Terlalu persoalan dosen yang diberikan beban mengajar di luar kewajaran, mereka dituntut untuk memenuhi komponen pengabdian kepada masyarakat dan melakukan penelitian. Belum lagi masuk koreksi esai dan tugas mahasiswa, bimbingan, dsb.Â
Beban yang sangat besar ini sangat tidak sesuai dengan kemampuan mereka, sebagaimana diketahui, Dosen harus dituntut selalu up-to-date dengan materi ajar mereka.
Untuk menyiapkan materi tentunya membutuhkan banyak waktu (di luar negeri biasanya mereka hanya mengajar satu-dua mata kuliah) sehingga mereka benar-benar memiliki waktu untuk mempersiapkan materi pengajaran.
Belum lagi mereka diberikan masa cuti belajar bisa sampai tiga bulan dalam setahun dan tidak mewajibkan mereka untuk ke kantor sehingga bisa benar-benar fokus pada penelitian.
Hal seperti ini yang belum terlihat di Indonesia. Yang ada, justri dosen-dosen kita lebih banyak bekerja seperti buruh. Miris. Mereka dituntut sekolah tinggi-tinggi, walaupun begitu kenaikan gaji setelah mereka lulus S3 --sekalipun lulusan dari luar negeri-- gajinya masih sama dengan karyawan kantor umumnya. Kalau sudah begini apa yang bisa kita harapkan?
Esensinya mereka juga manusia, Â dalam kondisi seperti ini jangan mengharapkan inovasi atau terobosan karena memang situasi dan prasarana tidak mendukung mereka untuk mengembangkan ilmu mereka.
Terlebih lagi kalau mereka bertugas di universitas yang, untuk biaya buku dan akses jurnal saja, mereka harus merogoh kantong sendiri.
Itu jugalah yang menyebabkan ada banyak lulusan Doktor dari luar negeri enggan kembali ke Indonesia. Selain mereka juga harus memikirkan kehidupan keluarga, mereka tidak mau ilmu yang diberikan akan mati begitu saja tanpa ada perkembangan.
Kalau sudah begini, apakah pemerintah mampu memberikan rasa keadilan yang sama dengan dosen luar yang akan diundang tersebut?
Sebagai contoh, saya pernah melihat dosen dengan predikat Doktor lulusan luar mengajar di Indonesia, Â tapi gajinya jauh lebih rendah dari ahli Bahasa dari Inggris yang notabene lulusan D3.
Belum lagi banyaknya sarjana dan ilmuan Indonesia yang kurang dihargai dan tidak mendapatkan tempat di Negerinya sendiri, seperti, misalnya, dokter Terawan Agus Putranto, atau David mahasiswa asal Indonesia yang diduga dibunuh karena hasil penelitiannya terkait dengan penelitianya karena memiliki nilai ekonomis sangat besar. Hal-hal seperti inilah yang harus diperhatikan dengan baik.