Mohon tunggu...
Asmuddin
Asmuddin Mohon Tunggu... lainnya -

www.asmuddin.blogspot.com Belajar Menulis "Jika tidak bisa turun ke jalan, melawanlah dengan TULISAN"

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Daun Beringin Berguguran

10 Desember 2014   08:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:38 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca sejarah panjang perjalanan Partai Golongan Karya (Golkar) sama halnya dengan membuka lembaran-lembaran perjalanan pembangunan bangsa ini. Fakta ini menegaskan bahwa sejak berdirinya sekitar kurang lebih 50 tahun yang lalu, tidak bisa dipungkiri sumbangsih Partai Golkar sangatlah besar. Selama 32 tahun Partai Golkar merupakan partai yang sangat dominan, baik itu di tingkat legislatif maupun eksekutif. Bahkan setelah runtuhnya rezim Soeharto/Orde Baru dimana Partai Golkar adalah menyanggah utamanya, pun berhasil dilewati dengan pencapaian yang luar biasa. Sebagian pengamat memprediksi, bahkan menginginkan Partai Beringin rindang ini redup dan hancur seiring dengan bergantinya rezim kekuasaan. Ini seirama dengan tuntutan sebagian aktivis pergerakan saat itu untuk membubarkan Golkar, sama seperti tuntutan pembuaran PKI di era pergantian rezim dari Orde Lama ke Orde Baru. Sampai pada tahap ini, Partai Golkar tetaplah merupakan partai yang mumpuni dan menjadi magnet bagi voter. Pemilu tahun 1999 peroleh suara Partai Golkar berhasil menempati posisi nomor dua di bawah PDIP, mengantar Akbar Tanjung sebagai Ketua DPR serta beberapa kadernya duduk di jajaran kabinet Gus Dur - Megawati. Kepiawaian Partai Golkar dalam mengelolah isu dan membangun komunikasi politik menempatkan partai beringin ini tidak pernah lepas dari kesempatan mengelolah pemerintahan (menjadi bahagian dari kekuasaan). Kericuhan di DPP Golkar (sumber: news.okezone.com) Sejarah panjang dan pengalaman Partai Golkar seperti yang diuraikan sebelumnya, sangat bertolak belakang dengan kondisi saat ini. Sejak di bawah kepemimpinan Aburizal Bakri (ARB), benih-benih konflik dinternal partai seakan merontokkan helai demi helai daun beringin yang disimbolkan sebagai pohon rindang, tempat berteduh yang nyaman bagi banyak orang. Pada periode pertama kepemimpinannya, konflik internal mulai tidak terkelola dengan baik, sebagian daun dan akar beringin tumbuh menjadi Partai Nasional Demokrat (Nasdem) yang di motori oleh Surya Paloh, kader partai yang tumbuh dan besar di bawah naungan pohon beringin serta mantan Ketua Dewan Pertimbangan partai di era Jusuf Kalla. Dalam catatan Anas Urbaningrum, "Partai Golkar belum pernah mengalami situasi konflik seperti sekarang" Ini memang menjadi pertanyaan, perjalanan panjang  Partai Golkar membuktikan bahwa partai ini memiliki akar yang kuat, tidak mudah goyah, tahan banting, selalu dapat menjadikan "hadangan" sebagai "peluang" mengelola "konflik internal" menjadi "penguat soliditas". Banyak kader Golkar yang  keluar dan memilih membentuk partai baru, tapi tidak menimbulkan pertentangan yang luar biasa. Sebelum Surya Paloh dengan Nasdemnya, di era Akbar Tanjung ada PKP yang didirikan oleh Edi Sudrajat, lalu Wiranto yang mendirikan Partai Hanura, juga ada Prabowo Subianto dengan Partai Gerindra nya, R. Hartono dengan PKPB nya, meskipun tiga partai yang disebutkan terakhir lahir dalam konteks yang berbeda (bukan merupakan hasil dari konflik perebutan kekuasaan), semuanya tidak pernah meninggalkan gejolak tarik menarik antar kubu seperti saat ini. Pertarungan vulgar antara kubu ARB dengan kelompok Agung Laksono telah memperlihatkan wajah lain dari Partai Golkar. Di usia nya yang sudah 50 tahun, Partai Beringin ini memperlihatkan karakternya yang "sudah pikun". Karekater ini ditandai dengan semakin banyaknya sifat kekanak-kanakan dalam berpolitik yang dipertontonkan oleh para kadernya. Adu jotos, egois, memperebutkan kekuasaan dan jauh dari nilai-nilai demokrasi yang seharusnya menjadi "ruh" Partai  Golkar sebagai pilar demokrasi adalah adalah sifat kekanak-kanakan dalam berpolitik yang menjadi tanda-tanda "pikun" karena itu terjadi pada Partai Golkar (partai paling tua). Membaca latarnya, konflik di tubuh Partai Golkar sangat mudah disimpulkan sebagai pertarungan perebutan pengaruh kekuatan eksternal dengan menggunakan kader-kader Golkar yang haus kekuasaan, tidak bisa dilepaskan dari latar perebutan pengaruh KIH dan KMP, kepentingan untuk menarik Partai Golkar menjadi penyokong pemerintah. Munas IX Partai Golkar adalah instrumen dan momentum perebutan itu. Munas Bali melahirkan kepengurusan partai di bawah ARB, Munas Ancol mengumumkan kepengurusan Partai Golkar di bawah Agung Laksono. ARB adalah simbol KMP, antitesa dari itu adalah pengumuman Agung Laksono bahwa Partai Golkar keluar dari KMP dan mendukung pemerintahan Jokowi - JK. Masing-masing hasil Munas mengklaim sebagai produk legal dengan mengilegalkan yang lain. Dengan adanya dua kepengurusan Partai Golkar di tingkat pusat yang keduanya mengaku paling legal, konflik ini tinggal menunggu momentum untuk menjalar ke tingkat DPD, jika sudah sampai pada tingkat daerah, maka daun-daun beringin tua ini akan semakin rontok, tidak lagi rindang, dan akan dijauhi oleh siapa pun, kecuali orang yang ingin mencari kayu bakar. Makasar, 10 Desember 2014 Kamar Lt. Blok B/12 www.asmuddin.blogspot.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun