Hampir setiap malam dipenghujung Ramadlan ini dia duduk diujung dermaga, menunggu KM Pulau Baru, atau kapal penumpang lainnya tiba dari Dumai. Dinginnya angin malam tak dihiraukannya meskipun tubuhnya yang kurus itu hanya dibalut sehelai jaket lusuh, dia tetap setia menunggu hingga kapal tiba dan seluruh penumpang benar-benar sudah naik semua.
Begitulah seterusnya yang dia lakukan sampai akhirnya hatiku tergerak untuk bertanya siapa gerangan yang ditunggu oleh pak Tua ini.
"Menanti seseorang Pak ?" tanyaku.
"Ya," jawabnya singkat sambil mengangguk, terlihat raut wajahnya seakan menyimpan harapan besar, harapan tentang sesuatu yang selalu dinantikannya pada setiap akhir Ramdlan.
"Kalau boleh tau, siapa gerangan yang bapak tunggu ?" tanyaku.
 "Anakku," jawabnya sambil tersenyum.
"Sudah berapa lama anak bapak tidak pulang?" tanyaku lagi, dia terdiam kemudian menghela nafas panjang, seolah-olah pertanyaanku menjadi beban berat yang membuat dia lelah.
"Sudah cukup lama," desisnya perlahan sambil matanya menatap jauh kedepan. "Dia meninggalkan kampung ini sejak tamat es em a ditahun delapan puluh yang lalu, dan kini sudah tahun yang kedua belas dia tidak pulang," Â sambungnya dengan suara lirih.
"Bapak merindukannya ?"
"Tentu saja aku merindukannya, dia anakku," jawabnya
"Sekarang tentu bapak merasa bahagia, karena sebentar lagi anak yang bapak rindukan itu akan tiba." Kataku dengan nada sedikit bercanda.
"Oh tidak." Selanya.
"Kenapa tidak ?"
"Dia tidak pernah memberi kabar akan pulang," katanya dengan nada lirih.
"Lalu ...........,"
"Saat Ramadlan sudah dipenghujung, kami yang sudah tua ini mengharapkan anak kami pulang kampung. Berharap dapat kumpul bersama merayakan hari nan fitri, bercerita dan bersenda gurau bersama, berbagi rezeki dan berbagi suka duka kehidupan." Ujarnya, dia berhenti sejenak dan seteleah menyeruput Kopi bekalnya dia lanjutkan lagi.
"Dulu, ........ aku yang keras menyuruhnya pergi merantau, sebab kalau dia tidak keluar dari sini, dia tidak akan jadi apa-apa, dia akan menjadi lelaki pengecut. Apa yang bisa dilakukannya disini, jadi bertani tak kuat berpanas, mau jadi nelayan tak pandai berenang, paling banter dia hanya bisa menjadi kuli digalangan kapal milik Hong Kim, atau menjadi centeng didepan bioskop Riau sana, atau mungkin juga jadi pesuruh jemput antar Candu dari dan ke Pulau Halang sana, jawabnya sambil menunjuk kesebuah pulau diseberang pelabuhan itu. Karena itulah aku menyuruhnya pergi merantau dan dari pelabuhan inilah dia berangkat," sambungnya menjelaskan.
"Apakah anak bapak sekarang sudah menjadi lelaki pemberani yang sukses dirantau ?" tanyaku.
"Awal kepergiannya dulu dia pernah mengirimkan surat kepadaku, bercerita tentang banyak hal, dan aku merasa iba membaca suratnya, waktu itu rasanya ingin kukirimkan uang dan menyuruhnya pulang, tapi itu tak kulakukan." Ujarnya sambil mendongakkan kepalanya keatas sebagai upaya agar air matanya tak tumpah.
"Setelah itu ?"
"Setelah itu, aku membalas suratnya sambil memberikan ungkapan penyemangat, bahwa tidak akan berubah nasib seseorang jika dia sendiri tidak berusaha merubahnya, lalu dia menjawabnya dalam surat yang berikut bahwa hidup dikota ini sangat penuh tantangan, lalu kujelaskan padanya bahwa hidup ini adalah perjuangan, takut berjuang tidak berhak untuk hidup. Setelah itu dia tak pernah lagi berkirim kabar kepadaku, dan komunikasi kami jadi terputus," Â jawabnya.
Hening sejenak, orang tua itu menyalakan kreteknya, pipinya yang keriput terlihat cekung saat menyedot pangkal rokok dan beberapa saat kemudian terlihat asap mengepul dari bibirnya.
"Sejak tiga tahun terakhir ini aku mulai merindukannya, apa lagi usia ku sudah beranjak magrib, ingin rasanya aku melihatnya pulang, berbincang dan bercanda seenaknya atau paling tidak untuk menitip pesan yang terakhir sebelum aku mati," desisnya.
"Andaikan malam ini dia tidak tiba ?" tanyaku
"Esok malam aku akan tetap menunggunya disini, menunggu dengan penuh harapan," kemudian lelaki tua itu terdiam sejenak, dia seakan sedang mengumpulkan seluruh kekuatannya untuk melanjutkan kata-katanya. "Andaikan sampai dipenghujung Ramadlan ini dia tidak pulang, maka dengan penuh harapan, akan kutunggu anakku pulang dipenghujung Ramadlan tahun depan," ujarnya dengan suara yang terbata-bata,
Tidak berapa lama setelah itu terdengar bunyi  seruling KM. Pulau Baru dan sejenak kemudian kapal itupun merapat kedermaga. Aku bergegas bangkit dan menyalaminya, "Semoga Allah memenuhi harapan bapak," kataku sambil berpamitan, terdengar suaranya menjawab lirih, "aamiin,"  lirih sekali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H