Mohon tunggu...
Aslang Jaya
Aslang Jaya Mohon Tunggu... Lainnya - Malu ah

Tiap kata akan menemui pembacanya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Malpraktik Jurnalistik

20 Juni 2020   11:28 Diperbarui: 21 Juni 2020   11:23 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (unsplash.com/thenewmalcolm)

KOMISI Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia telah mengumumkan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020. Secara serentak diselenggarakan di 270 wilayah, meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota di Indonesia.

Walau belum memasuki masa kampanye, para aktor politik yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah telah menggunakan beberapa momentum guna menaikkan elektabilitas dirinya kepada para calon pemilih. Dalih pembenaran berbalut retorika pencitraan kepada publik tak pelak dilakukan.

Dalam aktivitas membangun citra, para aktor politik kebanyakan menggunakan media pers (berskala lokal hingga nasional) sebagai wadah penyalur aspirasi.

Mengingat di era saat ini, dimana keterbukaan informasi dan penyebarannya begitu melimpah ruah. Sebab per detiknya saja kabar terbaru telah berseliweran di lini masa.

Para pembaca berita dapat dengan mudah mengakses informasi terbaru, cukup dengan memainkan jemari diatas layar ponselnya.

Namun, akhir-akhir ini 'secara pribadi' agak jengkel melihat pemberitaan yang cenderung tidak proporsional. Keberpihakan media pers secara terang-terangan diperlihatkan.

Melihat peluang

Era digitalisasi sebagai penanda arus globalisasi, juga menandai adanya peluang bagi semua kalangan, termasuk aktor politik.

Dalam melihat peluang tersebut, mereka tentu tak akan tinggal diam menggunakan media pers sebagai mesin kampanye politik. Tak lain orientasinya ialah meraih dukungan dari para pemilih. Juga tak lupa melakukan manuver ke lawan politiknya.

Proporsi informasi yang seharusnya diamalkan oleh media pers tak berjalan dengan baik. Mungkin diakibatkan kepentingan yang saling menguntungkan? Sehingga media pers begitu mudah berafiliasi dengan kepentingan politik tertentu.

Perannya sebagai wadah penyalur aspirasi publik tak berjalan dengan baik. Pilkada bukan sekadar menjadi perhelatan politik lima tahun sekali, lebih dari itu juga menjadi lahan bisnis bagi oknum jurnalis.

Demi meraup untung di masa Pilkada, banyak media pers akhirnya melakukan "Malpraktik jurnalistik."

Akal-akalan mengemas kampanye politik dalam bentuk berita acapkali dilakukan. Ditambah perselingkuhan politik oknum jurnalis dan paslon maupun parpol pengusung telah menjadi rahasia umum. Akibat banyaknya temuan beberapa oknum jurnalis yang secara terang-terangan mengambil posisi sebagai tim suskes.

Ironis, media pers yang seharusnya menjadi penyerap aspirasi dan wadah informasi publik yang lebih mengedepankan independensi sirna seketika, akibat permainan oknum jurnalis.

Menyoal independensi, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2006) dalam Sembilan Elemen Jurnalisme memberi pemaknaan independensi berupa kelakuan bebas dari pengaruh pemerintah maupun partai politik. Secara spesifik, prinsip ini menjadi penting untuk menjaga agar para jurnalis berfungsi secara impersonal tanpa berpihak pada kepentingan politik apapun.

Regulasi sekadar simbol

Sanksi pidana dalam UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik menjadi simbolitas tak bermakna. Dibuktikan dengan tak ada satupun pengadilan yang mengadili perkara yang menyangkut oknum jurnalis. Paling hanya teguran dari lembaga etik Dewan Pers kepada oknum jurnalis atau media pers terkait.

Oknum jurnalis seperti ini bila kita biarkan akan merusak tatanan nilai luhur demokrasi yang telah diperjuangkan dengan darah dan air mata. Bahkan menciderai akal sehat publik.

Maka dari itu, semoga di saat pencoblosan nanti, warga yang memiliki konstituen untuk memilih siapa yang berhak menjadi pemimpin yang kelak akan melahirkan kesejahteraan dan meretas kesenjangan sosial tercapai.

Sebagai warga negara berintelektual, dibuktikan dengan data dari laporan penelitian Richard Lynn dan Tatu Vanhanen dalam IQ and the Wealth of Nations (2002), bahwa warga Indonesia rata-rata memiliki IQ berkisar 87, mestinya telah mampu memilah lalu memilih siapa yang berhak menjadi pemimpin.

Karena pemimpin terpilih ialah representasi dari apa yang dikehendaki bersama. Menolak pemimpin yang hanya memupuk ego demi kekuasaan ialah hal yang mesti dilakukan. Demi kelangsungan demokrasi dan peradaban yang lebih baik.

Media pers juga sebaiknya tidak memberi ruang bagi aktor politik yang haus kekuasaan. Independensi dan proporsi informasi harus tetap dirawat. Mampu menganulir berita yang baik ditampilkan ke publik dan yang tidak.

Pewacanaan tentang profesionalitas jurnalis semoga menjadi lebih penting diberi penekanan khusus. Dalam hal ini, wacana profesionalitas yang dikembangkan oleh media pers dan negara. Sehingga dapat memberikan sinyal bahwa gagasan tersebut telah diinternalisir oleh jurnalis itu sendiri dan menjadi acuan bagi media pers.

Jurnalis sebagai penyampai informasi baiknya sadar betul akan perannya ditengah masyarakat. Menegasikan kepentingan individual dalam tiap penulisan berita.

Karena tiap kata yang ditulis oleh seorang jurnalis akan dipertanggungjawabkan secara moril kepada publik.

Jurnalis media pers sebaiknya tetap menjaga independensinya dalam mengemas informasi, lalu segera keluar dari bejana kepentingan politik terentu. Menanggalkan segala bentuk pragmatisme dan bekerja sesuai kaidah-kaidah jurnalistik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun