Mohon tunggu...
Asma Nadia
Asma Nadia Mohon Tunggu... -

Writer of 46 books (Ummi, Emak Ingin Naik Haji ,Rumah Tanpa Jendela etc), Mother of 2 young writers, Publisher, Traveler, Motivator www.tokoasmanadia.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Emak Ingin Naik Haji

11 Juni 2012   06:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:07 2138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Zein mengenali kerinduan itu.

Kerinduan yang  mengental di mata Mak setiap musim haji tiba.

***

Suara ban mobil  mendecit-decit.

Orang-orang memekik. Sementara berpasang mata seakan ditarik pada satu titik. Sesosok  tubuh yang terkapar di trotoar. Mengejang menahan sakit, sebelah tangannya berusaha keras  tetap terkepal. Genangan air hujan yang menadah kepalanya berangsur merah saat tangan lelaki itu akhirnya terkulai.

Bumi  berhenti bernapas.

Hanya sesaat sebelum kembali riuh. Teriakan. Jeritan  klakson. Titik-titik air yang meluncur serentak seperti derap sepatu tentara yang melangkah dengan kemarahan.

Satu gulungan koran pelan-pelan diseret angin.

***

Zein mengenali kerinduan itu.

Kerinduan yang  mengental di mata Mak setiap musim haji tiba. Ketika dari balik jendela, Mak merayapi bangunan  megah yang terletak persis di depan rumah kecil mereka. Tempat tinggal Juragan Haji.

“Tahun ini dia berangkat lagi, Mak?” tanya Zein.

Mak mengangguk. Bahkan tanpa mengalihkan pandangan dari bangunan bertingkat yang dilindungi pagar besi setinggi dua meter.

“Sama istrinya, Zein. Mertuanya juga ikut.”

Zein tidak menanggapi. Bukan berita baru karena nyaris setiap tahun tetangga mereka itu berhaji. Lebih sering sendiri atau berdua istri. Kadang mengajak anak-anaknya. Tidak cuma haji, konon  Juragan Haji pernah sampai membawa 22 orang sanak keluarganya dalam paket umroh bersama selebritis terkenal.

“Uangnya kayak kagak abis-abis ya, Zein?” lirih suara Mak.

Zein tidak menjawab. Dalam hati membenarkan perkataan Mak.

Kalau  melihat kenyataan betapa mudahnya Juragan Haji berangkat setiap tahun, Zein sulit memercayai berita-berita yang berseliweran. Biaya ONH yang terus membumbung, hingga menyulitkan orang-orang kecil untuk berangkat, atau ratusan jamaah yang batal karena masalah quota, atau penipuan oleh biro haji tidak bertanggung jawab.

Tetangganya yang kaya seakan tidak tersentuh masalah itu.

Zein melihat  Mak lambat-lambat berjalan menjauhi jendela,  tempat perempuan itu sehari-hari  bermimpi.

***

Kalau tahu dari dulu, mungkin dia tidak perlu menunda. Layanan haji super mewah yang ramai dibicarakan orang.

“Semua jemaah sudah dijemput di bandara Jeddah dengan limosin. Bapak tidak akan ketinggalan berita atau urusan kantor. Termasuk tenda di Mina juga diubah menyerupai hotel berbintang lima. Di ruangan nanti  tersedia komputer dan internet. Makanan dan minuman mewah. Tersedia faks dan telepon.  Juga, televisi yang bisa memonitor kondisi jamarat serta pelajaran manasik haji.”  Jelas Mitha, sekretaris barunya yang selalu dibalut rok di atas lutut itu, panjang lebar.

Senyum cerah terlukis di wajah lelaki berusia lima puluhan itu.

“Biaya?”

“Variatif, tapi untuk Bapak saya sarankan yang terbaik. Sekitar dua puluh ribu dolar.”

No problem.

Selama ini bukan biaya atau ketakutan absurd yang menghalanginya naik haji. Seperti kebanyakan laki-laki, dia bukan orang suci. Tapi logikanya mengatakan segala kesulitan bisa dihindarkan jika bisa diantisipasi.

Waktu pemilihan tinggal enam bulan. Ini saat tepat untuk mendongkrak suara. Lebih baik lagi jika istrinya yang mualaf itu ikut.

“Pastikan saya berangkat tahun ini.”

Mitha mengangguk. Aroma parfum yang sensual tercium keras saat gadis bertubuh sintal itu menyodorkan sebuah formulir untuk diisi.

***

Hidupnya seakan berjalan di tempat.

Matahari jam dua belas sudah menyenter terang. Sebentar lagi pengunjung pasar kaget tempat Zein mangkal, akan buyar.

Sudah lima jam dan dia belum juga menemukan pembeli. Meski lelaki itu sudah membanting harga, bahkan menawarkan fasilitas khusus,

“Kredit juga bisa, bu.  Tinggal  kasih DP, sisanya bisa dicicil enam bulan.”

Tetapi rombongan ibu-ibu berpakaian training yang melintas, dengan topi lebar menutupi separuh wajah,  hanya  memandang  sambil lalu lukisan kaligrafi yang di pajang di sisi kiri jalan.

Pasangan suami istri yang sempat mampir, juga tidak menutup dengan transaksi. Keduanya angkat kaki setelah puas menanyakan, bahkan secara mencolok mencatat satu persatu harga kaligrafi yang terpajang.

Tenggorokan Zein kering. Perutnya lapar. Mungkin karena itu tangannya terasa lemas saat memberesi dagangan.

Terbayang wajah Mak. Ingat kerinduan satu-satunya perempuan itu.

Empat puluh tahun sudah usiamu, Zein… kapan lagi kau akan melunasi mimpi Mak untuk naik haji?

Tapi Tuhan tahu dia bukan tidak berusaha.

Bimbingan belajar yang dikelolanya bersama seorang teman terpaksa bangkrut karena kalah bersaing.

Usahanya berjualan sepatu di pasar pun tidak berkembang. Malah meninggalkan hutang yang harus dicicilnya setiap bulan. Sementara sisa sepatu terpaksa dia jual  dengan harga sangat murah kepada tetangga.

Usaha warnet? Menggiurkan tapi butuh modal yang banyak.  Alih-alih jadi pengusaha, dia malah jadi penjaga warnet yang buka 24 jam. Belakangan Zein berhenti bekerja karena jam kerja yang panjang sampai  pagi, hingga membuat penyakit paru-parunya kambuh, dan meninggalkan deret resep yang tidak bisa ditebusnya.

***

Cilaka. Sungguh  cilaka dua belas!

Perempuan itu melepas kacamata hitam yang dipakainya. Air mukanya tampak tenang, padahal gelombang dahsyat baru saja membuatnya luluh lantak.

Sebaliknya, laki-laki setengah baya yang duduk berhadapan dengannya, tampak gugup dan salah tingkah. Butiran keringat dingin memenuhi dahi dan sekitar wajah.  Beberapa kali terdengar lelaki itu membersihkan tenggorokannya.

“Padahal sebentar lagi bulan haji, Ma… “

Ya, bahkan dia yang mualaf tahu itu.

“Tolong Papa…”

*****

Kemarin Mak bertanya padanya,

“Kalau jalan kaki, berapa jauh Zein?”

Jalan kaki dari sini ke  Mekkah?

Sri, anak juragan haji pernah cerita. Katanya jamaah dari Afghan atau Pakistan banyak yan tidur di emperan kamar mandi atau di mana saja. Toh Rasul pun tidak tinggal di hotel bintang lima dulu.

Jika tempat tinggal tidak masalah, mau rasanya dia menggendong Mak dan membawanya berhaji. Tapi…

“Jaman sekarang kagak mungkin,  Mak.”

Mak menundukkan kepala, merayapi daster batik kusam yang dipakainya. Tidak lama sebab satu pikiran mencerahkan wajah perempuan itu  lagi,

“Masjidnya bagus di sono, ya Zein? Lampunya banyak,” Mak terkekah,

“Eh, berape sekarang ongkosnya, Zein?”

“ONH biasa atau plus, Mak?”

Mak tertawa. Beberapa giginya yang ompong terlihat,

“Kagak usah plus-plusan. Mak kagak ngerti.”

“Kalo kagak salah dua ribu tujuh ratusan.”

