Mohon tunggu...
Aslang Jaya
Aslang Jaya Mohon Tunggu... Lainnya - Malu ah

Tiap kata akan menemui pembacanya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Berhenti Menjadikan Laut Sasaran Eksploitasi

8 Juni 2020   09:20 Diperbarui: 12 Juni 2020   19:18 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun bangga akan sesuatu tidak akan mengubah sesuatu itu bila tidak diawali dengan niat baik menjaga.

Meskipun laut telah dikategorikan sebagai bagian sektor pariwisata, tidak menutup kemungkinan hal tersebut paralel dengan menjadikan laut sebagai sasaran eksploitasi. Sebab manusia yang diiringi naluri kerakusannya tidak pernah puas akan sesuatu.

Eksploitasi laut yang disoroti dalam artikel ini, diantaranya: Pertama, pembuangan sampah di perairan laut, data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ada sekitar 175,000 ton timbunan sampah di Indonesia per hari atau setara 64 juta ton per tahun. Yang tertimbun di pembuangan akhir baru sekitar 70 persen, sisanya belum terkelola atau terbuang di perairan sungai, danau, pantai dan laut.

Kedua, penggunaan bom ikan, Korps Polisi Air dan Udara (Korpolairud) Baharkam Polri merilis sepanjang tahun 2019, ada sekitar 83 kasus pelanggaran penggunaan bahan peledak bom laut, yang belum teridentifikasi tidak dihitung. Orientasi pelaku tak lain ialah meraup keuntungan yang lebih besar dibanding mencari ikan sesuai anjuran berlaku.

Padahal teramat banyak dampak buruk bila hal itu terjadi, diantaranya: Kerusakan terumbu karang; Banyak ikan mati sia-sia; Jumlah ikan berkurang drastis di wilayah pemboman; Terganggunya perekonomian nelayan di sekitar wilayah tersebut.

Dipahami bahwa uang salah satu materi duniawi yang kerap menjadi incaran manusia untuk diraup sebanyak mungkin. Pundi-pundi uang memang begitu menggiurkan, apalagi mengingat kehidupan yang kian dinamis diikuti gaya hidup konsumerisme yang tinggi menjadikan manusia melakukan berbagai cara untuk meraup keuntungan.

Orientasinya bermacam-macam, namun bukan itu persoalannya, karena membatasi diri atas kerakusan ialah hal yang juga mesti dilakukan.

Menjadi pelajaran bersama bahwa beberapa peristiwa kerusakan ekologis yang muasalnya dari laut seperti tsunami, banjir, abrasi dan perubahan iklim karena ulah manusia seperti pembuangan sampah, penangkapan ikan berlebih menggunakan bahan peledak, reklamasi pantai justru berimbas pada kelangsungan hidup.

Di Sulawesi Selatan misalnya, lembaga Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Sulawesi Selatan (WALHI) melaporkan sepanjang tahun 2019, 20 dari 24 kabupaten/kota di Sulsel mengalami bencana alam akibat kerusakan ekologis. 1,032,852 korban jiwa ialah harga yang harus dibayar atas peristiwa itu.

Beberapa kerusakan alam yang muasalnya dari laut merupakan penanda bahwa manusia kurang bijak dalam mengelola laut sebagai bagian semesta.

Tatkala kerusakan alam telah digambarkan dengan bencana yang mengikutinya, lantas siapa yang mesti bertanggung jawab? Pertanyaan seperti ini mungkin terlihat sederhana, namun perlu dan penting menjadi bahan renungan bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun