati lainnya, harus memenuhi ketentuan dalam Permendag mulai tanggal 1 Januari 2018.
Ketentuan yang dimaksud dalam hal ini terkait dengan ketentuan pasal (2) dan pasal (3) Permendag No. 80 Tahun 2014 yaitu:
- Produsen, pengemas, pelaku usaha yang memperdagangkan minyak goreng kepada konsumen wajib menggunakan "kemasan" (pasal 2)
- Kemasan sebagaimana dimaksud pada pasal 2 wajib menggunakan bahan yang tara pangan dan tidak membahayakan manusia serta dilengkapi dengan label sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (pasal 3 ayat 1)
- Label paling sedikit memuat antara lain: nama barang, merek dagang, kode produksi, berat/isi bersih (netto), tanggal kadaluarsa, logo tara pangan dan kode daur ulang, nama dan alamat produsen, importir/dan atau pengemas; serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan wajib dicantumkan.Â
Mematikan Indusri berbasis Rumah Tangga
Dari sisi produsen atau pelaku usaha di bidang industri minyak goreng, baik perusahaan besar (pemegang merek-merek ternama), perorangan, ataupun industri minyak goreng rumahan, dampak implementasi aturan ini tentunya akan berbeda-beda. Bagi perusahaan besar dengan teknologi yang demikian canggih, memproduksi minyak goreng kemasan sesuai dengan standar pemerintah (SNI) tentunya bukan perkara sulit.
Tidak demikian tentunya dengan industri minyak goreng rumahan, baik yang berbahan baku kelapa sawit maupun nabati/kelapa, pemenuhan terhadap ketentuan kemasan dan pelabelan sebagaimana yang diatur dalam peraturan tersebut adalah merupakan perkara yang sangat sulit, bahkan dapat dikatakan mustahil. Berdasarkan analisa ini, pemberlakuan Permendag No. 80 tahun 2014 dan Permendag No. 21 tahun 2015 dapat dilihat sebagai upaya untuk memproteksi industri besar di bidang minyak goreng, dan mematikan industri minyak goreng rumahan yang bahan bakunya lebih banyak berasal dari Kelapa.
Â
Lalu bagaimana nasibnya nanti di tahun 2018? Dapat dipastikan bahwa implementasi aturan ini akan mematikan industri rumahan seperti ini, akan banyak rumah tangga yang kehilangan sumber ekonominya karena tidak mampu memenuhi ketentuan "wajib Kemasan" yang sesuai dengan ketentuan perudang-undangan. Kalau kita berkunjung ke daerah Sulawesi Barat (Mandar), tak akan ada lagi minyak goreng dengan aroma harum dan khas sebagai oleh-oleh. Demikian juga ketika kita berkunjung ke pasar-pasar tradisional di Minahasa, Maluku, Ternate, maupun daerah-daerah lainnya yang selama ini dikenal sebagai sentra perkebunan kelapa, minyak goreng yang bersumber dari kelapa mungkin sudah tidak ada lagi, karena memproduksi dan menjualnya adalah pelanggaran yang bisa jadi akan berkonsekuensi hukum.
Sekali lagi yang diuntungkan dengan lahirnya aturan seperti ini adalah perusahaan-perusahaan besar pemilik brand minyak goreng, dan akan mematikan industri yang berbasis rumah tangga. Tidak dapat dipungkiri bahwa dari aspek kualitas, minyak goreng produksi perusahaan pemegang brand tentunya akan lebih berkualitas, sehat, dan lebih aman dibanding dengan minyak goreng curah atau yang dikemas dalam botol dan jergen. Meski demikian, pemerintah juga harus membuka mata bahwa faktanya masih banyak masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari proses produksi minyak goreng secara tradisional.Â
Oleh karena itu, pemerintah harus melakukan pembinaan, bukan melakukan pembinasaan, minyak goreng produksi rumahan harus ditingkatkan kualitasnya agar dapat memenuhi standar produksi, mutu, dan keamanan pangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dengan demikian selain dapat memberikan perlindungan terhadap konsumen, sekaligus juga dapat melindungi perekenomian masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H