Mohon tunggu...
Asmari Rahman
Asmari Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Bagansiapi-api 8 Okt 1961

MEMBACA sebanyak mungkin, MENULIS seperlunya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menghina Presiden

30 Juni 2015   00:46 Diperbarui: 30 Juni 2015   00:46 2262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ditengah merebaknya isu reshuffle kabinet muncul pula berita yang dilontarkan oleh Cahyo Kumolo bahwa ada seorang menteri yang menghina presiden. Mendagri yang juga kader PDIP perjuangan itu menyebutkan “(Ada) orang yang suka mengecilkan presidennya dari belakang layar, tidak berterima kasih, sudah diberi jabatan sebagai pembantu raja (Presiden)” Ujar Cahyo seperti yang dikutip dari Antara.

Tak pelak lagi, pesan singkat yang ditulis Cahyo itu menjadi panjang urusannya, menjadi perbincangan hangat diberbagai kalangan bahkan beberapa pihak meminta Cahyo bersikap terbuka untuk menyebut langsung nama menteri yang dimaksud, namun belum ada tanggapan dari Cahyo soal desakan tersebut.

Bak gayung bersambut, Akbar Faisal mengaku mendapatkan bocoran transkrip penghinaan itu melalui jejaring sosial. Politisi Nasdem yang juga mantan anggota tim transisi bentukan Jokowi-Jk itu membacakan isi tarnskrip yang dimaksud, yang intinya menteri tersebut tidak rela dicopot jika tidak jelas kesalahannya, dan diujung pernyataannya dia menyebutkan bahwa “belum tentu presiden mengerti tugas saya, wong presiden juga tidak mengerti apa-apa.” Ujar menteri tersebut seperti yang diungkapkan Akbar.

Sebegitu terangnya penjelasan Akbar, namun tetap tidak menyebutkan siapa nama menteri yang dimaksud, sumber transkrip itupun belum jelas apakah bisa dipertanggungjawabkan atau tidak, Akbar hanya mengaku bahwa dia mendapatkannya lewat group masenger, siapa saja yang berada dalam group itu dan dari mana sumber transkrip tersebut sulit mendapatkan jawabannya.

Berikutnya, Politisi PDIP Masinton Pasaribu mengaku tau siapa menteri yang dituju, tapi tetap tidak menyebut nama, hanya sekedar memberi sedikit gambaran bahwa menteri yang bersangkutan bukan dari parpol pendukung tapi dari kalangan profesional dan berada dibawah koordinasi perekonomian.

Buntut dari pernyataan Masinton itu membuat Rini merasa dipojokan, Menteri BUMN itu membantahdan menilai pernyataan politisi PDIP itu sebagai penafsiran sepihak tanpa bisa dibuktikan. Akhirnya isu soal menteri menghina presiden yang dilontarkan oleh Cahyo ini menjadi sesuatu yang kelam tanpa jelas ujung pangkalnya.

Pernyataan menteri sebagaimana yang dikutip oleh Akbar Faisal itu bisa saja diartikan sebagai penghinaan terhadap presiden, itupun jika kita mengikuti alur pikir seperti yang dimaksud oleh Cahyo bahwa menteri itu sebagai pembantu Raja, karena Raja tidak pernah salah dan Raja tidak boleh dianggap salah.

Tapi, pernyataan itu bisa pula berarti bahwa menteri yang bersangkutan memang berbicara apa adanya, menjelaskan kepada publik bahwa sesungguhnya presiden memang tidak mengerti apa-apa dengan tugas menterinya, cuma masalahnya sikap menteri ini terkesan lancang dan tidak beretika, seyogyanya hal itu tidak perlu dia ungkapkan, cukup dirinya dan presiden yang tau. Tafsir mana yang benar soal pernyataan menteri itu tergantung dari sudut mana kita  memaknainya.

Karena isu penghinaan presiden ini muncul bersamaan dengan wacana perombakan kabinet, dan dalam beberapa minggu terakhir ini sangat santer desakan agar presiden segera mengganti menteri yang berada dibawah koordinasi perekonomian maka boleh jadi isu penghinaan presiden ini merupakan bumbu penyedap dari rencana reshuffle kabinet tersebut.

Ada kemungkinan menteri yang bersangkutan sedang meriang duduk dikursinya karena dia sendiri tau bahwa dia tidak mampu duduk disitu, dan mungkin pula banyak pihak yang sedang mengincer kursi menteri tersebut sehingga perlu melontarkan isu untuk menjatuhkannya. Semuanya serba mungkin terjadi, karena dinegeri yang tata cara dan tradisi berpolitik tanpa etika ini, memungkinkan orang untuk bertahan dengan alasan bohong atau saling menjatuhkan dengan menebar fitnah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun