Mohon tunggu...
Asmari Rahman
Asmari Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Bagansiapi-api 8 Okt 1961

MEMBACA sebanyak mungkin, MENULIS seperlunya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Islam Nusantara, Islam Macam Apa Itu ?

2 Juli 2015   23:18 Diperbarui: 2 Juli 2015   23:18 2196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ustadz KARIM, setengah abad yang lalu yang mengajarkan Agama Islam kepada kami tentang ISLAM itu hanya SATU, yakni Islam yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW, melalui perantara Malaikat Jibril. Kemudian ditangan Nabi Muhammad SAW Islam berkembang sedemikian rupa menjadi rahmatan lil’alamin, dan ditutup dengan wahyu  yang terakhir menyempurnakan Islam sebagai Agama yang diridloi oleh Allah SWT.

Islam yang diajarkan oleh Ustadz KARIM sungguh simple dan sederhana, tidak rumit dan berbelit belit, agama Islam itu untuk orang berakal dan bukan untuk diakal-akali. Islam itu satu tidak mengenal tambahan sebutan seperti Islam Liberal, Islam Indonesia, Islam Jawa, Islam kosmopolitan,  Islam konservatif, dan Islam Nusantara.

Penambahan embel-embel sebagaimana yang tertera diatas hanya membuat ummat bertambah bingung, pusing tujuh keliling. Sebutan istilah dibelakang Islam bukan jaminan bagi perbaikan kajian tentang Islam, tapi malah menimbulkan interpretasi yang berbeda dan perdebatan panjang yang tak berkesudahan, bahkan  mungkin sampai kiamat sekalipun.

Beberapa tahun silam muncul Islam yang berlabel ”liberal”, istilah ini menyulut pro-kontra, bagaikan api melahap hutan kering, asapnya kemana-mana, menimbulkan batuk dan menyebabkan sesak nafas, ujung-ujungnya perdebatan antara yang pro dan kontra itu tidak membuahkan hasil apa-apa, kecuali menjadi bahan tertawaan dari kalangan non Muslim.

Kalangan aktivis Islam Liberal yang semula hadir dengan berbagai wacana dan agenda tetap tidak membuahkan hasil apapun bagi kemajuan dan perkembangan Islam itu sendiri, dia hanya sebatas wacana, sementara pihak yang kontra terhadap Islam Liberal pelan-pelan sadar dan tak perlu membuang energi melayani hal-hal yang tak jelas. Kini kedua belah pihak sama-sama diam, duduk manis menikmati sisa tenaga dari debat kusir yang melelahkan mereka.

Terakhir Presiden Joko Widodo berpidato hal Islam yang  diberi atribut sebagai Islam Nusantara, tak pelak lagi istilah Nusantara yang diimbuh oleh presiden itu kembali menimbulkan debat dikalangan ummat Islam dinegeri itu. Apa itu Islam Nusantara, bagaimana wujud dan bentuknya.

Jika disebutkan Islam Nusantara itu lebih santun dan halus tutur katanya seperti bahasa kromo Inggil yang dianut oleh kraton Solo dan Yogya, tentu tidak masuk akal, karena jauh sebelumnya Islam sudah mengajarkan adab dan sopan santun seperti apa yang disebut dengan Akhlaqul Karimah.

Ummat yang bersifat kasar dan tidak sopan tetapi menganut agama Islam, membunuh seperti yang dilakukan Muso di Madiun, Noordin M Top dengan aksi terornya, mengganyan orang berduit dan merampok seperti Kusni Kasdut, berprilaku Korup dan menindas bangsa sendiri sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian penguasa negeri ini, maka  itu bukanlah bagian dari ajara Islam, tetapi prilaku ummat yang tidak mengamalkan ajaran Islam.

Islam Nusantara yang disebut-sebut oleh presiden itu sebenarnya bukanlah hal yang baru, untuk kalangan tertentu, istilah Islam Nusantara ini sudah lama menjadi bahan kajian. Tetapi setakat ini para intelektual Muslim yang mengutak-atik Islam berlabel Nusantara ini belum menemukan formula yang tepat untuk menjelaskannya kepada Ummat, masih sebatas wacana dan disanksikan bila dilintarkan akan menimbulkan pro dan kontra, dan membuat masyarakat awam kebingungan.

Karena belum usainya kajian dan tidak adanya penjelasan yang detail tentang Islam Nusantara ini, berakibat pula pada penafsiran yang berbeda. Apakah Islam Nusantara ini merupakan ajaran yang akan Meng Islam kan Nusantara, atau Islam yang di Nusantarakan.

Jika ajaran Islam yang mau ditebar di Nusantara, tentu tidak menimbulkan persoalan, karena Islam itu merupakan Rahmatan Lil’alamin, penuh toleransi dan membuka ruang hidup berdampingan bagi yang non Muslim.

Yang kasiannya adalah kalangan awam, yang menafsirkan Islam Nusantara itu sebagai ajaran Islam yang di “Nusantara” kan, ini sangat berbahaya. Maknanya akan berubah menjadi Islam yang dianut dengan tata cara yang berlaku di Nusantara. Bisa jadi nanti untuk kesatuan ummat Islam diseluruh Nusantara kiblat sholatnya ke Istana Negara. Jenazah tidak dikafankan lagi dengan kain putih karena bisa dianggap menderai dwi warna bendera Nusantara lalu diganti dengan kain batik, produksi dalam negeri.

Jadi, diperlukan kehati-hatian untuk memberi label terhadap Islam, dan dari pada menimbulkan debat panjang yang melelahkan alangkah baiknya istilah-istilah itu ditiadakan. Jika ingin membangun peradaban Islam dan menjadikan ummat Islam Indonesia ini mencintai ajaran agamanya maka lebih baik dibuat kajian-kajian yang bersumber dari Alqur’an dan Hadits.

Tidak perlu memberi label Nuantara, Liberal, Kosmopolitan dan lain sebagainya, cukup menggali sumbernya dari kitab tersebut diatas, dan sesungguhnya Islam yang seperti inilah yang diajarkan oleh para ulama dan guru-guru pada masa lalu, mereka menyebarkan agama Islam sehingga tumbuh menjadi Rahmatan Lil’alamin, persis seperti apa yang diajarkan oleh guru kami Ustadz Karim.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun