"Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?"
Teks (Sumber Hukum) dan Konteks
Meski ayat-ayat Al-Qur'an yang diturunkan untuk difahami oleh semua orang sehingga bisa dijadikan hujjah, tetapi di dalamnya juga terkandung ayat-ayat khusus yang hanya dapat difahami oleh nabi dan orang yang benar-benar memiliki kwalitas keilmuan yang unggul, dimana banyak orang awam tidak mengerti dengan ayat tersebut tanpa bantuan mereka.
Oleh karena itu, sebagai kehati-hatian, sebelum mengutip ayat Alquran, seyogyanya benar-benar memperhatikan baik ayat ataupun konteksnya. Memahami ayat, diantaranya mengetahui mana ayat-ayat umum ('aam) dan khusus (khaash), mana ayat yang mutlak (mutlaq) dan tak mutlak (muqayyad), mana ayat yang menghapus (naasikh) dan ayat yang dihapus(mansukh).
Mengingat Alquran menggunakan bahasa Arab, dan melihat terkadang ada penerjemahan yang keliru atau setidaknya kurang pas dari Arab ke Indonesia, sehingga seorang pengutip ayat untuk mendalami kategori ayat seperti di atas, juga dituntut untuk menguasai ilmu Sharaf dan Nahwu, Ma'ani, Bayan, Bahasa Arab, dan lainnya yang berkaitan dengan konteks dari dikeluarkannya dalil.
Agar terjaga dari ego pembenaran atas pemahaman pribadi, seorang pengutip juga musti aktif memahami pandangan para mufasir, hal ini agar terjadi dialog pemahaman di dalam alam pikir si pengutip ayat. Sehingga mengurai benang kusut dalam mengeluarkan dalil pada konteks semakin terjauh dari isrof (berlebih-lebihan) dan kekeliruan.
Di tegaskan juga dalam hadits Rasulullah Saw saat haji Wada di Ghadir Khum, yang tertuang di kitabAl-Ihtijaj jilid I, karya Ahmad bin Ali Thabrasi:
"Wahai umatku, telitilah dan berfikirlah dalam membaca Al-Qur'an. Fahamilah ayat-ayat-Nya. Pandanglah ayat-ayat Qur'an yang jelas (muhkamat)dan jangan kalian mencari yang tak jelas (mutasyabihat)."
Dengan demikian, seorang mufasir ataupun seorang mubaligh, dalam mengutip dan mencocokkan ayat dengan konteks saat dikeluarkannya dalil tidak boleh serampangan. Mubaligh musti hati-hati, tidak boleh ceroboh. Mubaligh harus benar-benar memperhitungkan secara teliti dan mempelajarinya secara utuh. Baik dalam hal memahami kaidah penafsiran ataupun dalam memahami konteks saat dalil dikeluarkan. Karena bila tidak, maka mubaligh yang demikian tempatnya adalah neraka. Ini sebagaimana dikatakan oleh Rasulullah Saw, tertuang di kitabMafatihul Ghaib jilid 7, hal. 148, karya Fahruddin Razi yang diterbitkan oleh Dar Ihya' Turats Arabi, Beirut.
"Barang siapa menafsirkan Qur'an dengan pendapat pribadinya, maka tempatnya ada di neraka."
_________________________________