“Murah itu!”

Kali ini Zein tertawa,

“Pakai dolar itu, Mak. Kalau dirupiahin mah dua puluh tujuh jutaan.”

Suara riang Mak kontan meredup, “Dulu sih kita punya tanah.  Tapi keburu dijual waktu  Bapak sakit.”

Beberapa saat Mak hanya menghela napas panjang. Suaranya kemudian terdengar seperti bisikan, “Mak pengin naik haji, Zein… pengin banget.”

Terlontar juga.

Hati Zein berdesir perih.

Hingga usia Mak setua sekarang, perempuan itu belum pernah minta apa-apa padanya. Tidak radio atau tivi, atau kasur yang lebih baik menggantikan kasur tipis yang dipakai Mak. Tidak juga untuk sehelai pakaian baru.

Dia telah gagal, pikirnya kesal. Sebagai anak satu-satunya dia telah gagal membahagiakan Mak.

Lamunan lelaki itu putus oleh suara salam di depan pintu. Sri, anak kedua  juragan haji mendekat, “Besok bisa bantu?”

Zein mengangguk tanpa perlu bertanya lebih jauh. Persiapan ratiban, seperti yang sudah-sudah menjelang musim haji. Hampir setiap tahun dia  membantu gadis hitam manis itu belanja. Sehabis acara, biasanya  Juragan Haji akan memberikan bingkisan bagi yang hadir berupa sirup, biskuit, minyak goreng beberapa liter, gula dan lain-lain, sambil membisiki,

“Doain saya berangkat lagi taon depan, ye?!”

Dan setiap kali melewati pintu rumah Juragan Haji. Pandangan Mak akan terpaku pada ukisan Ka’bah berukuran besar yang dipajang di ruang tamu. Dan Zein bisa melihat embun di mata perempuan tua itu.

Mak sudah terlalu lama menunggu.

Zein sadar, dia tidak punya banyak waktu.  Tapi apalagi yang belum dilakukannya untuk mencari  uang?

Barangkali hanya merampok dan membunuh…

Zein gamang. Tapi pikiran itu memaksanya bangun lebih pagi dan  berdiri di samping Mak, mengamati rumah Juragan.

“Air zam-zam itu pegimana rasanya ya, Zein?”

Zein mengangkat bahu. Matanya yang merah karena semalaman tidak bisa tidur,  asyik merayapi setiap jengkal bangunan mewah itu.

“Sebetulnya… Mak pengin minta ama Juragan, tapi malu. Lagian keluarganya sendiri pan udah banyak banget.”

Zein terdiam. Teriris.

Pagar tinggi itu, bukan tidak bisa dipanjat.

“Kapan ya, Zein… “ desah Mak lagi.

Allah, beri dia petunjuk, bisik Zein sambil menyedekapkan wajah dalam-dalam. Ketika dia mengangkat muka, rumah mewah itu yang pertama tertangkap mata.

***

Pukul 02.00 pagi.

Sebilah parang dan golok. Seutas tali. Beberapa kantung plastik. Terakhir sapu tangan yang dilipat diagonal hingga berbentuk segitiga,  sebagai penutup wajah.

Kalau keberadaannya di penjara bisa membuat Mak menjadi tamu Allah, dia siap.

Sore tadi waktu mengantarkan barang belanjaan Sri,  Zein manfaatkan untuk melihat lebih  dekat kediaman Juragan Haji. Rumah megah satu-satunya di pinggiran Jakarta yang mencolok namun belum pernah sekalipun kemalingan.

Tekadnya sudah bulat.

Zein mencermati lagi persiapannya sebelum memasukkan satu demi satu barang di meja ke dalam tas ranselnya yang lusuh.

Hm,  mungkin dia perlu meninggalkan surat untuk Mak..

Tepat ketika lelaki itu merogoh saku celana mencari sehelai kertas, tangannya menyentuh sesuatu. Lembaran-lembaran kecil yang diberikan Sri sebelum mereka meninggalkan super market.

Zein tertegun.

***

Damn it!

