Peristiwa pengeboman yang baru-baru ini terjadi yang melibatkan seluruh anggota keluarga, dua anak perempuan dan dua anak laki-laki yang masih di bawah umur, beserta dengan kedua orang tuanya dengan lokasi pengeboman di Surabaya.
Peristiwa ini tentunya menyisakan tanda tanya besar, bagaimana mungkin seorang Ayah dan Ibu tega menjadikan anak-anaknya tumbal untuk kepentingan egoisme pribadi?
Di tulisan ini saya ingin coba menalar latar belakang kejadian ini dari pendekatan politik dan kajian psikologi terorisme. Tapi sebelum itu kita harus membentuk kesepahaman apa yang dimaksud dengan terorisme.
Definisi Terorisme
Terorisme sendiri dalam Bahasa Inggris disebut terrorism, kata tersebut muncul diabad ke 17 sewaktu pemerintahan Faksi Jacobin yang dipimpin oleh Maximilien Robespierre yang berlansung dimasa revolusi Perancis. Â
Robespierre melancarkan aksi protes dan pemberontakan yang membawa kejatuhan sistem monarki di Perancis. Aksi tersebut dikenal dengan istilah 'terror' yang kemudian menjadi konsep dasar dari terorisme. Terorisme sendiri secara etimologi adalah: tindakan kekerasan dengan mengintimidasi warga sipil yang tidak dibenarkan oleh hukum untuk mencapai tujuan-tujuan politik.
Sedangkan definisi terorisme menurut PBB Pasal 2, ayat 1, paragraph bagian B tahun 1999, adalah: segala aksi yang menyebabkan kematian atau cedera badan yang serius pada warga sipil, atau siapapun yang mengambil peran aktif dalam pertempuran/konflik yang dipersenjatai yang ditujukan untuk mengintimidasi orang banyak dan memaksa pemerintah atau organisasi internasional untuk mengikuti keinginannya.
Lebih rinci Pual Pillar dalam bukunya Terrorism and US Foreign Policy mendefinisikan terorisme sebagai: segala tindakan yang didasari oleh motif politik dengan menggunakan kekerasan kepada warga yang tidak bersenjata, yang dilakukan oleh group tertentu atau agen rahasia yang ditujukan untuk mempengaruhi orang lain.
Konsep terorisme kemudian berkembang dan diartikan lebih sempit menyusul peristiwa 9/11 2001 di Amerika Serikat, diadopsi oleh NATO yang mendefisikan terorisme: sebagai tindakan melawan hukum yang menggunakan ancaman dan kekerasan untuk melawan individu atau properti yang ditujukan untuk memaksa dan mengintimidasi pemerintah atau masyarakat untuk mencapai tujuan politik, agama dan objektif ideologi tertentu. Definisi ini memiliki kemiripan dengan FBI dan konsep terorisme di Uni Eropa.
Psikologi Terorisme
Terorisme tidak bisa dilepaskan dari terbentuknya 'entitas kepahaman' yang membentuk objektifitas dan perspektif dari individu tesebut.
Menurut pakar Psikologi Muthiasari Abikusno, mengemukakan bahwa: orang yang terpapar terorisme biasanya tatanan kognitif mereka mengalami kedangkalan kepemahaman akan subjek 'agama' yang ditanamkan dialam bawah sadar mereka. Kedangkalan ini merujuk pada kurangnya referensi ilmu dari individu yang bersangkutan, sehingga informasi apapun yang masuk akan diterima tanpa disaring secara logis.
Hal itu hanya bisa terjadi apabila orang yang bersangkutan membuka diri mereka dengan sangat terbuka kepada ajaran dan dogma tersebut.
Sehingga bisa dipahami bahwa orang yang mampu menyebarkan ideologi tersebut adalah orang yang memiliki hubungan psikologis sangat dekat dengan orang yang dipapari ajaran terorisme.
Hal senada juga diungkapkan oleh John Horgan dalam bukunya The Psychology of Terrorism mengemukakan bahwa orang yang terpapar paham terorisme biasanya memiliki hubungan keterikatan yang sangat dekat antara satu sama lain.
Ajaran yang sudah melekat dalam alam bawah sadar akan sangat mudah untuk membentuk motivasi seseorang untuk melakukan tindakan melawan hukum, termasuk melakukan bom bunuh diri atau dengan kata lain mengorbankan dirinya sendiri.
Akan tetapi ada dua perbedaan pendapat dalam memahami konsep ini karena seseorang yang rela mengorbankan dirinya untuk membela dan menyelamatkan orang lain seperti misalnya: pengorbanan tentara dimedan perang atau pemadam kebakaran, tidak bisa dimasukkan dalam kategori yang sama meskipun sama-sama mengorbankan diri sendiri.
Ini kemudian membedakan konsep nationalisme dan patriotisme dalam diposisi right wing, sedangkan terorisme berada pada left wing. Faktor kesamaan dari tiga konsep tersebut ada pada motivasi untuk melakukan tindakan yang diluar jangkauan nalar. Satu hal yang pasti menurut Abikusno adalah untuk meraih level tersebut dibutuhkan paparan ideologi yang lama dan terus-menerus, sehingga frontal cortexnya sudah tidak berkembang dengan baik.
Dari definisi terorisme yang sudah dibahas pada awal artikel ini, ada dua kata yang tidak bisa dilepaskan satu sama lain yakni politik dan agama (paham agama apapun). Kedua unsur ini saling berkaitan karena melibatkan unsur 'entitas kepahaman'.
Saya kurang setuju dengan pihak yang berusaha untuk tidak mengaitkan masalah keagamaan atau faktor 'agama apapun' dalam kejadian terorisme. Karena tidak bisa dinafikkan oknum yang melakukan tindakan terorisme di Indonesia dipengaruhi oleh paham agama (yang dia yakini) sudah ter-distorsi untuk mencapai tujuan politik organisasi tertentu. Sehingga sangat jelas agama menjadi instrumen yang digunakan untuk melancarkan paparan ajaran terorisme tersebut.
Terlepas dari siapapun yang melakukan dan siapapun tujuan sasaran tindakan tersebut, hal tersebut hanyalah faktor teknis dan strategi, tetapi fondamen dasar dari aksi tersebut adalah faktor politik yang menggunakan instrumen dalih agama untuk mencapai tujuan-tujuan politik. Seperti misalnya ISIL ataupun ISIS yang memiliki tujuan politik untuk membentuk Negara Islam.
Hal ini sangat sering diliat dalam kontestasi politik dalam negeri Indonesia yang kerap menggunakan agama sebagai dagangan politik yang secara sadar ataupun tidak sadar telah membuat masyarakat luas terpapar oleh idealisme politik yang dibenturkan dengan paham agama.
Disamping itu, kurangnya konsep pemahaman politik sering menjebak masyarakat tidak bisa membedakan membela entitas agama atau entitas politik, seperti misalnya perjuangan Palestina ataupun perang di Suriah sering dikaitkan dengan kontekstual agama.
Padahal dalam konsep teori politik yang menjadi entitas konflik disini adalah negara dengan sistem politiknya, yang kebetulan penduduknya mayoritas memeluk agama tertentu.
Ini diperparah oleh kebanyakan penyebar agama di Indonesia yang sering menganjurkan untuk membela perang di Suriah ataupun Palestina, padahal mereka tidak bisa membedakan antara membela entitas agama atau politik, sehingga terjebak dalam paham yang saling berkontradiksi satu sama lain.
Seperti dikemukakan oleh Pakar Hubungan Internasional Kardina Karim Hamado, bahwa "banyak 'ustad' yang mengecam aksi terorisme di Surabaya, akan tetapi dikesempatan yang lain mereka juga menganjurkan peran di Suriah, ajaran mereka terjebak pada konsep membela, perang, agama dan politk". Â
Paparan seperti ini sangat berbahaya untuk ditelaah oleh masyarakat awam yang memiliki dasar pengetahuan yang kurang. Sehingga apapun yang akan disampaikan oleh penyebar agama tersebut akan telan mentah-mentah.
Oleh karena itu mungkin ada baiknya ada sinkronisasi yang jelas antara institusi negara, hukum dan agama di Indonesia. Dengan kata lain negara harusnya bisa menyaring siapa saja yang bisa menjadi penyebar agama, kalau dosen atau guru saja harus melalui seleksi kualifikasi maka penyebar agamapun harusnya melalui proses seleksi karena pada dasarnya mereka sama-sama berfungsi untuk mengajarkan sesuatu atau mentransfer ilmu/informasi kepada khalayak umum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H