Runtuhnya rezim Orde Baru yang dikomandoi oleh Jenderal Besar (Pur.) Soeharto bersama konco-konconya berdampak luas ke berbagai sektor. Kejatuhan Orde Baru ini memunculkan sebuah era baru yang lebih lazim disebut Orde Reformasi. Di bidang politik, perubahan undang-undang pemilu dan kepartaian telah memungkinkan bermunculannya banyak partai politik sebagai peserta pemilu. Akan halnya Golongan Karya (Golkar) yang pada masa orde baru menyebut dirinya sebagai organisasi massa (ormas), agar dapat mengikuti pemilu tahun 1999 (pemilu pertama di era reformasi) bermetamorfosis menjadi Partai Golkar dengan jargon "Goklar Baru"
Sejak keikutsertaannya pada setiap pemilu, Partai Golkar tidak pernah terlempar dari 3 besar pemenang pemilu. Pada tahun 1999, Partai Golkar berada pada posisi ke 2 dibawah PDIP, Pemilu tahun 2004 Partai Golkar muncul sebagai partai pemenang pemilu, sedangkan pada tahun 2009 dan 2014, Partai Golkar kembali berada pada posisi ke dua, kalah bersaing dengan Partai Demokrat (tahun 2009) dan PDIP (tahun 2014).
Menarik untuk dicermati, pada setiap agenda pergantian kekuasaan, Partai Golkar tidak pernah lagi menjadi pemenang untuk mendudukkan kadernya pada posisi nomor satu di negeri ini, bahkan cenderung melahirkan perpecahan. Pada Pemilu 2009Â misalnya, secara vulgar kita bisa mencermati pertarungan poros Habibie di satu sisi berhadapan dengan poros Akbar Tanjung pada sisi yang lainnya. Demikian juga pada Pemilu 2004, selain ditandai dengan lahirnya beberapa partai kloningan Golkar seperti HANURA dan GERINDRA (partai yang lahir pasca Pemilu 2004), kita juga dapat menyaksikan pertarungan elit Golkar yang memperhadapkan kubu Akbar Tanjung yang mengusung Wiranto sebagai Capres dan kubu Jusuf Kalla yang maju sebagai Cawapres berpasangan dengan Susilo Bambang Yudoyono (SBY).
Pada tahun 2009, Partai Golkar maju dengan mengusung JK (Ketua Umum Golkar) sebagai Capres berpasangan dengan Wiranto (Hanura), sebagaimana kita ketahui bahwa perolehan suara JK-Win hanya dikisaran 10% lebih dan menduduki posisi nomor 3. Yang menarik dicermati, bukan peroleh JK (yang perolehan suaranya lebih rendah dari suara partai Golkar), tetapi prilaku elit Partai Golkar yang tidak sepenuh hati mendukung pencapresan JK, termasuk di dalamnya adalah kubu Akbar Tanjung dan kubu Abu Rizal Bakri (ARB). Prilaku elit Golkar ini selalu muncul pada setiap agenda pergantian kekuasaan.
Setelah pilpres selesai, Partai Golkar di bawah kubu ARB sebagai ketua dan Akbar Tanjung sebagai ketua dewan pembina merapat ke Partai Demokrat sebagai pemenang pemilu. Persaingan antar kubu ini pun melahirkan Nasdem yang dimotori oleh Surya Paloh, yang sebelumnya menjabat sebagaiKetua Dewan Pembina Partai Golkar di era JK dan calon Ketua Golkar.
Pada pemilu kali ini, Partai Golkar merapat dan membangun kerjasama dengan Gerindra untuk mengusung Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa sebagai Capres dan Cawapres. Ini dilakukan setelah Golkar tidak dapat membangun kerjasama dengan parpol lainnya untuk mengusung ARB. Manuver dan kelihaian Golkar sangat terlihat dalam pemilu kali ini, setelah gagal mengusung ARB, Partai Golkar melalui ARB mencoba untuk melakukan pendekatan ke PDIP. Kita masih ingat pertemuan Jokowi dengan ARB di sebuah pasar, pertemuan ini mengindikasikan bahwa Golkar dan ARB akan cenderung bekerjasama dengan PDIP, Nasdem, dan PKB. Masyarakat disuguhkan sebuah akrobatik politik yang sangat lihai (licik) dari ARB dan gerbong Golkarnya, setelah pada pertemuan terakhir dengan Megawati (sebagai pemilik suara tunggal pencapresan di PDIP), Golkar pun balik arah ke gerbong Gerindra.
Langkah ARB dan gerbongnya yang diserahi mandat penuh dalam Munas Golkar untuk menentukan arah koalisi dengan merapat ke gerbong Gerindra ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan menimbulkan friksi di internal Golkar. Tidak semua elit dan kader Golkar menerima langkah yang dilakukan oleh ARB, kekecewaan sebagian elit dan kader Golkar ini dapat dipahami, karena pada sisi lainnya PDIP bersama dengan Nasdem dan PKB telah mendeklarasikan Jokowi berpasangan dengan Jusuf Kalla, salaj satu tokoh senior Golkar dan mantan ketua umum. Pada momen ini lah Golkar kembali bergolak, pergolakannya bukan hanya di tingkat DPD tingkat II (DPD Kab./Kota) yang sejak awal tidak menerima baik penetapan ARB sebagai Capres Golkar. Di tingkat elit, tokoh muda Golkar seperti Indra J. Piliang, Pompita Hidayatullah, Nusron Wahid, Agus G. Kartasasmita terang-terangan melakukan pembangkangan terhadap keputusan DPP Golkar dan menyembrang ke kubu Jokowi-JK. Pun demikian halnya tokoh-tokoh senior Golkar seperti Zainal Bintang, Fahmi Idris, Ginanjar Kartasasmita, serta Suhardiman (tokoh Soksi).
Gejolak Golkar saat ini hampir mirip dengan gejolak tahun 2004, dimana sebagian elit Golkar seperti Fahmi Idris, JK, dan lainnya mendapat sanksi pemecatan dari DPP Golkar. Pilihan politik sebagian elit dan kader Golkar yang berbeda dengan garis partainya juga berujung pada pemecatan, seperti yang disampaikan oleh Idrus Marham (Sekjen Golkar), DPP telah melakukan pemecatan terhadap Agus Gumiwang Kartasasmita, Nusron Wahid dan Poempida Hidayatulloh karena tidak mentaati kebijakan partai mendukung Prabowo - Hatta.
Akankah moment pergantian kekuasaan saat ini akan kembali mempertajam perselisihan para elit dan kader Golkar? yang kemudian berujung lahirnya partai baru akibat ketidak puasan dan perbedaan pilihan politik? Menarik untuk dicermati akan seperti apa Partai Golkar selanjutnya, yang jelas kelihaian berpolitik yang dimainkan oleh para kader dan elit Golkar akan tetap melanggengkan akses Golkar kepada kekuasaan, siapapun presdiennya.
Setelah Pilpres digelar, Golkar akan kembali bertarung secara intenal dalam Munas yang akan dilaksanakan pada tahun 2015, bahkan beberapa kader dan elit Golkar ingin agar Munas dilaksanaan sekitar awal Oktober 2014, pertarungan antar kubu dalam Golkar akan kembali memanas. Jika pada pemilu presiden dimenangkan oleh Jokowi JK, maka dapat dipastikan JK akan kembali menanamkan pengaruhnya ke Golkar, kubu ARB dan Akbar Tanjung dipastikan tersingkir, sebaliknya jika Prabowo-Hatta yang memenangkan pemilihan, maka kelompok ARB dan Akbar Tanjung bisa sedikit bernafas lega ...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H