Menurut pakar Psikologi Muthiasari Abikusno, mengemukakan bahwa: orang yang terpapar terorisme biasanya tatanan kognitif mereka mengalami kedangkalan kepemahaman akan subjek 'agama' yang ditanamkan dialam bawah sadar mereka. Kedangkalan ini merujuk pada kurangnya referensi ilmu dari individu yang bersangkutan, sehingga informasi apapun yang masuk akan diterima tanpa disaring secara logis.
Hal itu hanya bisa terjadi apabila orang yang bersangkutan membuka diri mereka dengan sangat terbuka kepada ajaran dan dogma tersebut.
Sehingga bisa dipahami bahwa orang yang mampu menyebarkan ideologi tersebut adalah orang yang memiliki hubungan psikologis sangat dekat dengan orang yang dipapari ajaran terorisme.
Hal senada juga diungkapkan oleh John Horgan dalam bukunya The Psychology of Terrorism mengemukakan bahwa orang yang terpapar paham terorisme biasanya memiliki hubungan keterikatan yang sangat dekat antara satu sama lain.
Ajaran yang sudah melekat dalam alam bawah sadar akan sangat mudah untuk membentuk motivasi seseorang untuk melakukan tindakan melawan hukum, termasuk melakukan bom bunuh diri atau dengan kata lain mengorbankan dirinya sendiri.
Akan tetapi ada dua perbedaan pendapat dalam memahami konsep ini karena seseorang yang rela mengorbankan dirinya untuk membela dan menyelamatkan orang lain seperti misalnya: pengorbanan tentara dimedan perang atau pemadam kebakaran, tidak bisa dimasukkan dalam kategori yang sama meskipun sama-sama mengorbankan diri sendiri.
Ini kemudian membedakan konsep nationalisme dan patriotisme dalam diposisi right wing, sedangkan terorisme berada pada left wing. Faktor kesamaan dari tiga konsep tersebut ada pada motivasi untuk melakukan tindakan yang diluar jangkauan nalar. Satu hal yang pasti menurut Abikusno adalah untuk meraih level tersebut dibutuhkan paparan ideologi yang lama dan terus-menerus, sehingga frontal cortexnya sudah tidak berkembang dengan baik.
Dari definisi terorisme yang sudah dibahas pada awal artikel ini, ada dua kata yang tidak bisa dilepaskan satu sama lain yakni politik dan agama (paham agama apapun). Kedua unsur ini saling berkaitan karena melibatkan unsur 'entitas kepahaman'.
Saya kurang setuju dengan pihak yang berusaha untuk tidak mengaitkan masalah keagamaan atau faktor 'agama apapun' dalam kejadian terorisme. Karena tidak bisa dinafikkan oknum yang melakukan tindakan terorisme di Indonesia dipengaruhi oleh paham agama (yang dia yakini) sudah ter-distorsi untuk mencapai tujuan politik organisasi tertentu. Sehingga sangat jelas agama menjadi instrumen yang digunakan untuk melancarkan paparan ajaran terorisme tersebut.
Terlepas dari siapapun yang melakukan dan siapapun tujuan sasaran tindakan tersebut, hal tersebut hanyalah faktor teknis dan strategi, tetapi fondamen dasar dari aksi tersebut adalah faktor politik yang menggunakan instrumen dalih agama untuk mencapai tujuan-tujuan politik. Seperti misalnya ISIL ataupun ISIS yang memiliki tujuan politik untuk membentuk Negara Islam.