Perempuan cantik itu melepas gagang kaca mata hitam dan menyangkutkannya di kepala. Sejam setelah meninggalkan café, perasaannya masih menggelegak

“Papa khilaf…”

Seperti kekhilafan yang dilakukan lelaki itu pada karyawati lain? Untunglah tidak sulit mengajak mereka berdamai. Tapi Mitha berbeda. Dari awal dia sudah mencium sesuatu yang berbeda pada gadis ramping itu. Terlalu sempurna dan cerdas untuk seorang sekretaris yang mengaku belum punya pengalaman.

Sekarang dia harus memikirkan proposal yang menarik agar Mitha membatalkan ancamannya untuk membuka aib ini ke media.

Kepalanya berdenyar-denyar.

Sedetik kemudian air matanya menitik seiring gerimis yang turun. Berkali-kali perempuan itu menghapus kaca mobil agar pengelihatannya lebih jelas.

Satu sosok menyebrang jalan.

Tuhan, dia tidak melihat lampu yang menyala merah!

Sekuat tenaga perempuan itu menekan pedal rem hingga menimbulkan bunyi mendecit-decit yang keras. Benturan keras terdengar. Orang-orang berteriak dan menjerit.

Kacamata hitamnya terlepas dari kepala. Dalam kepanikan, perempuan itu memundurkan porchenya, lalu melarikannya sekencang  mungkin.

***

Dulu dia tidak pernah meletakkan nasib pada lembaran kertas.

Lelaki itu masih bisa merasakan tetesan hujan di wajahnya, saat kilatan-kilatan memori berlesatan seperti lompatan bunga kembang api di kegelapan.

Kupon undian dari supermarket besar, yang diberikan Sri usai mereka berbelanja. Potongan-potongan kertas kecil yang hampir dilupakan Zein.

Sosok Mak yang berdiri berjam-jam menatap rumah juragan haji terus mengusik. Memberinya energi lebih saat tengah malam itu Zein mengisi satu demi satu kolom dalam kertas undian: Nama, alamat, nomor KTP… sambil berdoa tak putus.

Harapan  setitik  yang tiba-tiba melenyapkan keinginan untuk menyatroni tempat tinggal Juragan Haji.

Kilatan memori melompat cepat menyusuri hari demi hari, hingga tiba waktu pengumuman yang dijanjikan. Mereka bilang nama-nama pemenang akan dimuat di surat kabar pagi. Hari ini.  Dan Zein merasa dadanya meledak saat menemukan namanya tercantum di halaman delapan.  Keriangan yang membuatnya melompat dan menari-nari sepanjang jalan.

Seumur hidup dia tidak pernah menangis. Dia bahkan tidak menangis ketika Bapak meninggal. Tapi beberapa waktu lalu Zein benar-benar menangis. Seperti tak percaya. Dia dan Mak merupakan satu dari lima pemenang undian berhadiah paket haji untuk dua orang.

Akhirnya dia bisa membawa Mak ke Mekkah. Berdoa di depan Ka’bah. Bershalawat di makam Nabi di Raudhah.

Diantara jeritan histeris dan suara keributan, lelaki yang rebah di jalan berusaha keras menggerakkan tangannya yang terasa kaku, mencari-cari gulungan koran yang beberapa saat lalu masih berada di genggaman. Dia harus menunjukkannya pada Mak.

Tapi angin telah merebut paksa lembaran koran yang belum lama terkepal di tangan Zein, setelah sebuah  Porche hitam menabrak tubuhnya dengan keras.

Di langit, dalam bayangan yang mulai mengabur, Zein melihat Mak dalam pakaian ihram, mengelilingi Ka’bah. Wajah Mak yang bercahaya tersenyum menatapnya.

***

(Keterangan penulis:

Cerpen ini saya tulis di akhir tahun 2007, bersama beberapa cerpen lainnya kini terangkum di buku Ummi: 3 novel dan 10 cerita pendek tentang ibu. Keberangkatan haji dua bulan setelahnya sungguh membuat saya semakin bersyukur telah menuliskannya. Haji: mimpi setiap orang tua terutama ketika usia semakin senja. Haji, juga impian setiap anak untuk bisa memberangkatkan dan memenuhi kerinduan orang tua mereka. Tetapi haji, juga memuat  potret sosial di tanah air yang menyisakan banyak persoalan)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun