Mohon tunggu...
Asmiati Malik
Asmiati Malik Mohon Tunggu... Ilmuwan - Political Economic Analist

Political Economist|Fascinated with Science and Physics |Twitter: AsmiatiMalik

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Simbolisme Agama dan Emosionalisme Penganutnya

14 April 2018   09:39 Diperbarui: 19 April 2018   07:07 4045
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terlebih lagi mereka sejak kecil sudah dibentuk menjadi anak yang patuh dan taat-- dalam artian harus mendengar, mengikuti dengan anggapan menentang atau mempertanyakan ajaran, baik dari orang tua, guru, bahkan atasan-- adalah hal yang tabu. Sehingga perkembangan kepribadian mereka tidak mengarah kepada pribadi yang kritis rasional, tapi lebih kepada kritis emosional.

Nilai ini mirip sekali dengan nilai yang berkembang di wilayah Asia Pasifik di masa 551- 479 sebelum masehi atau yang sering dikenal dengan nilai-nilai tatanan sosial Confucianism. NIlai ini mengajarkan tatanan hierarki sosial di masyarakat, yang mewajibkan orang yang memiliki posisi lebih bawah harus patuh kepada orang yang lebih tinggi posisinya.

Nilai-nilai kepatuhan terseput tertanam di otak bawah sadar, sehingga terdapat keengganan untuk bersifat kritis terhadap sesuatu yang sebenarnya sama sekali tidak memiliki dasar scientific.

Contoh kecil misalnya, anggapan orang Batak tidak cocok menikah dengan orang Manado. Paham tersebut masih ada dan diterima di kalangan masyarakat yang notabene dianggap modern.

Anak yang patuh, taat dan diam mendengarkan, serta gemar mengiyakan kemauan orang tuanya juga dianggap lebih baik ketimbang anak yang suka protes. Konsep ini banyak berlaku di keluarga antara anak dan orang tua, bahkan antara suami dan istri, yang menuntut istri patuh kepada suaminya.

Hal ini kemudian diperparah oleh keinginan masyakat untuk memperbaiki diri, akan tetapi sumber rujukan yang dijadikan patokan untuk berubah tidak cukup bijak dalam menyampaikan ilmunya. Sehingga apa yang menjadi perkataan dari penyebar ajaran "agama" menjadi kebenaran yang mutlak harus diterima, yang menolak akan masuk golongan tidak benar-- yang patuh adalah golongan yang benar.

Terlebih lagi, dengan perkembangan teknologi informasi membuat orang dengan mudah menyebarkan dan menerima informasi tanpa adanya filter yang cukup, apalagi hal itu kemudian tidak didukung oleh kondisi kematangan ilmu dan emosi dari masyarakat tersebut. Dalam perfektif ilmu modern inilah yang disebut dengan wisdom atau kebijaksanaan.

Karen Kitchener dan Helene Brenner menjelaskan bahwa tingkat kebijaksaan seseorang memengaruhi cara dia memandang suatu masalah dan bagaimana dia merefleksikan masalah itu.

Dan untuk meraih tahap tersebut, seseorang dituntut untuk berfikir terbuka dan tidak menutup kemungkinan munculnya kebenaran dari manapun sumber kebenaran tersebut.

Sehingga yang menjadi patokan, dia menilai sesuatu tidak hanya didasarkan oleh satu segi ilmu semata, akan tetapi didasarkan pada pengetahuan yang mendalam akan suatu subjek ilmu, dan ditunjang oleh kemampuannya menelaah ilmu dan informasi yang lainnya, dengan tidak menutup kemungkinan bahwa hasil penilaian yang dia buat ada kesalahan, atau dengan kata lain peniliannya tersebut bukanlah kebenaran yang mutlak.

Oleh karena itu, masyarakat yang tidak melengkapi dirinya dengan ilmu yang cukup dan kemampuan untuk membuka diri terhadap informasi yang bertentangan dengan penilaiannya, akan membuat mereka menjadi masyarakat yang buta secara emosional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun