Mohon tunggu...
Wahyu NH Aly
Wahyu NH Aly Mohon Tunggu... lainnya -

Wahyu

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Benarkah Tuhan Ada?

19 April 2010   17:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:42 757
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan demikian, sebagai jawaban yang paling mendekati akan seperti apa itu Tuhan, secara logika yaitu berbeda dengan ciptaan-Nya. Secara absolut Tuhan tidak mungkin dapat diserupakan dengan suatu materi atau sesuatu bisa diterima oleh panca indra. Begitupun, Tuhan mustahil sanggup dilukiskan oleh akal akan bagaimana dan seperti apa, karena semua itu Dia-lah yang menciptakannya. Artinya, Tuhan berbeda dengan apa yang ada; jika makhluknya ada yang memancarkan cahaya, apabila ciptaan (makhluk)-Nya ada yang tinggi/pendek, ada yang besar/kecil, ada yang lapar/makan, ada yang berjenis kelamin, ada yang memiliki tangan/kaki, ada yang memiliki mata, ada yang memiliki telinga, ada yang memiliki hidung, dan seterusnya, logika yang benar akan mengatakan, Tuhan tidaklah seperti yang demikian. Secara rasional, niscaya akan menjawab bahwasanya Tuhan harus tidak memiliki batasan sebagaimana makhluk atau ciptaan-Nya.

Pula Tuhan maha melihat, namun Tuhan tidak boleh memiliki mata sebagaimana ciptaan-Nya; Tuhan maha mendengar, akan tetapi Tuhan tidak boleh memiliki telinga sebagaimana makhluk-Nya; begitu halnya Tuhan maujud (ada), namun Tuhan tidaklah boleh berwujud apapun wujudnya, karena wujud merupakan batasan atau sisi lemah yang dimiliki makhluk-Nya, yang tidak mungkin dipunyai oleh Tuhan. Karena akal, panca indra, dan instrumen lain dalam diri manusia adalah ciptaan-Nya, sehingga kemampuannya terpaku hanya menangkap apa-apa yang diciptakan oleh-Nya, serta memikirkan secara logis dari semua yang ada, yang tidak mungkin mengindra penciptanya (Tuhan). Secara mudah, otak cuma berisi A - Z atau  1-0, tidak lebih, maka manusia dituntut menyesuaikan semua keterbatasannya ini.

Dimana Tuhan Berada?
Secara naluriah manusia ketika mendengar atau mengetahui sesuatu akan bertanya apa/siapa dan dimana. Sekali lagi, ini hanyalah insting bukan rasio. Pemahaman seperti ini ada karena lebih mengikuti kebiasaan atau perilaku panca indra dalam menangkap kesan, yang tidak dibarengi dengan pemikiran yang mendalam. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, yakni akan adanya kekuatan yang luar biasa ini tentunya non sense Tuhan atau pencipta serupa dengan produknya, misalnya. Begitu seterusnya.

Dengan alam semesta ini sebagai ciptaan-Nya, maka Tuhan mustahil berada di dalamnya. Langit beserta isinya, bumi dan seisinya, adalah di antara karya-Nya. Maksudnya, Tuhan pasti tidak berada di langit maupun di bumi.

Begitu juga, mengingat keterbatasan makhluknya, sebagaimana alam semesta ini, sebagai pembuatnya Tuhan haruslah berbeda. Dengan demikian, sangat tidak masuk akal apabila berprasangka Tuhan ada di luar alam ini dalam penjagaannya. Ini tertolak, karena apabila Tuhan berada di luar alam ini, berarti Tuhan memiliki bentuk, mengingat ada batasan bagi diri-Nya.

Mengambil kata yang lain, apabila makhluk-Nya memiliki sisi lemah dengan arah seperti, bawah-atas, kanan-kiri, depan-belakang, dst., sebagai penciptanya, maka Tuhan sangat tidak dinalar jikalau terpengaruh oleh yang demikian. Tuhan tidak mungkin di atas atau di bawah, Tuhan musti tidak berada di depan atau di belakang, dan Tuhan juga tidak mungkin di kanan atau di kiri. Mudahnya, jikalau ciptaan-Nya mempunyai kekurangan dari faktor tempat dan arah, tentunya sebagai kreator, Tuhan tidak terjebak oleh tempat dan arah. Pun tidak boleh bagi Tuhan ada dimana-mana, karena “mana-mana” adalah tempat, dan tempat mustahil bagi-Nya. Sangatlah tidak rasional Tuhan bersemayam di dalamkarya-Nya sendiri.  Maka, Tuhan musti ada tanpa tempat dan tanpa arah.

Alhasil, siapa dan dimana, tidak bisa ditujukan untuk Tuhan. Siapa dan dimana, itu menunjukkan pada bentuk dan arah yang merupakan ciptaan Tuhan, sehingga secara jalur logika yang sehat mustahil bagi Tuhan dipengaruhi oleh karya-Nya sendiri.

Tuhan dan Masa (Dulu, Sekarang, atau akan Datang?)
Masa terbentuk karena ada beberapa faktor yang melingkupi. Rotasi bumi dan revolusi matahari, misalnya. Yang demikian terwujud karena adanya bumi, bulan, matahari, dll., sehingga menjadikan adanya pergantian siang-malam, penanggalan sebulan, perputaran satu tahun, dan seterusnya. Dengan demikian, maka masa berlangsung karena adanya proses dari pelbagai unsur terkait.
Apa yang tersebut di atas, kesemuanya adalah perpekstif-subyektif, sehingga belum menjadi kebenaran mutlak. Ini dikatakan perpekstif-subjektif karena, dalam melihat kondisi yang demikian hanya dari sudut realitas umum makhluk, bukan penciptanya.
Apabila melihat melalui kacamata pembuatnya, serta semua unsur dan mekanisme yang menjadikan adanya masa, sehingga tidak perlu ada keraguan kalau Tuhan, sebagai pencipta, tidak terpengaruh oleh waktu. Sekalilagi, Tuhan adalah Tuhan atau pencipta yang tidak mungkin dipengaruhi oleh makhluk-Nya sendiri seperti halnya waktu yang merupakan ciptaan-Nya.

Tuhan itu Satu atau Lebih
Sebagaimana bukti-bukti yang sudah terang dan gamblang di atas, yang membuktikan atas keberadaan Tuhan, namun di antara manusia banyak juga yang bertanya-tanya ada berapa Tuhan itu?
Pertanyaan yang demikian tentunya tidak salah, karena itu sesuatu yang wajar sebagai upaya menggerakkan (memfungsikan) otak, dengan demikian nalar tidak mengganggur sehingga bisa-bisa menjadi tumpul.
Membaca sejarah kehidupan manusia dan terbentuknya alam semesta yang telah berlangsung begitu lama, yang diikuti dengan keteraturan yang begitu ideal, seperti yang telah diterangkan, itu tidaklah mungkin ada begitu saja tanpa pencipta/pengatur. Kembali mengulas, logika yang sehat dan tajam manakala melihat keteraturan, tentunya mustahil semua itu ada tanpa pencipta.
Pembunuhan, pengrusakan, kehancuran baik karena faktor makhluk hidup maupun gejolak alam itu sendiri, tidaklah yang dimaksud dalam keteraturan ini. Kesemuanya harus dipahami atau dipelajari dari sisi yang berbeda dan menggunakan sarana yang lain. Yang diharapkan tentang keteraturan adalah, dengan penjagaan alam ini yang lama sekali berlangsung, serta adanya fenomena alam yang penuh pesona dengan model, karakter dan perannya. Apabila dicermati, tiada satupun yang ada di alam ini itu sia-sia. Semua ada di posisi masing-masing yang sangat rapi, cermat, dan sarat ketelitian. Semua itu menjelaskan akan ketidakmungkinan yang menciptakan ada banyak.
Apabila diilustrasikan, semakin banyak otak maka semakin banyak gagasan. Semakin banyak tangan, maka akan semakin banyak peralihan dan perubahan. Semakin banyak pihak, tidak menutup kemungkinan adanya perebutan kekuasaan. Artinya, logika sulit memasuki pemahaman yang demikian. Nalar akan lari dari tawaran tersebut dan berakhir pasrah; atheis, agnostik, taklid buta, dan pilihan-pilihan tanpa pendekatan upaya penalaran lainnya.
Oleh karena itu,  yang paling masuk akal mengenai Tuhan adalah, Tuhan itu ada dan satu. Mustahil Tuhan memiliki keluarga; punya adik, kakak, ibu, ayah, yang juga kemustahilan akan adanya Tuhan yang sepadan. Jika Tuhan ada dua, pun tidak mungkin, apalagi lebih. Mengulangi lagi, bila Tuhan ada lebih dari satu, tentu mekanisme ini tidak akan berlangsung lama (istikomah) dan penciptaan ini tidak akan sesempurna ini.

Apakah Sama, Satu bagi Tuhan dengan Satu bagi Makhluk?
Di atas telah diterangkan, materi maupun yang imateri merupakan ciptaan Tuhan, yang demikian berarti Tuhan bukanlah materi ataupun imateri, atau dengan kata lain Tuhan itu berbeda dengan ciptaan-Nya. Sebelumnya juga telah dijelaskan, bahwasanya manusia bisa mengenali sesuatu hanya melalui panca indra, baik menggunakan instrument ataupun secara langsung, sehingga yang lebih dari itu takkan mungkin bisa diketahui.
Apabila demikian, satu bagi Tuhan tentu tidak sama dengan satu piring. Satu bagi Tuhan, haruslah beda dengan satu dalam perpekstif manusia, yang dalam memahaminya senantiasa dikaitkan dengan sesuatu yang materi atau yang imateri. Disinilah nalar manusia mentok atau tidak bisa berlanjut pada logika yang lebih tinggi. Alhasil, Tuhan adalah Esa bukan satu, karena satu adalah bilangan, dan bilangan ada kelanjutannya, mengingat bilangan itu dipengaruhi oleh hal-hal yang bersifat materi.

Ringkasan:
1.    Manusia sebagai bagian dari makhluk yang lain bukanlah makhluk yang sempurna, namun manusia adalah makhluk yang paling sempurna di antaranya. Kelebihhan manusia di antara semua makhluk adalah adanya instrumen mata, telinga, hidung, pengecap/perasa, dan peraba, sehingga ia mempunyai daya cipta, rasa dan karsa. Namun demikian, dari kekuatan yang dimiliki tersebut sekaligus juga menandakan akan kelemahan manusia itu sendiri, karena ia terbatasi oleh dirinya sendiri serta ruang dan waktu. Sehingga dengan segenap keterbatasannya banyak hal yang tidak sanggup diketahui. Begitu juga, meskipun manusia telah menggunakan alat bantu hasil ciptaannya, pun tidak sanggup menutupi dan menembel kekurangannya. Asumsi ini merupakan kenyataan sepanjang sejarah hingga hari ini yang belum kunjung usai, dan suatu kepastian yang tidak bisa diperdebatkan selama menerima adanya proses regenerasi, hidup dan mati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun