Tahun 2018 telah dilalui dengan tidak mudah. Banyak masalah perekonomian mulai dari menurunnya nilai tukar rupiah, masalah fiskal, rendahnya pendapatan negara dari ekspor, perang dagang antara Amerika dan Tiongkok, serta kisruh politik-populis yang turut serta menjadi batu sandungan yang cukup berarti.Â
Tantangan-tantangan tersebut menjadi pekerjaan rumah yang harus dituntaskan oleh pemerintah Indonesia di tahun 2019. Selain itu, tahun 2019 akan menjadi tahun politik yang sangat menentukan kondisi perekonomian Indonesia lima tahun kedepan.Â
Sejauh ini, belum ada ukuran empiris yang bisa menjamin siapa yang akan terpilih menjadi presiden Indonesia di 17 April 2019. Hasil survei menunjukkan pasangan Jokowi-Ma'ruf jauh mengungguli Prabowo-Sandi, tapi ini tidak bisa menjadi jaminan bahwa pasangan Jokowi-Ma'ruf pasti akan terpilih.
Mari kita berkaca pada pemilihan Presiden Amerika di tahun 2016, ketika Donald  Trump versus Hillary Clinton,  dimana survei menunjukkan bahwa Hillary unggul 99% melawan Trump. Akan tetapi hasil pemilihan menunjukkan hasil yang berbeda, Trump unggul di pemilihan elektoral.Â
Kasus serupa juga terjadi pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta Ahok-Jarot vs Anies Sandi, dimana Ahok-Jarok selalu unggul di berbagai lembaga survei tapi kalah pada pemilihan Gubernur.
Oleh karena itu, semester pertama tahun 2019, akan dipenuhi oleh ketidak pastian ekonomi dan politik. Sementara pada semester kedua, apabila pasangan Jokowi-Ma'ruf tidak terpilih, maka tahun 2019, akan dilewati dengan perubahan dan transisi pola dan penyesuaian kebijakan ekonomi politik dari pemerintahan Jokowi ke Prabowo.Â
Penyesuaian kebijakan dalam pergantian Presiden biasanya membutuhkan waktu setidaknya setahun lebih sejak terpilih, sehingga kemungkinan besar, dampak kebijakan baru akan terlihat pada tahun 2021. Dalam istilah Keynesian Ekonomi, dikenal dengan Time Lags, yang secara sederhana berarti setiap kebijakan membutuhkan waktu untuk bisa terlihat dampaknya.
Oleh karena itu pergerakan ekonomi Indonesia, tahun 2019 - 2021 tidak akan menunjukkan pertumbuhan GDP yang cukup signifikan. Perkiraan saya, pertumbuhan ekonomi akan berada pada angka 5 - 5.5%.Â
Sementara itu apabila Jokowi-Ma'ruf terpilih di tahun 2019, maka sudah pasti program yang sama akan terus dijalankan, sehingga secara hitungan ekonomis lebih bermanfaat buat pasar dan investor, karena mereka sudah familier dengan pola kebijakan Jokowi pada pemerintahan sebelumnya, sehingga mereka bisa melakukan hitungan ekonomis yang lebih jelas.Â
Meskipun demikian, Indonesia tidak serta merta bebas dari berbagai permasalahan ekonomi yang kemungkinan besar akan lebih berat di tahun 2019. Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga tidak akan menunjukkan pergerakan yang signifikan, kemungkinan besar akan berada pada 5 - 5.7%.
Hal ini disebabkan belum ada pergerakan ekonomi yang berarti dari segi peningkatan pendapatan negara, serta belum adanya kerangka yang jelas dan hitungan empiris yang pasti  bagaimana mengatasi permasalahan tersebut.Â
Permasalahan Menahun
Dua permasalahan ini akan terus menghantui nilai pergerakan Rupiah, inflasi dan kesehatan keuangan negara. Minimnya pendapatan negara dari sektor pajak, yang disebabkan oleh rendahnya nilai ekspor akan terus menggerus keuangan negara.
Sementara itu, untuk meningkatkan produktivitas yang berbasis teknologi terapan dibutuhkan kualitas sumber daya manusia yang tinggi. Kalau dilihat dari kondisi pembangunan sumber daya manusia dari tingkat competitiveness index di tahun 2018 menunjukkan Indonesia berada di posisi ke 45 jauh tertinggal dari negara tetangga terdekat seperti Thailand, Malaysia dan Singapura, meskipun dalam kurung sepuluh tahun Indonesia sudah naik 10 digit dari posisi 55 ke 45 (Lihat Figure 1 diatas).
Ini harus menjadi perhatian utama dari pemerintah Indonesia, siapapun Presidennya, permasalahan kualitas pendidikan Indonesia harus menjadi target dan capaian utama dalam pembangunan jangka panjang.Â
Selain itu kondisi ekonomi politik global termasuk perang dagang Amerika dan Tiongkok, kemungkinan besar masih akan terus berlangsung sampai tahun 2020. Oleh karena itu, Indonesia tidak bisa berharap banyak pada pergerakan ekonomi dunia, malah pemerintah harus mengantisipasi perubahan perekonomian dunia yang menunjukkan pergerakan ke krisis finansial di tahun 2020.Â
JPMorgan Chase & Co. memprediksikan pada tahun 2020 akan terjadi krisis ekonomi yang lebih besar dibandingkan dengan krisis ekonomi di tahun 2008. Ini sudah pasti akan memberikan membawa kelesuan permintaan pasar internasional yang membawa dampak pada rendahnya ekspor.
Selain harga batu bara dan Crude Palm Oil diprediksikan akan jatuh pada tahun 2019-2020, hal ini disebabkan, masing-masing negara membuat pengetatan belanja dan perubahan kebijakan ekonomi terutama negara-negara Eropa untuk mengantisipasi gejolak krisis ekonomi di tahun 2020.
Oleh karena itu, sektor Indonesia harus berbenah diri dengan membangun relasi ekonomi bilateral yang lebih kuat, mengingat sejak terpilihnya Trump dan Brexit terjadi pola kebijakan ekonomi dunia dari ekonomi terbuka ke ekonomi tertutup.Â
Celah ini sebenarnya bisa dimanfaatkan oleh pemerintah dengan membangun ekonomi regional yang kuat, mengingat perekonomian Indonesia masih sangat ditunjang oleh belanja nasional.
Akan tetapi semua itu hanya bisa dilakukan apabila kesetaraan kualitas pembangunan infrastruktur fisik dan manusia di 35 provinsi di Indonesia terwujud, atau paling tidak di setiap pulau besar di Indonesia terdapat satu wilayah yang menjadi pusat dagang dan transformasi ekonomi berbasis teknologi terapan.
London, January 3rd 2019.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H