Mohon tunggu...
Aslang Jaya
Aslang Jaya Mohon Tunggu... Lainnya - Malu ah

Tiap kata akan menemui pembacanya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Malpraktik Jurnalistik

20 Juni 2020   11:28 Diperbarui: 21 Juni 2020   11:23 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Demi meraup untung di masa Pilkada, banyak media pers akhirnya melakukan "Malpraktik jurnalistik."

Akal-akalan mengemas kampanye politik dalam bentuk berita acapkali dilakukan. Ditambah perselingkuhan politik oknum jurnalis dan paslon maupun parpol pengusung telah menjadi rahasia umum. Akibat banyaknya temuan beberapa oknum jurnalis yang secara terang-terangan mengambil posisi sebagai tim suskes.

Ironis, media pers yang seharusnya menjadi penyerap aspirasi dan wadah informasi publik yang lebih mengedepankan independensi sirna seketika, akibat permainan oknum jurnalis.

Menyoal independensi, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2006) dalam Sembilan Elemen Jurnalisme memberi pemaknaan independensi berupa kelakuan bebas dari pengaruh pemerintah maupun partai politik. Secara spesifik, prinsip ini menjadi penting untuk menjaga agar para jurnalis berfungsi secara impersonal tanpa berpihak pada kepentingan politik apapun.

Regulasi sekadar simbol

Sanksi pidana dalam UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik menjadi simbolitas tak bermakna. Dibuktikan dengan tak ada satupun pengadilan yang mengadili perkara yang menyangkut oknum jurnalis. Paling hanya teguran dari lembaga etik Dewan Pers kepada oknum jurnalis atau media pers terkait.

Oknum jurnalis seperti ini bila kita biarkan akan merusak tatanan nilai luhur demokrasi yang telah diperjuangkan dengan darah dan air mata. Bahkan menciderai akal sehat publik.

Maka dari itu, semoga di saat pencoblosan nanti, warga yang memiliki konstituen untuk memilih siapa yang berhak menjadi pemimpin yang kelak akan melahirkan kesejahteraan dan meretas kesenjangan sosial tercapai.

Sebagai warga negara berintelektual, dibuktikan dengan data dari laporan penelitian Richard Lynn dan Tatu Vanhanen dalam IQ and the Wealth of Nations (2002), bahwa warga Indonesia rata-rata memiliki IQ berkisar 87, mestinya telah mampu memilah lalu memilih siapa yang berhak menjadi pemimpin.

Karena pemimpin terpilih ialah representasi dari apa yang dikehendaki bersama. Menolak pemimpin yang hanya memupuk ego demi kekuasaan ialah hal yang mesti dilakukan. Demi kelangsungan demokrasi dan peradaban yang lebih baik.

Media pers juga sebaiknya tidak memberi ruang bagi aktor politik yang haus kekuasaan. Independensi dan proporsi informasi harus tetap dirawat. Mampu menganulir berita yang baik ditampilkan ke publik dan yang tidak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun