Mohon tunggu...
Nurul Ahsan
Nurul Ahsan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

HaLaH EmBuH..

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kebodohan Orang Arab Saudi?

25 Juli 2011   23:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:23 2762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

"Hmm.. ya mengharap berkah (kebaikan) dari nama itu."

Mendengar jawaban ini, ekspresi sang sopir terlihat mulai emosi. Mukanya memerah. Kami telah dapat memprediksi faktor apa yang menjadikan ia tampak begitu serius mendengar jawaban itu. Ya, kami telah tau, mayoritas orang Arab Saudi mempunyai paham keagamaan bergenre Wahabi-Salafi. Sebuah paham keagamaan literalis-konservatif dan Muhammad Abdul Wahhab sebagai pionirnya. Oleh orang Barat, paham keagamaan ini juga dikatakan sebagai paham yang berpotensi melahirkan embrio-embrio terorisme abad 21. Bukan berarti kami mengatakan mereka semua teroris. Kami hanya mengatakan paham keagamaan mereka lebih ekstrim daripada apa yang kami pahami. Kami telah sering menerima umpatan 'kafir' dan 'musyrik' dari mereka. Jadi tak ada yang aneh jika sopir itu tampak menahan emosi mendengar jawaban 'berkah' dari salah satu temanku.

"Apa? Berkah? Tidak ada itu yang namanya berkah..!!"

Nada pernyataannya sedikit meninggi. Jika suasana sebelumnya tampak begitu rileks, sekarang berubah menjadi serius. Tentunya, kami berlima menjadi sedikit panik dengan keadaan itu. Untuk mengendalikan suasana, kusenggol tangan temanku sebagai warning untuk menghentikan sikap konfrontasinya dengan sopir sang sopir.  Takutnya, akhir dari perdebatan itu bisa mengantarkan kami berurusan dengan aparat kepolisian dan hanya karena masalah "nggak mutu". Sayang, isaratku tak diindahkan olehnya.

"Kata siapa berkah nggak ada? Berkah jelas ada."

"Siapa gurumu?!! Belajar di mana kamu?!!"

"Guruku banyak. Aku belajar di Masjid al-Haram"

Kali ini aku paham, temanku sedang mencari aman dengan jawabannya. Sebab aku tau ia adalah salah satu murid Sayyid Ahmad putra dari Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki dari kawasan Rushaifah, musuh bebuyutan orang Wahabi. Konon Sayyid Muhammad semasa hidupnya pernah ditantang debat secara terbuka oleh tokoh wahabi dengan nyawa sebagai taruhannya. Ya, sebagai konsekuensinya nyawa beliau harus rela hilang jika tidak dapat mempertahankan argumen-argumennya.

Tantangan itu disanggupi. Sebelum momen perdebatan itu datang, Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki ini mengirimkan surat ke semua muridnya yang telah tersebar di penjuru dunia untuk meminta dukungan moral dan doa agar mampu mempertahankan argumennya. Konon, beliau memenangkan perdebatan itu dan nyawanya selamat sampai beliau wafat secara narutal pada hari Jum'at tanggal 29 Oktober 2004.

Jika temanku menjawab belajar di Rushaifah tentunya akan mempersulit kondisi kita saat itu. Aku sendiri memilih diam. Diam bukan berarti aku tidak mempunyai bahan untuk mematahkan kata-kata sang sopir. Dalam sebuah hadis dikatakan bahwa nama adalah doa. Arti literal dari kata Muhammad juga bagus; terpuji. Bagaimana mungkin mengharap kebaikan dari sebuah nama yang bagus harus diperdebatkan? Lagi pula Muhammad juga nama nabi. Tentu tidak sepantasnya seseorang yang mengaku pengikut setia Muhammad mencela saudaranya menggunakan nama itu. Jika demikian, siapa yang bodoh?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun