Dengan sedikit senyum sambil mengangkat segelas kopi, ia pun menjawab,"sudah aku hancurkan, sudah aku pecah-pecah!"
"Loooohh".
"Yaaa, sebelum perahuku dikuasai orang lain, sebelum perahuku dinaiki para mereka yang merasa, sebelum dikemudikan para....! ya..itulah yang aku rasa jalannya."
"Lalu kayunya?" Tanyaku menyaut.
"Kayunya, bangkai perahu ku, sudah aku bagi-bagikan. Ke pemilik warung untuk nambal bangku, ke tetangga untuk kayu bakar, ke teman nelayan untuk memperbaiki perahunya, ke dan ke yang lain, sudah aku bagikan merata. Semua yang pernah mendukungku, he he maksudku yang aku kenal sudah aku bagi semuanya".
Aku tak mengerti dan tak sanggup mengerti apa pemikiran, kemauan, keinginan, maksudnya, tujuannya.
"Ya, biar nanti mereka semua mengingat aku, berterima kasih pada ku, memuji-muji ku, dan selalu berbalas budi pada ku."
"Wis emboh, aku gak ngerti!"
(cerita ini bukan sekedar fiksi belaka, apabila ada kesamaan tempat dan nama memang disengaja!)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H