Jaksa Penuntut Umum (JPU) kembali menjadi sorotan publik, tatkala tuntutan hukum kepada Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis, terdakwa penyiraman air keras ke Penyidik KPK, Novel Baswedan dinilai terlalu ringan bila dibandingkan perbuatan yang telah dilakukan.
PROFESIDi beberapa lini masa sosial media, warganet (nitizen) turut mengambil simpulan berbeda-beda. Berdasar pantauan, ada beberapa simpulan atas tuntutan tim JPU kepada kedua terdakwa, disertai tanggapan penulis didasari landasan yuridis formal dan hasil kajian ilmiah yang dilakukan lembaga penelitian hukum.
Hal ini dilakukan sebagai upaya proporsional menanggapi peristiwa yang tengah terjadi. Antara lain:
Pertama, menganggap tuntutan tim JPU kasus Novel sarat akan kepentingan tertentu. Yang melatarbelakangi hal ini ialah kedua terdakwa berprofesi sebagai anggota kepolisian.
Dan yang paling dekat dengan instansi Polri dalam proses penegakan hukum hanya dua: lembaga Kejaksaan dan Pengadilan. Tentu anggapan ini tidak berdasarkan kajian ilmiah, atau sekadar pembenaran belaka.
Karena di dalam kajian ilmu hukum, tiap mahasiswa hukum yang mengambil mata kuliah “Pengantar Ilmu Hukum,” tentu telah mengenal apa itu independensi penegak hukum, termasuk JPU dalam melayangkan tuntutan kepada pihak yang diduga melakukan tindak pidana.
Yang menjadi landasan yuridis formal atas pernyataan ini ialah pada pasal 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, secara eksplisit menyebutkan “Bahwa Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan wajib melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya secara merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya.”
Dasar hukum tersebut telah memberi gambaran bahwa JPU berhak melayangkan tuntutan ringan maupun berat kepada pihak yang diduga melakukan tindak pidana dengan merdeka, tanpa ada intervensi pihak manapun.
Kedua, membandingkan tuntutan hukuman kasus Novel dengan kasus-kasus lain yang serupa, yakni kasus penyiraman air keras. Menanggapi hal ini, secara pribadi sebagai alumnus Fakultas Hukum sangat kurang sependapat dengan perbandingan tersebut.
Alasannya ialah preferensi berat ringannya hukuman tidak boleh diukur dengan mengambil sampel kasus yang jelas berbeda, meski terlihat sama. Toh nanti akan ada akhir dari proses hukum bernama putusan hakim.
Putusan hakim inilah yang akan menentukan tuntutan JPU diterima atau tidak, biasanya hakim dalam mengadili perkara akan menambah berat hukuman yang berbeda dengan tuntutan JPU. Atau istilah hukumnya ultra petita.
Sudharmawatiningsih dalam laporan penelitiannya “Pengkajian tentang Putusan Pemidanaan Lebih Tinggi dari Tuntutan Jaksa Penuntut Umum” yang diterbitkan Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung (2015) menjabarkan “Bahwa merupakan kewenangan hakim memutus sesuai fakta persidangan dan keyakinannya memberi pemidanaan melebihi tuntutan Jaksa Penuntut Umum bila dirasa adil dan rasional. Majelis hakim dapat memutus lebih tinggi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum, dengan catatan tidak boleh melebihi batas maksimum ancaman pidana yang ditentukan Undang-Undang.”
Diambilnya sampel diatas sebagai acuan, karena di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP tidak ada satu pun pasal yang menyebutkan bahwa hakim dalam memutus perkara pidana diharuskan sesuai dengan tuntutan JPU.
Para majelis hakim tentu akan menjaga independensinya dengan memberi putusan pemidanaan berdasarkan pertimbangan hukum dan nuraninya.
Singkatnya, majelis hakim memiliki hak prerogatif yang tidak boleh diintervensi pihak manapun, termasuk mengamini tuntutan JPU.
Bijak dalam menanggapi sebuah informasi yang beredar baiknya disertai kajian ilmiah agar kebenaran tidak menjadi samar. Mengetahui segala hal, bukanlah suatu masalah bila sekadar memenuhi hasrat menambah pengetahuan.
Namun bila arahnya lebih ke sok tahu, matinya kepakaran yang diwacanakan oleh Tom Nichols nyata adanya.
Sebagai warga negara, baiknya lebih bersabar menunggu proses peradilan berakhir. Dengan meyakini bahwa majelis hakim yang mengadili perkara kasus Novel akan tetap menjaga marwah kekuasaan kehakiman sebagai tonggak berdirinya keadilan.
Karena mereka terikat oleh legalitas dan sumpah jabatan dibawah kitab suci.
Percaya proses peradilan sebagai upaya terakhir penegakan hukum juga merupakan hal yang mesti dilakukan. Dan apabila di kemudian hari, putusan hakim kasus Novel tidak sesuai dengan harapan, masih ada upaya hukum luar biasa bernama banding dan kasasi.
Pada intinya jangan berhenti mengawal, bila memang niat awalnya peduli dengan kasus tersebut.
Dan segera hentikan menghakimi JPU kasus novel dengan nyinyiran dan sumpah serapah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H