SATJIPTO RAHARDJO, HUKUM PROGRESIF DAN MEKANIKA KUANTUM
Catatan: Muhammad Nur
Ini adalah catatan lama tentang seorang ilmuwan dan ide progresifnya. Catatan itu berawal dari pertemuan tak sengaja saya dengan begawan hukum progresif Indonesia. Menjelang dies natalis Undip ke 67 ini catatan 15 tahun silam mungkin masih relevan. Ditengah perubahan yang sangat cepat, pikiran-pikiran alternatif bisa menginspirasi kita mendapatkan penyelesaian dari masalah yang kita hadapi. Kadang kita dihadapkan pada persoalan-persoalan yang muncul secara serempak dalam waktu yang bersamaan. Pilihan solusi sering mempunyai margin error yang besar. Keadaan semakin pelik jika salah dan benar menunjukkan kebolehjadian yang sama. Inilah rupanya pemikiran yang sering berkecamauk dalam diri seorang ilmuwan yang sangat disegani di Indonesia, Prof. Dr. Satipto Rhardjo (1930-2010).
Pada pertengahan tahun 2009, saya bertemu Prof. Tjip. Pertemuan itu merupakan pertemuan pertama saya yang memungkinkan bisa berbincang panjang dengan beliau. Tulisan Prof Tjip sudah lama saya senangi. Bahkan sejak masa awal saya sebagai mahasiswa. Saya mengenalkan diri, dan siap menjadi pendengar yang baik bagi sang maestro. Seorang yang sangat menjiwai Hukum dan Masyarakat (mungkin terminology keilmuannya Sosiologi Hukum). Sungguh momen itu adalah kesempatan langka. Kami sama sama menunggu penerbangan yang masih 2 jam di Terminal I bandara Soekarno Hatta. Setelah mengetahui saya seorang dosen matakuliah fisika kuantum di Undip, dia sangat bersemangat bercerita. Suatu topik tak mudah. Pengaruh Fisika Kuantum dalam bidang hukum. Wah kok bisa. Sayapun ketika itu penuh tanya. Ini sangat menarik. Hukum Progresif memang penuh kejutan. Rupanya tulisan-tulisan Deepak Chopra mengimajinasi Prof Tjip. Chopra kelahiran New Delhi, India pada 22 October 1946 seorang dokter. Dia juga seorang pembicara, dan penulis kelas dunia, di Amerika. Hampir semua tulisan Chopra dikaitkan dengan keajaiban mekanika kuantum.
Kaitan mekanika kuantum dengan finance, dengan kepemimpinan dan dengan ekonomi sudah sering saya nikmati. Tetapi penerapan mekanika kuantum dalam ilmu hukum baru kali itu saya mendengarnya. Pembicaraan panjang dan diselingi dengan sapaan orang-orang yang mengenal beliau. Beliau tetap menjawab sapaan dengan sangat santun dan familier.
Rupanya, sebagai sosiolog hukum dia sangat menghayati bahwa teori hukum dan etika memerlukan pemahaman untuk mengkarakterisasi, memetakan dan menyelesaikan area konflik. Teori hukum juga rupanya harus berusaha secara sungguh-sungguh memahami isu-isu yang tumpang tindih dan muncul secara serentak. Kadang isu-isu yang sama muncul dengan bentuknya yang berbeda-beda. Wah sebuah kerumitan tinggi untuk menetapkan hasil yang bebar-benar valid. Dalam mekanika kuantum dimana partikel dapat dipandang juga gelombang memang dapat dijadikan inspirasi. Dalam kondisi semacam itu pada pertikel berlaku ketidak pastian. Uraiannya tak lagi hanya terbatas linear atau sesuatu yang kontinyu. Pembahasannya sudah berpindah semuanya dalam bentuk kemungkinan dan kemungkinan. Sehingga dalam kuantum kita tak lagi mengenal nilai rata-rata semuanya berganti menjadi nilai harap.
Masa tersulit adalah saat pengambilan keputusan yudisial kata Prof Tjip. Beliau mengibaratkan seperti paradox "Kucing Schroedinger" dalam ruang tertutup. Dimana dalam ruang tersebut secara acak kemungkinan tumpahnya racun. Jika racun tumpah kucing akan mati. Tetapi tak ada yang dapat memastikan. Kebolejadiannya hidup atau matinya kucing tersebut 50 : 50. Apa yang terjadi saat pintu ruang dibuka? Kucing itu bisa mati dan bisa juga masih hidup. Disaat yang sama bisa berada dalam kondisi yang bertolak belakang. Pertanyaan-pertanyaan tentang ketidakpastian, ketidakpastian interpretasi hukum yang saling bertentangan tetapi sama-sama valid tuntas beliau. Nah paradox bukan? Apakah prinsip-prinsip ketidakpastian dalam mekanika kuantum dapat digunakan sebagai pembanding? Hukum-hukum kebolehjadian dalam mekanika kuantum dan perolehan harga harap dapat dijadikan koridor mendapatkan kepastian dalam hukum dan keadilannya? Banyak lagi yang Prof Tjip sebutkan, dan banyak juga yang tak sempat mengedap dalam pikiran saya. Satu hal yang sangat terkesan pada usianya ketika itu 78 tahun semangatnya untuk berbagi luar biasa. Saya bertemu dengan seorang "GURU BESAR".
Dipenghujung tahun 2009, dalam perkemahan para pakar yang diadakan Undip, panitia mengundang beliau untuk memberikan pencerahan kepada doktor-doktor baru. Rupanya beliau ketika itu tak bisa ikut ke Jepara dalam perkemahan. Sebagai penggantinya beliau memberikan pencerahan di Gedung Pertemuan Prof Soedarto, kampus Tembalang. Lagi-lagi saya sebagai fisikawan dibuat kaget, Dia berbicara tentang singularitas. Singularitas adalah sebuah hipotesis. Peradaban kita menemukan kecerdasan buatan (Artificial Intelligent). Kecerdasan itu tiba-tiba memicu pertumbuhan teknologi yang tak terkendali. Peradaban umat manusia terpaksa berubah pula secara tak terduga.
Dua bulan setelah kuliah pencerahannya itu, pada 9 Januari 2010, Prof Tjip dipanggil menghadapNYA, pada usia 80 tahun kurang 37 hari. Menjelang Dies natalis Undip ke 67 ini catatan saya 15 tahun lalu saya tuliskan kembali. Sayapun sering teringat beliau jika melewati Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Gedung termegah di fakultas tersebut dinamai dengan nama beliau. Ada harapan yang belum kesampaian, saya berharap dapat berdiskusi dengan penerus hukum progresif pengganti beliau. Berdiskusi dalam irisan mekanika kuantum dengan ilmu hukum. Gagasan Hukum Progresif itu tetap menarik dan perlu ada yang mengembangkan.
Muhammad Nur, Semarang 11 Oktober 2024