Mohon tunggu...
Asmari Rahman
Asmari Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Bagansiapi-api 8 Okt 1961

MEMBACA sebanyak mungkin, MENULIS seperlunya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi dan Prabowo, Bermain Pencak Silat

31 Januari 2015   08:14 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:03 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Banyak yang menafsirkan pertemuan Prabowo dengan Jokowi di Istana Bogor sebagai sesuatu yang bermuatan politik, padahal menurut mantan sekjen PDI-P Pramono Anung, Prabowo bertemu dengan  presiden dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum Ikatan Pencak Silat.

Meskipun seratus hari yang lalu Prabowo itu adalah rival Jokowi dalam kancah politik nasional, tapi saya lebih cenderung memaknai pertemuan keduanya seperti yang disebutkan oleh kader PDI-P itu tadi, yakni Presiden ingin melihat Prabowo bermain Pencak Silat. Akan halnya jenis Silat yang dimainkan Prabowo itu adalah Silat Poitik, itu bukan urusan saya.

Negeri ini tak ubahnya sudah seperti gelanggang Pencak Silat, tiap-tiap orang membentuk kelompok menurut kepentingan politiknya, dan tiap-tiap kelompok memiliki pendekarnya. Ada kelompok politik yang menamakan dirinya KIH dengan Jokowi sebagai pendekarnya dan ada pula  KMP dengan pendekarnya handal yang bernama Prabowo.

Kalau dalam dunia persilatan yang menang jadi penguasa sementara yang kalah mati diujung keris, maka dalam gelanggang Silat Politik ceritanya menjadi lain. Yang menang boleh jadi penguasa tapi yang kalah masih tetap hidup dan bisa merecoki penguasa.

Sebagai pemenang, Jokowi boleh menguasai Eksekutif, namun para penggembira Prabowo yang jumlahnya berjibun tak akan hilang akal, mereka memainkan jurus-jurus silat politik sehingga menjadi penguasa di Parlemen. KIH terperangah, kalah selangkah dari KMP, mereka terpaksa merajuk sambil menggertak ingin membentuk DPR tandingan, sebuah istilah yang tidak pernah dijumpai dalam konstitusi negara manapun.

Bujuk punya bujuk akhirnya KMP mengalah dan membagikan sedikit alat kelengkapan DPR kepada KIH, bagai anak kecil mendapatkan permen kemarahan merekapun menjadi sedikit reda dan rencana membentuk Parlemen tandingan tinggal dalam catatan sejarah sebagai bagian dari gertak sambal.

Seratus hari pemerintahan Jokowi, gelanggang politik negeri ini kembali gonjang ganjing.  Bermula dengan pengajuan Budi sebagai Kapolri, kemudian dihadang oleh KPK, lalu berlanjut dengan penangkapan Bambang, dan dalam waktu bersamaan muncul pula cerita Rumah Kaca Abraham Samad, yang diperkuat oleh keterangan PLT Sekjen PDI-P, Ujung-ujungnya kepala presiden jadi mumet, dihadapkan pada pilihan sulit, melantik Budi atau membatalkannya.

Melantik Budi Gunawan berarti dia akan berhadapan dengan publik yang sudah terlanjur menolak seorang tersangka menjadi Kapolri, membatalkan pencalonan Budi berarti dia akan berhadapan dengan DPR dan partai pendukungnya yang telah menyetujui Budi Gunawan sebagai Kapolri, Presiden menghadapi pilihan sulit.

Disaat seperti ini, Jokowi kembali menunjukan kemahirannya bermain Silat, dia tidak hanya minta pertimbangan dari Wantimpres, tetapi membentuk Tim Independen yang bertugas secara khusus. Artinya, Jokowi tidak tergantung pada satu kelompok pendekar saja, tetapi memiliki pendekar lain diluar gelanggang. (ini  menurut istilah dunia persilatan lho).

Kemudian terdengar lantang suara Effendi Simbolon yang melontarkan ide pemakzulan, Jokowi menjawabnya dengan mengadakan pembicaraan empat mata dengan Prabowo, ketua Ikatan Pencak Silat yang juga pendekar diperguruan KMP.

Pertemuan itu seakan memberi signal kepada KIH, terutama kepada Mega dan Paloh, bahwa Jokowi juga sedang merangkai tarian pencak silat yang bukan hanya indah dilihat tetapi juga bisa dijadikan sebagai alat untuk membela diri.

Usai pertemuan itu Jokowi seakan mendapat asupan gizi, kuda-kudanya menjadi lebih kokoh.  Fadli Zon yang biasanya garang kini bersikap ramah, dan Hatta Rajasa mengapresiasi pertemuan itu sebagai sesuatu yang bernilai tambah untuk kemajuan Demokrasi Indonesia, KIH dan KMP tidak lagi berhadap-hadapan, tetapi bersinergi untuk kepentingan bangsa.

Sikap Fadli dan komentar Hatta seakan menjawab gertak sambal Simbolon, pemakzulan itu tidak gampang, masih ada kekuatan besar dibelakang Jokowi yakni Koalisi Merah Putih, jumlah anggotanya diparlemen lebih besar dari KIH.

Akhir dari pencak silat yang dimainkan oleh Jokowi digelanggang politik nasional ini belum jelas ujung pangkalnya, namun setakat ini rakyatlah yang kebingungan, apa jadinya negeri ini jika elitenya asik masuk bermain pencak silat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun