KOMISI Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia telah mengumumkan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020. Secara serentak diselenggarakan di 270 wilayah, meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota di Indonesia.
Walau belum memasuki masa kampanye, para aktor politik yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah telah menggunakan beberapa momentum guna menaikkan elektabilitas dirinya kepada para calon pemilih. Dalih pembenaran berbalut retorika pencitraan kepada publik tak pelak dilakukan.
Dalam aktivitas membangun citra, para aktor politik kebanyakan menggunakan media pers (berskala lokal hingga nasional) sebagai wadah penyalur aspirasi.
Mengingat di era saat ini, dimana keterbukaan informasi dan penyebarannya begitu melimpah ruah. Sebab per detiknya saja kabar terbaru telah berseliweran di lini masa.
Para pembaca berita dapat dengan mudah mengakses informasi terbaru, cukup dengan memainkan jemari diatas layar ponselnya.
Namun, akhir-akhir ini 'secara pribadi' agak jengkel melihat pemberitaan yang cenderung tidak proporsional. Keberpihakan media pers secara terang-terangan diperlihatkan.
Melihat peluang
Era digitalisasi sebagai penanda arus globalisasi, juga menandai adanya peluang bagi semua kalangan, termasuk aktor politik.
Dalam melihat peluang tersebut, mereka tentu tak akan tinggal diam menggunakan media pers sebagai mesin kampanye politik. Tak lain orientasinya ialah meraih dukungan dari para pemilih. Juga tak lupa melakukan manuver ke lawan politiknya.
Proporsi informasi yang seharusnya diamalkan oleh media pers tak berjalan dengan baik. Mungkin diakibatkan kepentingan yang saling menguntungkan? Sehingga media pers begitu mudah berafiliasi dengan kepentingan politik tertentu.
Perannya sebagai wadah penyalur aspirasi publik tak berjalan dengan baik. Pilkada bukan sekadar menjadi perhelatan politik lima tahun sekali, lebih dari itu juga menjadi lahan bisnis bagi oknum jurnalis.