Kutanyakan kepadanya, apakah dengan ia meninggalkan kepercayaannya sebelumnya lantas mengira Tuhan yang kini diyakininya itu bukan sebagai Tuhan ibunya, bukan tuhan keluarganya, bukan Tuhan orang-orang yang sekarang membenci dirinya.
Tuhan yang diyakini itu sama dengan Tuhan yang memberikan kasih sayang kepada ibunya untuk merawat anak yang telah berpindah agama. Tuhan yang saat ini disembahnya itu juga Tuhan yang memberikan keutuhan keluarganya. Tuhan yang dipujanya sebagai mualaf, juga Tuhan yang memberikan rasa persahabatan sebelumnya saat bersama-sama dengan orang yang saat ini berbondong-bondong menerornya.
Tuhanmu saat ini, Tuhanmu juga saat kamu belum menjadi mualaf. Tuhan yang kau yakini saat ini, juga Tuhan mereka yang memiliki kepercayaan berbeda. Tuhanmu, Tuhan mereka, adalah Tuhan kita. Apabila saat kamu belum menjadi mualaf mendapat kasih saying Tuhan melalui ibumu, kenapa saat kau merasa menemukan Tuhanmu justru terlintas untuk meninggalkan mereka yang mendapat kasih Tuhan. Perlakukanlah mereka sebagaimana Tuhanmu memperlakukan. Berikan kasih kepeda mereka sebagaimana Tuhanmu mengasihi.
Cukuplah keyakinanmu menjadi peganganmu sendiri, jangan kau paksakan melalui egomu. Karena Tuhanmu saja tak menggunakan ego untuk mempercayai-Nya. Apapun mereka saat ini, bagaimanapun mereka sekarang ini, upayakan kau senantiasa mengasihi mereka. Jikau kau meninggalkan mereka, sedangkan Tuhanmu pun tak meninggalkan mereka, apakah kau telah merasa benar? Demikian, sekilas ajakan berdiskusi dari saya....
Salam gembel jalanan, Wahyu NH. Aly
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H