Mohon tunggu...
Asmawatty Lazuardy
Asmawatty Lazuardy Mohon Tunggu... -

Hidup Untuk Disyukuri\r\nHidup Untuk Sukses\r\nHidup Untuk Berbahagia

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

The Rise of True Love... ♥5♥

6 Oktober 2011   03:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:17 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Lambat laun terapi itu berhasil mengembalikan keberanian dalam diri Jasmine sepenuhnya. Kini menyelam ibarat minum obat tiga kali sehari. Pagi, siang sore atau kapanpun ombak sedang tenang, Jasmine pasti menyeretku untuk diving.

Wandi sempat kaget ketika pesanan tabung gas oksigenku melonjak dua kali lipat dari biasanya. Tapi dia segera maklum saat melihat sendiri betapa antusiasnya gadis Jasmine mengajaknya untuk ikut menyelam.

“Ayo, manajer Wandi! Mari ikut menyelam! Banyak mahluk cantik yang sayang untuk dilewatkan, lho…?, “Tawaran Jasmine sudah seperti sales marketer saja.

Tiba-tiba telepon genggamku berdering.

God… Mama!

“Wassalamu’alaikum, Yup… Mom! Aditya is speaking!, “Di seberang sana kudengar Mama tertawa senang.

“Apa…?! Ah, engga kok, engga kenapa-napa. Adit sehat kok. Hanya sedikit ada kesibukkan yang menyita waktu. Biasa Mam, soal kerjaan..

… Maaf, Mam. Belakangan aku sering menyelam, jadi jarang deh telepon Mama. Oke, wa’alaikummussalaam! Oke-oke… I’ll stick that in my mind! Oke, I know! Love you too! Mama is always numero uno!”

Kututup telepon itu dengan sedikit resah. Intuisi Mama yang menyebabkannya. Tak mungkin seorang dari pegawaiku yang berani cerita macam-macam tentang keberadaan gadis Jasmine yang masih menetap di pulau ini. Lalu darimana kecurigaan Mama muncul? Dan apa katanya, tadi? Aku telah menemukan putrid duyung cantik sehingga lupa telepon Mama?? Ah, semoga feeling Mama itu hanya disebabkan keteledoranku saja, kenapa sampai lupa kirim kabar seperti biasanya…

“Seserius itukah?, “Tanyaku pada Wandi usai mendengar ceritanya. Sesaat setelah pembicaraan dengan Mama terputus.

“Ya, Pak! Tamu itu mengaku dari Jakarta namun saat ini tengah bertugas di Minahasa. Lalu datang ke kantor kita di Ujung Pandang sekedar mengecek kebenaran tentang korban yang berhasil selamat dari kecelakaan pesawat Adam Air beberapa bulan lalu itu…”

Wandi diam sebentar. Mungkin menunggu reaksi dariku.

“Pak Aditya pasti ingin bertanya, darimana tamu tersebut mengetahui kabar tentang nona yang selamat itu, “Lanjut Wandi kemudian.

“Hm…?, “Gumamanku dengan alis yang runcing menyatu, mengiyakannya.

“Begini, Pak. Tamu tersebut ternyata punya teman yang bekerja di perusahaan kita. Tepatnya di bagian logistik, hanya saja logistik cabang atau pusat, mohon maaf saya belum tahu, Pak. Dan nama dari karyawan kita yang menjadi temannya itu, sekali lagi mohon maaf, saya juga belum tahu…. Ma-maafkan inkompetensi saya Pak…”

Kepala Wandi tertunduk, menunjukkan penyesalannya.

“Ngga pa-pa, Di! It’s OK. Tidak ada yang perlu disembunyikan kok. Kita bahkan wajib memberikan informasi seaktual mungkin tentang para korban Adam Air itu”

Sepeninggal Wandi, lidahku mendadak kelu.

Memberi informasi seaktual mungkin?? Itu sama artinya dengan membuka akses dari segi manapun bagi terkuaknya masa lalu Jasmine. Bagaimana kalau kelak Ia bertemu kembali dengan keluarganya.

Sudah siapkah aku melepasnya pergi? Back at last to where she belongs? Setelah sekian lama ini? Setelah kedekatan yang menentramkan ini? Setelah luka menahun di hatiku mengatup lagi??

“Silahkan Pak Aditya!, “Wandi kembali menghampiri. Kali ini dengan membawa segala perlengkapanku. Kopor yang pasti telah disiapkan Daeng Siti yang telah terbiasa mengurus keperluan perjalananku, tanpa perlu lagi instruksi yang detil dariku.

Suara bising baling-baling chopper yang dikemudikan Pak Hery semakin menegaskan waktu untukku segera pergi.

Dari kejauhan, kulihat pondok dengan seorang perempuan tua yang nampak melambaikan tangannya. Tak ada seseorang dengan bayangannya yang keluar masuk ruanganku sesuka hatinya. Ah, dia pasti masih di tengah samudera bersama Daeng Udin, yang memang kutugaskan untuk ‘keep an eye on her’ kala-kala aku berhalangan melakukannya.

Capung besi itu sudah membumbung lumayan tinggi. Masih tersisa beberapa menit baginya untuk meliuk dan melesat cepat membawaku pergi. Namun Pak Hery belum berani melakukannya, sebelum tanganku berpindah dari bahunya.

Aku masih menahan diri.

Jauh di bawah sana hanya lambaian daun nyiur yang pontang-panting karena hembusan angin kencang yang dihasilkan mesin baling-baling.

Lalu ‘noktah’ yang kuharapkan itu……muncullah!

Tangannya bergerak melambai-lambai ke atas. Kepalanya terus tengadah. Sepasang kakinya tak henti meloncat-loncat. Seolah ada satu loncatannya yang bisa menggapai capung besi ini. Bibirnya meneriakkan sesuatu yang tak mungkin kudengar.

Itu saja. Itu saja sudah cukup bagiku untuk memberi isyarata berupa tepukan di bahu, agar Pak Hery segera menerbangkan heli-nya.

Aku tersenyum tipis.

Kelegaan yang cepat digantikan dengan kegelisahan yang rasanya akan betah membuntuti, hingga kutahu siapa tamu yang mencariku itu.

Dan…, tak kusadari, senyum simpul dari Wandi yang maklum…

***keep your eyes peeled!***

Gambar dari sini

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun