Mohon tunggu...
Asmar Oemar Saleh
Asmar Oemar Saleh Mohon Tunggu... -

AOS - lahir di Soppeng, Sulsel, 28 Februari 1958. Alumni Fakultas Hukum UII Jogja (1985),pernah menjabat Deputi III Bidang Penanggulangan Pelanggaran HAM pada Kantor Menteri Negara Urusan HAM RI. Founder Reform Institute.Aktif menulis masalah-masalah hukum, HAM, politik dan sosial di berbagai media massa, antara lain, Kompas, Republika, Sinar Harapan, Media Indonesia, Jurnas, Koran/Majalah Tempo, Gatra, Panji Masyarakat, Humanis, dan lain-lain. Sejak 2007 sampai sekarang menjadi owner dan Managing Partner Asmar Oemar Saleh (AOS) & Partners Law Firm.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Akselerasi Penegakan Hukum

31 Agustus 2010   10:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:34 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Potret korupsi

Tentu saja, untuk melihat apakah cita-cita besar penegakan hukum yang telah digariskan itu sudah tercapai atau belum, kita perlu melihat realitas yang ada di lapangan. Potret korupsi terkini di negeri ini menjadi salah satu indikator yang penting untuk dilihat.

Kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa tren korupsi di Indonesia pada semester I tahun 2010 meningkat. Indikasinya adalah naiknya jumlah kasus, tersangka, dan kerugian negara akibat korupsi dibandingkan dengan semester 1 tahun 2009. Pada semester itu, menurut Laporan ICW, terungkap sebanyak 86 kasus korupsi, dengan 217 tersangka dan kerugian negara sebesar Rp 1,17 triliun. Sedangkan pada pada semester 1 tahun 2010 ini terungkap sebanyak 176 kasus korupsi, dengan 441 orang yang dijadikan tersangka, dan dengan kerugian negara mencapai Rp 2,1 triliun.

Selain itu, catatan Litbang Kompas menunjukkan bahwa jumlah kepala daerah (gubernur, bupati, dan wali kota) yang terseret kasus korupsi dalam lima tahun terakhir sebanyak 75 orang. Mereka telah divonis dan menjalani hukuman. Dari jumlah itu, sebanyak 51 orang (68 persen) merupakan kepala daerah yang berasal dari luar Jawa.

Tentunya, berbagai kasus korupsi dan mafia hukum yang melibatkan oknum di dalam aparat penegak hukum—kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan—akan menambah angka merah dalam rapor penegakan hukum kita. Kasus Susno Duadji, Anggodo, Gayus Tambunan, rekening gendut oknum petinggi polisi, dan berbagai kasus lain yang melibatkan oknum penegak hukum menjadi bukti masih terdapatnya jarak yang cukup jauh antara cita-cita pemberantasan korupsi dan kondisi riil di lapangan.

Akselerasi

Dengan fakta yang mengemuka tersebut, selayaknya pemerintah meninjau ulang reformasi hukum yang tengah dijalankan. Ini dalam rangka akselerasi penegakan hukum yang sekarang sedang dijalankan. Membuat lembaga-lembaga ad-hoc untuk membantu institusi penegak hukum yang ada memang penting. Tetapi penguatan dan optimalisasi lembaga-lembaga yang sudah ada agaknya jauh lebih penting.

Dalam rangka akselerasi itu, ada dua hal yang agaknya perlu dilakukan pemerintah SBY. Pertama, memperbaiki peraturan yang menyangkut penegakan hukum, termasuk menyangkut aturan aparat penegak hukumnya. Aturan main yang tegas terhadap pelanggaran oknum penegak hukum akan memberi jaminan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat.

Kedua, memperbaiki mutu dan integritas aparat penegak hukum, baik di kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan. Seleksi personel dan pejabat struktural yang strategis selayaknya dilakukan secara baik dan tepat. Termasuk dalam hal ini, oknum aparat penegak hukum yang tidak produktif, bahkan kontraproduktif dengan penegakan hukum, harus digantikan oleh orang-orang yang mendukung visi penegakan hukum, dalam perilaku dan kebijakannya.

Jika kedua langkah di atas dapat diimplementasikan, akselerasi penegakan hukum akan tercipta. Dan keraguan-raguan masyarakat tentang penegakan hukum yang setengah hati, tebang pilih, dan cenderung lembek akan terjawab oleh visi pemerintah yang jelas, sikap yang tegas, serta tindakan yang berani dan radikal. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun