Mohon tunggu...
Aslan Saputra
Aslan Saputra Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Penulis | Blogger | Entrepreneur muda | pemain basket | komikus | web designer Hanya Hamba Allah ^^

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sesaat Terasa Paling Tampan

2 Maret 2013   15:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:26 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Matahari mulai senja. Suasana sore di Banda Aceh hari ini terlihat sama bagiku dengan sore-sore sebelumnya. Mungkin karena aktivitas yang begitu padat tiap hari membuatku lupa menikmati nuansa sore hari. Rasa Jenuh menyelimuti diri sejak mata kuliah kalkulus tadi. Persamaan variabel dan akar kuadrat masih menari-nari di pikiranku. Segelas air mineral dingin mungkin bisa menghilangkannya sementara waktu.

Berdiri di samping jalan menunggu labi-labi (sejenis angkutan umum di Aceh) memang  sangat membosankan. Tegak berdiri melihat orang lalu-lalang dengan kendaraan mereka. Sesekali kulihat wajah mereka, siapa tahu ada yang aku kenal. Memang kalau punya kendaraan sendiri jadi lebih mudah kemana-mana. Namun bagiku, selain alasan dana, tidak memiliki motor pribadi juga merupakan pengalaman yang luar biasa. Tahun-tahun pertama di kampus haruslah menderita dulu. Jika nanti telah sukses, maka pengalaman-pengalaman lelah ini bisa menjadi batu loncatan agar tidak mudah gagal dan putus asa dimasa mendatang. Kan biasanya awal kesuksesan itu dimulai dari  penderitaan.

Sebuah labi-labi berwarna hitam dengan garis-garis putih di bagian sampingnya menepi ke pinggir jalan. Tulisan Darussalam terlihat jelas di atas kaca depan mobil. Artinya rute labi-labi ini dimulai dari terminal menuju Darussalam dan kembali lagi ke terminal. Supirnya dengan garang berteriak-teriak mencari penumpang.

“Kota-kota!!” teriak supir Labi-labi itu dengan kencang.

Aku langsung masuk kedalam labi-labi itu. Didalamnya telah ada dua orang mahasiswi duduk di dekat pintu masuk. Aku segera mencari tempat jauh kedalam, pas di ujung tempat duduk agar nanti jika hampir sampai tujuan bisa langsung mengetuk kaca dibelakang supir sebagai tanda menepi ke pinggir jalan. Ku buka kaca dibelakangku. Angin segar yang masuk sedikit membuat rasa gerah ku hilang. Memang semakin hari kota Banda Aceh semakin panas. Sebentar saja berada dibawah matahari, keringat langsung bercucuran. Labi-labi yang mengangkut kami pun kembali bergerak.

Tidak jauh dari tempat aku mulai naik tadi, labi-labi ini kembali berhenti. Terdengar abang supir kembali berteriak-teriak.

“Kota-kota!! Galeri! Mesjid Raya! Kota-kota!!” suaranya yang keras khas Aceh menambah bisingnya keadaan jalan raya saat itu.

Empat orang wanita masuk kedalam labi-labi itu dan mulai mengisi tempat duduk yang masih kosong. Keadaan dalam labi-labi mulai terasa pengap. Dengan gaya stay cool aku tetap memandang kearah depan tanpa peduli dengan mereka walaupun sebelumnya aku telah melihat mereka sekilas. Aku bisa memastikan kalau tidak ada diantara mereka yang kukenal. Paling tidak aku tidak akan begitu cemas jika dikemudian hari aku dituding sebagai orang yang sombong karena tidak menyapa. Labi-labi itupun kembali bergerak menuju kekota.

Suasana sore hari di Banda Aceh terlihat ramai dengan kendaraan-kendaraan di jalan raya. Banyak orang yang baru saja pulang dari kantor ataupun tempatnya bekerja. Ada juga beberapa siswa yang terlihat pulang dari sekolahnya. Melihat keadaan seperti itu, bisa dipastikan dua sampai tiga tahun mendatang, Banda Aceh mungkin akan semakin macet. Mengingat, setiap tahun ratusan mahasiswa baru mulai menetap di Banda Aceh. Belum lagi mahasiswa yang telah lulus juga masih menetap dengan alasan lebih mudah mencari kerja di Ibu Kota. Bisa dibayangkan berapa banyak jumlah pertumbuhan masyarakat di Banda Aceh setiap tahunnya.

Labi-labi yang membawa kami itu kembali berhenti di depan Halte Bis. Banyak siswa siswi  SMA yang baru saja pulang dari les disekolahnya. Tiga orang siswi SMA sepakat untuk memilih labi-labi yang kami tumpangi. Ketika didepan pintu masuk, terlihat wajah ragu mereka. Sepertinya labi-labi ini tidak akan muat untuk mereka. Tiba-tiba supir mengetuk kaca dibelakangnya, tanda bahwa penumpang lain harus rela berimpitan agar calon penumpangnya dapat masuk. Satu-persatu dari mereka akhirnya masuk kedalam labi-labi. Tempat duduk labi-labi ini pun akhirnya penuh dengan penumpang. Aku melepas tas dari bahuku dan memeluknya agar bisa sedikit lebih luas. Aku terpaksa terjepit di dalam labi-labi itu.

Astaga! Kenapa mereka semua adalah wanita. Paling tidak, aku berharap ada seorang penumpang pria lain yang juga naik di labi-labi ini. Aku tidak ingin sendiri sebagai pria di situ. Keringat ku pun mulai bercucuran. Bukan karena panas, namun gugup karena aku sendiri seorang  pria. Memang, saat itu aku yang paling tampan, mengingat hanya aku yang pria sedangkan mereka wanita semua. Namun, ini tidak benar. Apalagi aku berada diujung paling dalam labi-labi tersebut. Jika ingin keluar pun, aku harus melewati mereka semua. Sedikitpun aku tidak berani melihat wajah-wajah mereka. Aku gugup. Aku malu dengan diriku pada kondisi seperti itu. Aku terjebak diantara wanita-wanita. Waktu seolah terasa sangat lambat. Dalam hati, aku berharap agar cepat sampai kerumah.

Lagi-lagi labi-labi itu berhenti. Yang benar saja. Apa harus kami berhimpit lagi menambah jumlah penumpang? Jumlah penumpang yang sebanyak ini saja sudah menghilangkan rasa nyaman kami. Terdengar beberapa dari mereka mengeluh dengan sikap abang supir itu. Kulihat sekilas kearah luar, tepat ke calon penumpang. Mereka laki-laki. Mereka melihat kondisi kami didalam labi-labi itu. Mereka pun menolak naik dengan alasan penuh dan itupun wanita semua. Aku pun segera memalingkan wajah. Betapa malunya aku. Mereka pasti sempat melihatku sekilas. Aku harap aku tidak dibilang banci karena bergabung dengan wanita-wanita itu. Ah, ini pengalaman yang sangat memalukan.

Labi-labi itu kembali berjalan. Angin yang masuk dari kaca labi-labi tidak mampu menghilangkan pengap dan panas didalamnya. Keringat sejak tadi terus bercucuran di sekitar leher dan keningku. Tidak hanya tubuhku yang kepanasan, hati ini juga kepanasan. Menggerutu dengan peristiwa hari ini. Entah mimpi apa aku semalam. Aku harap peristiwa seperti ini tidak akan pernah terjadi lagi.

Kondisiku yang seperti itu mungkin terlihat menyedihkan dimata wanita-wanita itu. Namun, aku tidak berani melihat wajah mereka. Tampang stay cool yang diawal aku pakai kini berubah menjadi tampang pecundang. Mungkin saja diantara mereka ada yang menertawakan nasib ku. Ah, kini pun aku mulai berburuk sangka  pada orang lain. Sebegitu parahkah efek kejadian sore ini?

Akupun mengetuk kaca disampingku, memberi tanda kepada abang supir agar menepi ke pinggir jalan. Dengan terus memeluk tas dan sedikit membungkuk karena sempitnya labi-labi itu, aku akhirnya keluar. Dengan susah payah, aku melewati wanita-wanita itu. Rasa lemah dan lelah telah dari tadi menyelimuti ku. Seakan-akan, keluar dari labi-labi itu adalah anugerah yang sangat luar biasa.

Wah, betapa segarnya ketika keluar dari labi-labi itu. Matahari yang cerah dan angin bersemilir lembut sedikit menghiburku dari peristiwa yang baru saja aku alami. Seperti berada disurga, aku merasa sangat lapang dan bahagia. Segera aku bayar ongkos labi-labi itu dan bergegas menjauh darinya. Aku harap aku tidak akan mengalami peristiwa serupa di kemudian hari. Peristiwa yang benar-benar memalukan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun