[caption caption="Foto Ilustrasi Flickr"][/caption]Apa yang paling berharga dimiliki oleh seorang gadis, selain kehormatannya? Sebuah harga diri yang yang tak bisa ditawar dalam bentuk apapun, selain cinta suci yang diikat dalam pernikahan.
Seorang gadis dalam pergaulannya yang salah, rentan sekali kehilangan perawan, terutama bagi yang menganut paham pacaran. Mengagung-ngagungkan ikatan pacaran ke penujuru dunia, tanpa disadari pelan-pelan kehormatannya satu persatu terlepas.
Dan tak jarang pula gadis belia yang masih bau kencur sudah paham cinta-cintaan. Siang-malam mikirin sang pujaan, pagi-sore tiada luput pembahasaan sayang-sayangan. Bukankah tugas gadis belia itu saatnya sedang belajar dengan baik? Ia masih berseragam putih-abu, yang sepatutnya menimba ilmu sepanjang waktu, tanpa jeda karena impiannya di masa depan dipondasi saat masa remaja.
Mungkin dalam pikiriannya adalah hanya sekadar pertemanan biasa terhadap lawan jenis saja, tanpa dipahami, laki-laki yang dekat dengan dia adalah sosok yang bisa merusak dia sewaktu-waktu. Anehnya lagi, gadis putih abu-abu ini hanya tersipu malu bilang: Cuma cinta monyet doang, kok. Ooo .. begitu, kalau cinta monyet dipercaya, memangnya situ monyetkah?
Perawannya seorang gadis adalah tanggung jawab ia sebagai anak terhadap orangtuanya, terhadap keluarganya, terhadap suaminya nanti, dan tentu juga terhadap dirinya sendiri. Jadi, kalau mahkotanya sudah diberikan secara suka rela saat pacaran pada pria pujaanya itu, berarti ia seorang anak yang tidak amanah.
Nah, kalau sudah begitu, perawan hilang, lalu bulan-bulan berikutnya perut sudah membengkak, baru mulai terasa penyesalan dan malu. Buruknya, tak hanya dirinya sendiri yang menanggung aib itu, namun orangtua, dan kelurga besar.
Selanjutnya, keluarga besar agar tidak semakin malu lagi di tengah masyarakat, maka mereka pun segera menikahkan putrinya. Ya, masih untung kalau laki-lakinya mau bertanggungjawab, dan siap menikah, sekalipun usianya masih muda. Nah, kalau laki-laki tadi sudah kabur duluan, mau dicari kemana, coba?
Satu dekade ini sepertinya menikah saat perut sudah membesar di pelaminan sudah hal yang lumrah. Sepertinya kita tidak terkejut lagi. Tapi bisik-bisik tetangga, dan nada ejekannya masih saja terlontar: Lihat tuh, anak si fulan, perutnya udah besar. Orangtuanya nggak bisa urus anak. Iihhhh … amit-amit jabang bayi.
Lagi-lagi orangtua yang selalu kena dampak perbuatan sang putri. Benarkah sepenuhnya salah orangtua?
Orangtua tentu saja mempunya tanggungjawab terhadap perilaku anak kepada Tuhannya. Sejauh mana ia sudah berusaha agar senantiasa si anak selalu di jalan yang benar, dan upaya apa saja yang diterapkan oleh orangtua kepada putrinya agar tidak melanggar norma-norma yang berlaku?
Kalau sepenuhnya memberikan kepercayaan kepada anak, apalagi membiarkan begitu saja perkembangan putrinya dalam kehidupan sehari-hari, jelas orangtua tersebut salah.