Mohon tunggu...
Asmar Oemar Saleh
Asmar Oemar Saleh Mohon Tunggu... -

AOS - lahir di Soppeng, Sulsel, 28 Februari 1958. Alumni Fakultas Hukum UII Jogja (1985),pernah menjabat Deputi III Bidang Penanggulangan Pelanggaran HAM pada Kantor Menteri Negara Urusan HAM RI. Founder Reform Institute.Aktif menulis masalah-masalah hukum, HAM, politik dan sosial di berbagai media massa, antara lain, Kompas, Republika, Sinar Harapan, Media Indonesia, Jurnas, Koran/Majalah Tempo, Gatra, Panji Masyarakat, Humanis, dan lain-lain. Sejak 2007 sampai sekarang menjadi owner dan Managing Partner Asmar Oemar Saleh (AOS) & Partners Law Firm.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Platform Partai, Nyawa Partai

20 September 2010   15:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:06 668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebagian besar responden Kompas (lebih dari 65 persen) menyatakan, tidak puas tentang bagaimana partai merekrut dan mengendalikan anggota, memperkenalkan program kepada masyarakat; menangkap aspirasi masyarakat; menempatkan wakil di parlemen. Juga melakukan pendidikan politik kepada masyarakat. Survei itu menunjukkan, semua partai politik menghadapi persoalan serius dalam menjalankan fungsi-fungsinya.

Penurunan pamor partai politik ditunjukkan pula oleh makin kecilnya persentase pemilih. Jika pada pemilu legislatif 1999, pemilih mencapai 92 persen, turun pada 2004 menjadi 84 persen. Jika kecenderungan ini berlanjut, di masa depan partai-partai bersaing untuk jumlah suara yang makin sedikit.

Dalam kondisi seperti itu, mengalahkan pesaing (partai lain) saja tidak cukup. Apa gunanya menjadi pemenang, jika sebagai instrumen politik, partai justru mengalami penolakan dan sumber pelecehan di hadapan publik? Bahkan jika menang dan memerintah, Partai Demokrat bisa terjebak dalam iklim yang tidak sehat bagi negeri ini secara keseluruhan: kualitas demokrasi yang merosot ketika loyalitas kepada partai sangat rendah dan praktik money-politics mengemuka. Ini bisa memicu krisis pemerintahan dan bahkan krisis nasional dalam manifestasi yang buruk.

Kita harus sadar, sejarah eksistensi partai politik tidak semata-mata untuk kekuasaan melainkan kesejahteraan rakyat. Bung Hatta mengingatkan dalam tulisan “Demokrasi Kita” (1960) yang menggarisbawahi krisis demokrasi parlementer hingga muncul kediktatoran Bung Karno dengan memberangus semua partai politik. Hatta tak hanya menyalahkan Bung Karno, juga menyesalkan perilaku partai politik dan para elite yang tidak memiliki sikap kenegarawanan dan sikap tanggung jawab.

Harus ada sesuatu yang dilakukan. Pengelolaan partai ini memerlukan kerja ekstrakeras, tak hanya mengandalkan pada pengelolaan business as usual. Partai Demokrat harus bisa mengubah pendukung dari sekadar pendukung di pinggiran menjadi konstituen. Dia perlu menjadi partai yang mengakar, memiliki konstituen militan yang memberikan kestabilan dukungan kepada partai.

Keseimbangan antara mencari kekuasaan dan menyejahterakan masyarakat bisa dicapai jika Partai Demokrat memiliki garis ideologi yang jelas; memiliki pembeda signifikan dari partai lain. Banyak pengamat politik mengatakan, Indonesia sekarang memiliki banyak partai tapi tak satu pun memiliki ideologi. Pemilih tak bisa membedakan apa yang benar-benar diperjuangkan satu partai dari partai lain. Partai tak memiliki jati diri.

Salah satu langkah penting yang harus dilakukan Partai Demokrat adalah merumuskan ideologi atau platform partai secara lebih jelas dan spesifik. Ideologi “nasionalis-religius” yang sekarang ini ada bersifat terlalu abstrak dan tidak bisa operasional menjadi panduan dalam membuat pilihan-pilihan kebijakan politik. Kita sering melihat tidak adanya koherensi pilihan kebijakan di kalangan politisi Partai Demokrat. Mereka sering kali justru tampak terombang-ambing dalam kepentingan rekan koalisi. Partai Demokrat sering kali menari dengan tetabuhan partai lain atau kelompok penekan lain, tidak memiliki orkestra sendiri.

Kita mungkin agak alergi membicarakan ideologi. Orang bilang, ideologi sudah mati. Jika kita melihat negeri-negeri demokrasi lain, termasuk di Eropa dan Amerika, ideologi masih jauh dari berakhir. Di Amerika Serikat, misal, kita bisa melihat pilihan-pilihan kebijakan domestik yang berbeda antara Partai Republik dan Partai Demokrat meski dalam kebijakan luar negeri mereka nyaris sama. Kita juga bisa melihat pemihakan berbeda antara Partai Buruh dan Partai Konservatif di Inggris.

Ideologi belum mati. Negeri kita pun memiliki ideologi. Berkaitan dengan slogan partai nasionalis, ideologi Partai Demokrat tidak harus dirumuskan baru sama sekali melainkan bisa diturunkan dari ideologi nasional. Ideologi itu kemudian dirumuskan dalam platform yang lebih konkret, atau semacam action plan, yang selaras dengan aspek-aspek terpenting dalam konstitusi, Undang-Undang Dasar 1945.

Garis ideologi dan platform jelas, yang bisa dimanifestasikan secara konkret hingga tingkat cabang dan ranting. Ini akan membantu Partai Demokrat terlembagakan secara mengakar dalam masyarakat, stabil dalam persaingan di musim pemilu dan stabilitas internal organisasi dapat lebih terjaga.

Jadi, salah satu langkah yang mungkin dilakukan sekarang adalah menyusun platform baru Partai Demokrat, yang memungkinkan partai ini lebih mengakar, insya Allah menarik lebih banyak dukungan. Yang paling penting, memberikan manfaat lebih baik bagi kualitas demokrasi dan kesejahteraan rakyat Indonesia secara keseluruhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun